Abstract
Cave and rock shelter contain the natural and cultural resources for research and development sciences. The society and tourism sector have their own importance of that object. However, we should have pay particular attention to its conservation and perpetuation.
Kata kunci: gua, ceruk, hunian, lingkungan
I. Pendahuluan
Gua dan ceruk banyak ditemukan di berbagai daerah di Nusantara. Umumnya berada pada kawasan karst dengan bentangalam dan lingkungan yang bervariasi. Gua dan ceruk tidak hanya terdapat di dataran tinggi, tetapi juga di dataran rendah, terkadang lokasinya berada di sekitar pantai, aliran sungai, dan juga danau. Kondisinya yang berbeda di berbagai daerah inilah yang membuat gua dan ceruk memiliki daya tarik tersendiri. Akhirnya banyak perhatian yang tertuju pada objek tersebut dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Sebagai sumber daya alam dengan ekosistemnya, gua dan ceruk bermanfaat bagi penelitian dan pengembangan berbagai disiplin ilmu seperti geologi, biologi, paleontologi dan lain-lain.
Ketertarikan manusia masa kini terhadap gua atau ceruk juga dimiliki oleh manusia masa lampau, hanya saja kepentingannya berbeda. Pada masa prasejarah gua atau ceruk dimanfaatkan oleh manusia pemburu dan peramu sebagai tempat tinggal dalam jangka waktu yang lama atau hanya sebagai tempat persinggahan. Bahkan hingga masa-masa kemudian ketika manusia sudah mulai mengenal bercocok tanam. Demikian juga pada masa sejarah, kondisi lingkungan yang sepi pada gua atau ceruk dimanfaatkan sebagai tempat untuk menyepi berkaitan dengan ritual keagamaan, atau sebagai tempat persembunyian. Kegiatan-kegiatan itu secara tidak langsung meninggalkan berbagai sisa aktivitas yang pernah terjadi di dalam gua atau ceruk. Sisa aktivitas manusia tersebut merupakan sumber daya budaya yang kemudian menjadi objek penting bagi penelitian arkeologi.
Gua atau ceruk serta kawasan karstnya tidak saja terkandung sumber daya budaya, tetapi juga yang paling besar potensinya adalah sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan hajat hidup orang banyak (Kosasih,2001:154). Tidak hanya masyarakat, berbagai sektor antara lain kehutanan, pariwisata, dan pertambangan juga memiliki kepentingan terhadap sumber daya alam yang ada. Berbagai kepentingan terhadap objek yang sama terkadang menimbulkan benturan, namun demikian koordinasi yang baik antar berbagai sektor dan masyarakat dapat memperkecil masalah yang ada. Pemanfaatan sumber daya alam dan budaya yang terdapat pada gua dan ceruk serta lingkungannya harus tetap mempertimbangkan konservasi dan pelestariannya.
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat kawasan karst dengan gua dan ceruknya, salah satunya terdapat di Kabupaten Aceh Tengah. Survei yang dilakukan tim dari Balai Arkeologi Medan di wilayah tersebut menghasilkan gua-gua dan ceruk-ceruk di tiga kecamatan, yaitu Loyang Mendali dan Puteri Pukes di Kecamatan Kebayakan, Loyang Koro di Kecamatan Lut Tawar, dan Loyang Datu di Kecamatan Linge. Makalah ini sebuah pendahuluan dalam membahas keberadaan gua dan ceruk di wilayah tersebut, sekaligus memberi gambaran tentang potensi yang mungkin dikembangkan pada objek tersebut. Selain itu juga menampilkan berbagai permasalahan yang telah muncul kini.
II. Sumberdaya budaya pada gua dan ceruk di Kabupaten Aceh Tengah
a. Loyang Mendali
Loyang Mendali merupakan ceruk-ceruk yang berada di bagian barat Gua Putri Pukes berjarak sekitar 1,6 km, tepatnya di Jl. Panca Darma, Desa Mendali,
Kecamatan Kebayakan. Secara astronomis berada pada 04° 38.599′ LU — 096° 52.064′ BT. Areal Loyang Mendali sekitar 900 m2, terdapat empat ceruk berderet dari baratlaut–tenggara. Ceruk-ceruk itu berada di lereng sebuah bukit yang agak tandus dan ditumbuhi semak-semak dan pohon bambu (Bambusa sp). Lingkungan ceruk-ceruk itu berada tidak jauh dari Danau Lut Tawar, berjarak sekitar 50 m. Di bagian depan terdapat jalan menuju Lhok Seumawe. Tidak jauh dari lokasi ceruk-ceruk tersebut tepatnya di seberang jalan terdapat lahan yang ditanami kopi (Coffea spp), lamtoro (Leucaena glauca), dan pohon bambu (Bambusa sp).
Ceruk pertama (sektor 1) terdapat di tenggara, luasnya sekitar 25,2 m2. Mulut ceruk menghadap ke selatan (1700) berdiameter 9 m, tinggi 3 m, dan jarak dinding ceruk dari mulut gua 2,8 m. Sudut penyinaran yang dihasilkan 480. Kondisi itu mengakibatkan ruangan ceruk tidak terkena sinar matahari. Selanjutnya luas ceruk kedua (sektor 2) sekitar 14 m2. Bagian mulut ceruk menghadap ke baratdaya (2100) berdiameter 9 m, tinggi 8 m, dan jarak dinding ceruk dari mulut gua 2 m. Sudut penyinaran yang dihasilkan 760, sehingga kemungkinan ruangan ceruk maksimum terkena sinar matahari sore hari sekitar pukul 17.00 – 18.00.
Di bagian baratlaut ceruk kedua terdapat ceruk ketiga (sektor 3) dengan luas sekitar 102 m2. Mulut ceruk menghadap ke selatan (1800) berdiameter 17 m, tinggi 5 m, dan jarak dinding ceruk dari mulut gua 6 m. Sudut penyinaran yang dihasilkan 400. Pada posisi itu diperkirakan ruangan ceruk tidak terkena sinar matahari. Kemudian ceruk keempat (sektor 4) yang berada di bagian baratlaut luasnya sekitar 210 m2. Bagian mulut ceruk menghadap ke baratdaya (2000) berdiameter 28 m, tinggi 6,5 m, dan jarak dinding ceruk dari mulut gua 7 m. Sudut penyinaran yang dihasilkan 430. Kondisi tersebut mengakibatkan ruangan ceruk juga tidak terkena sinar matahari.
Bagian lantainya umumnya kering. Pada bagian permukaan dan pada beberapa bagian yang longsor karena hewan yang berteduh di tempat tersebut terdapat temuan lepas. Temuannya antara lain berupa fragmen tembikar polos dan tembikar hias. Selain itu juga ditemukan bahan alat batu/alat serpih, cangkang moluska, dan fragmen tulang.
b. Gua Puteri Pukes
Gua ini berjarak sekitar 3,5 km ke arah timur dari Kota Takengon. Secara administratif terletak di Desa Bebuli. Lingkungan gua di sekitar Danau Lut Tawar berjarak sekitar 80 m. Secara astronomis berada pada 04° 38.471′ LU — 096° 52.991′ BT. Gua Puteri Pukes berukuran sekitar panjang 25 m dan lebar antara 5 m — 17 m. Mulut gua yang berada pada 1700 (selatan) dengan diameter 1,6 m, tinggi 2 m, dan pada jarak 5 m dari mulut gua menghasilkan sudut penyinaran 210. Pada posisi itu diperkirakan ruangan gua tidak terkena sinar matahari.
Memasuki ruangan gua terlihat langit-langitnya cukup tinggi, dan sebagian lantainya kering. Di bagian dalam gua terdapat stalaktit dan stalakmit. Beberapa stalakmit yang berbentuk menyerupai patung dikaitkan dengan legenda Puteri Pukes. Demikian juga sumur yang terdapat di bagian tengah ruangan gua di bagian belakang. Ukuran sumurnya berdiameter 4 m dan kedalaman 2 m. Stalakmit yang berbentuk menyerupai patung dan dianggap oleh masyarakat sebagai patung puteri pukes terdapat di bagian barat sumur berjarak sekitar 2 m. Juga terdapat stalakmit yang dianggap patung keramat oleh masyarakat terletak di bagian timur sumur berjarak sekitar 2 m.
Terdapat beberapa artefak di dalam gua tersebut antara lain berupa lumpang batu, batu pelandas, dan fragmen tembikar masing-masing satu buah. Lumpang batu terdapat di bagian utara sumur berjarak sekitar 4 m. Pelandas tersebut ditemukan di bagian tenggara sumur berjarak sekitar 6 m. Kemudian fragmen tembikar ditemukan di sekitar lokasi temuan pelandas yaitu pada bagian tenggara sumur berjarak sekitar 6 m. Demikian juga pecahan stalaktit yang berbentuk menyerupai gagang pedang.
c. Loyang Datu
Terletak di wilayah Desa Isaq, Kecamatan Linge. Secara astronomis berada pada 04° 27.445′ LU — 096° 52.554′ BT (47 N 0264279, UTM 0493028). Menuju ke lokasi gua dari jalan raya menuruni anak tangga semen yang dibuat oleh Pemda. Beragam tanaman tumbuh di sekitar gua antara lain durian (Durio zibethinus), tenung, kemiri (Aleurites moluccana), kayu manis (Gly-cyrhiza glabra), kopi (Coffea spp), gesing, bambu (Bambusa sp), dan damar (Shorea javanica).
Di bagian utara mendekati dinding gua di utara mengalir Sungai Loyang Datu (sungai tersebut mengalir dari arah barat ke arah tenggara menuju ke Sungai Pesangan). Di sekitar sungai tersebut banyak bebatuan berbagai ukuran. Menuju ke bagian dalam gua dapat melalui anak tangga semen dan berpagar besi. Anak tangga selain dibangun menuju ke arah gua, juga dibangun dari bagian dalam gua dan luar gua ke arah sungai. Dekat mulut gua juga telah dibangun balai-balai/pendopo bertiang kayu, beratap seng, dan berlantai semen serta tempat duduk dari semen. Balai-balai/pendopo tersebut juga terdapat dekat sungai dan di bagian dalam gua terdapat tempat duduk dari semen. Di bagian timur mulut gua mendekati sungai terdapat bangunan kecil dari kayu yang berfungsi sebagai wc.
Kondisi langit-langit gua tinggi, serta lantai gua di bagian selatan cukup datar dan kering. Lantai gua konturnya menurun ke utara (ke arah sungai). Di bagian tersebut selain berbatu juga kondisinya agak lembab. Pada tepian sungai banyak ditemukan batuan yang dapat difungsikan sebagai bahan alat batu. Adapun ukuran luas lantai di bagian selatan sekitar 1.260 m2. Pada dinding gua di bagian selatan terdapat cekungan-cekungan kecil alami dan ada yang dibuat oleh tangan manusia yang terlihat dari tumpukan batuan dinding guanya. Pada bagian tersebut dihuni kelelawar.
Hasil test pit (hingga kedalaman -120 cm) yang dilakukan di bagian tengah ruangan gua belum memberi hasil yang memadai untuk mendukung fungsi gua sebagai gua hunian pada masa prasejarah. Namun demikian pada spit (6) yaitu pada kedalaman –60 cm terdapat sisipan warna kuning bercampur arang.
d. Loyang Koro
Gua ini terletak di Desa Toweren, Kecamatan Lut Tawar lingkungannya berada di sekitar danau Lut Tawar. Secara astronomis berada pada 04° 38.599′ LU — 096° 52.064′ BT (47 N 0263451, UTM 0513593). Gua itu sudah dijadikan sebagai tempat rekreasi. Loyang = lubang, koro = kerbau), dinamakan demikian karena menurut sumber tempatan pernah difungsikan persinggahan kerbau karena berada pada daerah yang menjadi lintasan orang menggiring kerbau dari Kota Takengon menuju daerah Isaq. Untuk menuju ke gua tersebut dari jalan raya ke arah tenggara melewati anak tangga dan jalan setapak sekitar 130 m dari jalan raya. Pintu gua menghadap ke timurlaut (33o) ke arah danau. Bagian depannya terdapat bunga-bunga hias yang sengaja diletakkan di bagian depan mulut gua.
Mulut gua yang berada pada 330 (timurlaut) dengan diameter 10 m, tinggi 2,3 m dan pada jarak 5 m dari mulut gua menghasilkan sudut penyinaran 250. Kemungkinan ruangan gua maksimum terkena sinar matahari pagi hari sekitar pukul 08.00 – 09.30. Secara keseluruhannya ruangan gua berukuran panjang sekitar 90 m dan lebar antara 3 m — 18 m. Langit-langit gua di bagian yang berdekatan dengan mulut gua cukup tinggi sehingga terkesan lapang hingga sekitar 3 m–4 m, namun di bagian tengah langit-langit rendah hingga sekitar 120 cm, kemudian di bagian dalam langit-langit tinggi sekitar 2,5 m – 6 m dengan ruangan yang cukup luas sekitar 300 m2. Secara keseluruhan gua ini gelap dan lembab, kecuali pada bagian yang berdekatan dengan mulut gua, demikian juga lantainya basah oleh tetesan air dari langit-langit guanya. Gua ini juga penuh dengan stalaktit dan stalakmit, kecuali pada bagian yang mendekati mulut gua sebagian stalakmit telah dipangkas dan sebagian diubah menjadi anak tangga.
III. Potensi gua dan ceruk bagi pengembangan penelitian arkeologi
Gua atau ceruk lebih sering dikenal sebagai situs hunian pada masa prasejarah yaitu pada masa berlangsungnya hidup berburu tingkat lanjut atau juga dikenal dengan budaya mesolitik. Pada masa itu manusia hidup dengan berburu dan mengumpulkan bahan-bahan makanan yang terdapat di alam sekitarnya. Bentuk alat-alat yang ditemukan pada situs-situs mesolitik antara lain dibuat dari batu, tulang, dan kulit kerang (Soejono,ed.,1993). Beberapa gua bahkan sudah dimanfaatkan oleh manusia dengan budaya yang lebih tua yaitu paleolitik. Gua dan ceruk pada masa itu dipakai sebagai hunian yang bersifat sementara (tempat persinggahan atau pengintaian dalam kegiatan berburu), atau sebagai hunian dalam waktu yang lama.
Gua atau ceruk dimanfaatkan sebagai tempat beraktivitas dalam keseharian hidup mereka, seperti mengolah makanan, membuat peralatan, melaksanakan upacara seperti penguburan. Selain itu gua juga merupakan tempat mengungkapkan rasa seni melalui goresan atau lukisan pada dinding-dinding guanya. Lukisan dinding gua antara lain ditemukan pada gua-gua di daerah Pangkajene dan Maros, Sulawesi Selatan, serta Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Lukisan-lukisannya menampilkan potret kehidupan manusia pendukungnya, antara lain berburu, bercocok tanam dan upacara ritual, dan bahkan dapat menjadi petunjuk proses migrasi mereka ke tempat lain, baik antar pulau maupun antar benua (Kosasih,2001:162). Gua atau ceruk yang digunakan sebagai hunian cenderung memiliki beberapa ciri yaitu kondisinya tidak lembab, sinar matahari dapat masuk ke dalam gua atau ceruk, bahan makanan yang dibutuhkan tersedia di sekitarnya, berdekatan dengan sumber air, dan tersedianya fasilitas yang diperlukan untuk bergerak lebih mudah.
Data berkenaan dengan gua hunian prasejarah di Indonesia tersebar di beberapa wilayah antara lain Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Sumatera. Di Sumatera gua-gua hunian antara lain terdapat di Provinsi Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Di Sumatera Selatan diwakili oleh situs Gua Tiangko Panjang, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Bangko, Jambi yang berdasarkan hasil pertanggalan radiokarbon terhadap kayu dan biji yang terbakar menunjukkan 10.250 ± 140 BP (Bronson dan Teguh Asmar,1973). Selanjutnya di Sumatera Utara antara lain terdapat di Pulau Nias yaitu Gua Togi Ndrawa dan Togi Bogi. Adapun jenis temuannya berupa cangkang moluska, sisa tulang dan gigi binatang, alat-alat batu, serta sisa-sisa bagian tubuh manusia (gigi dan tulang). Hasil analisis pertanggalan dengan metode radiometri pada sampel berupa cangkang moluska hasil ekskavasi di kedua situs tersebut, menunjukkan bahwa aktivitas di kedua gua itu berlangsung sekitar 12.170 ± 400 B.P. sampai dengan 850 ± 90 B.P. dan 4960 ± 130 B.P. sampai dengan 950 ± 110 B.P. (Wiradnyana,2007:51). Kemudian Gua Kampret, Bahorok, Kabupaten Langkat, serta Gua Marike dan ceruk Bukit Lawang di DAS Bahorok juga memikili indikasi sebagai gua hunian. Jenis temuan yang terdapat di Gua Kampret juga berkaitan dengan budaya mesolitik berupa sisa-sisa cangkang moluska, fragmen tulang, dan alat batu, serta goresan berbentuk binatang pada atap gua (Tim Penelitian:1997:2 dan 1998:12–14). Peralatan batu yang ditemukan di gua-gua situs tersebut memiliki ciri morfologi dan teknologi sama dengan budaya Hoa-Binh (Wiradnyana,2005:46).
Pengamatan terhadap gua dan ceruk di Kabupaten Aceh Tengah tidak seluruhnya menghasilkan gua atau ceruk yang memungkinkan sebagai hunian pada masa prasejarah. Hasil pengamatan terhadap Loyang Mendali merupakan kompleks ceruk yang dibagi menjadi 4 sektor yang posisinya berjajar dari baratlaut–tenggara. Posisi demikian menyulitkan masuknya sinar matahari ke dalam ruangan. Namun kondisi Loyang Mendali memungkinkan sebagai ceruk-ceruk hunian. Hal ini disebabkan kondisi ruangan ceruk-ceruknya terang dan kering, langit-langit cukup tinggi, serta lantai ceruk kering dan datar. Ruangan ceruk yang terang dan kering diakibatkan oleh bentuknya yang dangkal dengan ukuran mulut ceruk cukup lebar sehingga memudahkan sirkulasi udara di dalam ruangan. Pada permukaan tanah dan lapisan yang terkikis oleh kaki binatang di ceruk-ceruk sektor 1, 2, dan 3 ditemukan artefak berupa fragmen tembikar polos dan tembikar hias. Melalui artefak tersebut diperkirakan ceruk-ceruk itu dimanfaatkan sebagai hunian pada budaya neolitik. Kemudian melalui ekofak yang ditemukan seperti fragmen tulang dan cangkang moluska menggambarkan pengkonsumsian jenis hewan itu. Diketahui bahwa pada budaya ini awalnya manusia juga masih tinggal dalam ceruk atau gua, memenuhi kebutuhan hidup dengan berburu, mencari ikan, mengumpulkan moluska guna memenuhi kebutuhan akan protein hewani dan melakukan pembudidayaan tanaman secara sederhana. Namun demikian kemungkinan ceruk-ceruk itu dimanfaatkan sebagai hunian pada budaya yang lebih tua seperti mesolitik juga ada, mengingat aktivitas perburuan, mencari ikan, dan pengumpulan moluska merupakan tradisi yang telah ada sebelumnya.
Kemudian pengamatan terhadap Gua Puteri Pukes, kondisinya kurang ideal sebagai gua hunian, disebabkan kondisi ruangan gua yang gelap dan lembab dengan stalaktit dan stalakmit, kecuali di bagian yang mendekati mulut gua bagian lantainya relatif kering dan relatif datar. Langit-langit guanya cukup tinggi dengan mulut gua yang sempit, sehingga sirkulasi udara di dalam ruangan kurang, kecuali bagian yang mendekati mulut gua. Namun demikian di Gua Puteri Pukes selain sumur juga terdapat artefak berupa lumpang batu, batu pelandas, dan fragmen tembikar yang mengindikasikan adanya aktivitas manusia di dalam gua. Di gua itu juga terdapat stalakmit yang menyerupai patung, namun pada benda tersebut tidak terdapat indikasi dikerjakan oleh tangan manusia. Keberadaan stalakmit itu oleh masyarakat dihubungkan dengan cerita yang cukup dikenal di Tanah Gayo yaitu tentang Puteri Pukes. Berkaitan dengan temuan tersebut yang umumnya ditemukan di permukaan tanah setidaknya menggambarkan adanya aktivitas manusia di dalam gua yang cenderung mengarah pada budaya neolitik. Seperti halnya Loyang Mendali kemungkinan terdapatnya budaya yang lebih tua seperti mesolitik juga ada mengingat di gua itu terdapat alat batu berupa pelandas (alat untuk memecahkan cangkang kerang) yang sering juga ditemukan di situs-situs mesolitik.
Loyang Datu, kondisinya memungkinkan sebagai gua hunian, disebabkan kondisi ruangan gua luas, cukup terang dan kering, langit-langit tinggi, serta lantai gua kering dan relatif datar. Ruangan gua yang terang dan tidak lembab diakibatkan sinar matahari mudah masuk ke dalam ruangan gua karena memiliki dua mulut gua di bagian tenggara dan barat. Mulut gua di bagian tenggara berukuran besar sehingga memudahkan sinar matahari masuk ke dalam ruangan saat pagi hari, dan sinar matahari sore juga dapat masuk dari mulut gua di bagian barat. Test pit yang dilakukan di Loyang Datu belum menghasilkan artefak maupun ekofak berupa peralatan atau sisa makanan yang menggambarkan adanya aktivitas manusia yang menghuni gua terutama pada masa mesolitik. Namun melalui test pit itu diketahui adanya lapisan arang yang mengindikasikan adanya lapisan budaya. Seperti diketahui arang merupakan sisa pembakaran yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, misalnya karena memasak makanan atau membuat perapian. Mengenai peralatan batu belum didapatkan pada penelitian kali ini, namun di sekitar sungai yang mengalir di dalam gua terdapat bebatuan yang memungkinkan digunakan sebagai bahan alat batu.
Pengamatan terhadap Loyang Koro, kondisinya kurang ideal sebagai hunian, disebabkan ruangan gua secara keseluruhan gelap dan lembab, kecuali pada bagian yang mendekati mulut gua. Kondisi itu diakibatkan sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan gua sangat kurang dan banyak tetesan air dari stalaktit. Langit-langit tinggi pada bagian yang mendekati mulut gua tetapi selanjutnya rendah dan ruangan menyempit di bagian dalam. Lantai gua basah dan cenderung tidak rata, di dalam ruangan gua banyak stalaktit dan stalakmit. Kecuali bagian yang mendekati mulut gua terdapat pemangkasan pada sebagian stalakmit untuk keperluan wisata. Selain itu indikasi lain berupa temuan permukaan juga belum didapatkan di gua tersebut.
Secara keseluruhan lingkungan di sekitar gua atau ceruk di wilayah Kabupaten Aceh Tengah berada tidak jauh dari sumber air. Loyang Mendali, Puteri Pukes, Loyang Koro lokasinya di sekitar Danau Lut Tawar, sedangkan Loyang Datu dekat dengan Sungai Loyang Datu. Danau Lut Tawar selain sebagai sumber air, juga mengandung berbagai ikan yang menjadi sumber makanan. Jenis ikan yang hidup di danau Lut Tawar misalnya, depik (Rosbora leptosoma), eyes (Rosbora argyrotaenia), kawan (Puntius tawarensis), dll. (Melalatoa,2003:16). Aktivitas mencari ikan diketahui dari keberadaan fragmen tembikar hias yang ditemukan di Loyang Mendali. Motif yang digunakan pada tembikar hias umumnya motif geometris berupa garis-garis vertikal, garis putus-putus vertikal, garis-garis horizontal, dan pola jala. Pola jala sering digunakan pada fragmen tembikar yang terdapat di beberapa situs prasejarah yang berdekatan dengan daerah perairan. Jala merupakan salah satu peralatan yang digunakan untuk mencari ikan, keberadaan fragmen tembikar dengan pola jala mengindikasikan adanya kegiatan mencari ikan oleh masyarakat pembuatnya.
Kemudian rawa-rawa di sekitar danau serta sekitar sungai yang bermuara ke danau itu merupakan habitat dari beberapa jenis moluska. Keberadaan cangkang moluska di Loyang Mendali dan pelandas di Gua Puteri Pukes yang difungsikan untuk memecahkan cangkang moluska menggambarkan adanya pengkonsumsian jenis hewan itu. Hingga kini masyarakat Gayo selain mencari dan mengkonsumsi ikan juga jenis moluska air tawar (memin) dan siput (ketor) (Melalatoa,2003:44).
Kondisi Loyang Koro berbeda dengan Loyang Mendali dan Gua Puteri Pukes, lokasinya dekat dengan bagian landai Danau Lut Tawar, sedangkan Loyang Koro berada pada bagian yang terjal sehingga memerlukan waktu untuk menjangkau bagian tepian danau tersebut guna mendapatkan air dan bahan makanan. Selanjutnya Loyang Datu memiliki sumber air berupa Sungai Loyang Datu. Sungai itu mengalir menuju ke Sungai Pesangan dan bermuara di Danau Lut Tawar. Selain sebagai sumber air, batu-batuan yang berada di tepiannya memungkinkan sebagai sumber bahan. Lingkungan di sekitar Loyang Datu juga memungkinkan menyediakan sumber makanan berupa flora dan fauna. Beragam kondisi pada masing-masing gua dan ceruk di wilayah Kabupaten Aceh Tengah memberikan peluang untuk dilakukan penelitian arkeologi lebih lanjut terhadap gua dan ceruk itu.
IV. Gua dan ceruk, permasalahan dan prospeknya bagi pengembangan pariwisata
Keberadaan gua dan ceruk di Kabupaten Aceh Tengah juga tidak luput dari berbagai permasalahan yang melingkupinya, antara lain meliputi kesalahan/kekurangan dalam penataan bagi kepentingan pariwisata dan perbedaan kepentingan di dalam pemanfaatannya. Gua-gua yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata antara lain Loyang Koro, Gua Puteri Pukes, dan Loyang Datu. Bagi wisatawan yang umumnya adalah wisatawan lokal untuk menjelajahi dan melihat bagian dalam Loyang Koro dan Gua Puteri Pukes telah disediakan penerangan dengan menggunakan genset, namun masih seadanya dan belum ditata dengan artistik. Demikian juga bunyi genset menambah ketidaknyamanan kunjungan wisatawan di dalam gua. Gua yang seharusnya dikondisikan sepi menjadi bising oleh bunyi alat tersebut. Selain itu di Loyang Koro terdapat kesalahan penanganan pada sebagian stalakmitnya terutama pada bagian yang berdekatan dengan mulut gua. Untuk keperluan wisata sebagian stalakmit di Loyang Koro telah dipangkas dan sebagian diubah menjadi anak tangga. Hal itu tentunya telah merusak tampilan alami gua, karena bagian yang menarik dari sebuah gua adalah keberadaan stalaktit dan stalakmitnya.
Di Loyang Datu sudah terlihat adanya penataan oleh dinas terkait (Dinas Pariwisata) dengan membuat jalan setapak dan anak tangga bersemen yang dilengkapi dengan pagar besi di bagian pinggirnya. Balai-balai/pendopo, wc, mushola telah disediakan. Akan tetapi masih terlihat adanya kekeliruan di dalam penataan terhadap situs tersebut. Penempatan balai-balai/pendopo di bagian mulut gua, di bagian dalam gua, dan berdekatan dengan sungai memperburuk tampilan gua itu. Demikian halnya dengan anak tangga yang berada di bagian dalam gua juga mengurangi kondisi alamiahLoyang Datu. Gua ini tidak memerlukan pencahayaan tambahan disebabkan kondisinya sudah terang secara alami.
Sebagian cekungan dinding gua kondisinya gelap sehingga dihuni oleh kelelawar. Kelelawar itu menghasilkan guano (kotoran kelelawar). Guano ini diperlukan untuk pupuk pada kegiatan pertanian sehingga sebagian masyarakat memanfaatkannya. Di beberapa sisi terlihat adanya pengrusakan terhadap dinding gua. Para pencari guano membuat cekungan-cekungan dengan memecahkan bagian dalam dinding gua agar menjadi tempat kelelawar yang nantinya menghasilkan guano. Hal ini merupakan vandalisme yang cukup merugikan bagi kelestarian gua. Pengrusakan dinding gua dapat menyebabkan runtuhnya gua, selain itu juga tampilan gua secara alami dapat rusak oleh kegiatan tersebut sehingga harus segera dihentikan.
Berbeda dengan permasalahan yang ada di ketiga gua itu, di Loyang Mendali ceruk-ceruknya mengalami kerusakan karena difungsikan sebagai kandang ternak sapi. Pada sore hari banyak ternak sapi yang berlindung di tempat tersebut, terutama pada ceruk di bagian baratlaut (sektor 4) yang ruangannya lebih luas dibandingkan ceruk-ceruk lainnya. Ceruk itu cukup kotor dan berbau tidak sedap karena di bagian lantai hingga bagian depan ceruk penuh dengan kotoran sapi. Kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh ternak itu juga terlihat di beberapa ceruk lain. Sebagian lantai ceruk telah longsor akibat aktivitas tersebut, sehingga beberapa temuan yang awalnya berada di dalam tanah kini ditemukan pada bagian yang longsor.
Gua dan ceruk yang terdapat di Kabupaten Aceh Tengah memiliki prospek yang cerah bagi pariwisata. Selain posisinya yang berdekatan dengan Danau Lut Tawar menawarkan panorama yang indah, lokasinya juga mudah dijangkau dari arah Kota Takengon yang menjadi ibukota kabupaten itu. Hal lain yang juga menarik adalah budaya yang dimiliki masyarakat Gayo yang tinggal di wilayah itu, seperti kesenian didong, cerita rakyat yang dituangkan dalam kekeberen, dan rumah adat pitu ruang dan lime ruangnya. Beberapa fasilitas yang telah tersedia di kota itu antara lain hotel, restoran, dan alat transportasi juga memberi kemudahan dalam kunjungan ke daerah itu bahkan untuk tinggal beberapa waktu. Namun demikian banyak hal yang perlu dibenahi untuk dapat mendatangkan wisatawan domestik maupun asing, terutama untuk memasarkan gua/ceruk sebagai objek wisata andalan.
Sebelum memanfaatkan gua/ceruk sebagai objek wisata, hendaknya perlu diperhatikan bahwa gua/ceruk merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sekitarnya. Kerusakan lingkungan sekitar gua/ceruk dapat pula merusak keberadaan gua atau ceruk. Demikian halnya dengan struktur bagian dalam gua/ceruk yang terdiri dari dinding, lantai, serta stalaktit dan stalakmitnya, merupakan suatu fenomena alam yang terbentuk oleh aliran sungai atau tetesan air dalam kurun waktu yang sangat lama. Tidak jarang di dalam gua juga menjadi habitat flora dan fauna. Kondisinya yang gelap, lembab, temperatur rendah serta sirkulasi udara yang kurang menjadi habitat yang baik untuk beberapa jenis flora dan fauna seperti bakteri, jamur, serangga, kelelawar, ular dan lain-lain. Bahkan di dalam gua juga terjadi rantai makanan diantara flora dan fauna yang hidup di dalamnya. Demikian juga keterkaitan antara yang hidup di dalam gua dengan di luar gua (Whitten,dkk.,2000:313–335). Kondisi yang demikian inilah yang menyebabkan bidang-bidang seperti biologi, geologi, paleontologi, speleologi mempunyai kepentingan terhadap keberadaan gua/ceruk serta lingkungannya guna pengembangan penelitian ilmunya.
Di sisi lain keberadaan gua/ceruk bagi manusia di masa lalu dipandang sebagai tempat yang cocok sebagai hunian yang bersifat sementara atau dalam kurun waktu yang lama. Aktivitas yang berlangsung di dalam gua/ceruk kemudian meninggalkan bekas-bekasnya yang menjadi tinggalan arkeologis yang diperlukan bagi pengembangan penelitian arkeologi. Dengan demikian selain gua/ceruk dipandang sebagai sumber daya alam, di dalamnya juga terkandung sumber daya budaya yang dihasilkan oleh manusia masa lampau.
Di bidang pariwisata gua/ceruk yang ada dapat dijadikan sebagai objek wisata alam selain juga sebagai objek wisata budaya terutama untuk gua yang mengandung tinggalan arkeologis. Sebelum membenahi suatu tempat sebagai objek wisata perlu kiranya mempelajari motivasi wisatawan dalam melakukan perjalanan ke suatu tempat. Beberapa ahli mengelompokkan motovasi wisatawan ke dalam empat kelompok besar, yaitu: physical or physiological motivation (motivasi yang bersifat fisik atau fisiologis), cultural motivation (motivasi budaya), social motivation or interpersona motivation (motivasi yang bersifat sosial), dan fantasy motivation (motivasi karena fantasi) (McIntosh,1977, Murphy,1985, Sharpley,1994, dalam Pitana,dkk.,2005:58). Di dalam kaitan pengembangan gua/ceruk sebagai objek wisata alam dan wisata budaya, para wisatawan dengan motivasi yang bersifat fisik atau fisiologis dan motivasi budaya lebih cocok dibidik ke objek tersebut.
Pemahaman akan motivasi wisatawan selain diperlukan untuk membenahi dan melakukan penataan terhadap suatu objek wisata, juga dimaksudkan agar pelaku pariwisata mampu menarik wisatawan berkunjung ke objek tersebut. Untuk itu sarana dan prasarana yang memadai juga diperlukan untuk melengkapi kenyamanan dalam kunjungan ke suatu objek wisata. Diharapkan hasil kunjungan ke objek wisata itu memberi manfaat bagi para wisatawan. Seperti yang dikemukakan oleh Krippendorf (1997, dalam Pitana,dkk.,2005:62) antara lain; Travel is recuperation and regeneration (perjalanan wisata merupakan wahana penyegaran dan regenerasi fisik dan mental), Travel is escape (perjalanan wisata merupakan ‘pelarian’ dari situasi keseharian), Travel broadens the mind (perjalanan wisata merupakan wahana untuk mengembangkan wawasan), Travel is happiness (perjalanan wisata merupakan sesuatu yang menyenangkan), dan lain-lain.
Penataan yang diperlukan untuk kepentingan tersebut adalah dengan menyajikan objek tersebut sealami mungkin, selain juga tidak menghilangkan tinggalan arkeologis yang berada di permukaan, serta menampilkan keterangan berkaitan dengan tinggalan arkeologis di dalamnya (bagi gua/ceruk yang telah diteliti/diekskavasi) dalam bentuk guide book atau brosur. Pemangkasan atau vandalisme terhadap dinding gua/ceruk serta stalaktit dan stalakmit di dalamnya harus dihindari, karena sebagai gua alam bagian-bagian tersebut menyajikan panorama dengan keindahan tersendiri. Penataan gua/ceruk sebagai objek wisata seharusnya juga memperhatikan dan menyajikan kondisi alami guanya sehingga tetap dapat menarik wisatawan. Kondisi yang sepi dan gelap dari gua/ceruk tetap harus dipertahankan. Jika diperlukan penerangan di bagian dalam gua hendaknya ditata dengan artistik sehingga dapat menampilkan keindahan gua dengan stalaktit dan stalakmitnya. Dapat dikatakan bahwa upaya ‘menjual’ potensi gua/ceruk serta kawasan karstnya harus diikuti dengan upaya konservasi dan pelestariannya, sehinga berbagai kepentingan berkaitan dengan keberadaan objek tersebut dapat terselenggara dengan baik.
V. Penutup
Sebagai situs arkeologi gua dan ceruk memiliki sifat-sifat yang sama dengan situs dan tinggalan arkeologis lainnya, sehingga dalam penanganan dan pengelolaannya diperlukan kehati-hatian. Sifat-sifat yang dimiliki situs dan tinggalan arkeologis, antara lain tidak terperbarui (non renewable) dan mudah rapuh (vulnerable/fragile) hendaknya menjadi perhatian utama mengingat jika terjadi penanganan yang tidak tepat maka situs dan tinggalan arkeologis itu akan mengalami kerusakan dan tidak dapat digantikan/diperbarui lagi. Untuk itu diperlukan pemintakatan/zoning sehingga kerusakan situs dapat dihindari selain juga perhatian terhadap konservasinya. Selain itu di dalam penyusunan master plan–nya harus betul-betul komprehensif dengan melibatkan unsur-unsur terkait karena berhubungan dengan aspek-aspek sosial-budaya, ekonomi, lingkungan, dan sebagainya. Upaya-upaya itu tidak hanya penting bagi pengembangan penelitian arkeologi atau ilmu lain tetapi juga bagi kepentingan pariwisata. Bagi pengembangan pariwisata nantinya diharapkan objek tersebut akan dapat memberi manfaat secara ekonomi, (meningkatnya pendapatan masyarakat dan pemerintah), sosial budaya (pelestarian budaya dan adat istiadat), serta manfaat bagi lingkungan (tetap memelihara lingkungan sehingga memenuhi keinginan wisatawan akan suasana tenang, bersih, jauh dari polusi, santai).
Kepustakaan
Bronson, Bennet dan Teguh Asmar, 1973. Laporan Penelitian Arkeologi di Sumatera. Jakarta: Lembaga Peninggalan Purbakala Nasional dan University of Pennsylvania Museum
Hurgronje, C.Snouck, 1903. Het Gajoland en Zijne Bewoners, edisi terjemahan Gayo Masyarakat dan Kebudayaan awal abad ke- 20, oleh Hatta Hasan Aman Asnah, 1996. Jakarta: Balai Pustaka
Kosasih, E.A., 2001. Bentang Ekosistem Karst dan Prospek Wisata Arkeologi Indonesia, dalam Memediasi Masa Lalu, dalam Spektrum Arkeologi dan Pariwisata, ed. M. Irfan Mahmud. Makassar: Balai Arkeologi Makassar dan Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin Makassar, hal. 149–180
Melalatoa, M. Junus, 2003. Gayo Etnografi Budaya Malu. Jakarta: Yayasan Budaya Tradisional dan Kantor Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Pitana, I Gde, & Gayatri, Putu G., 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta:ANDI
Soejono, R.P. (ed.), 1993. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka
Susilowati, Nenggih & Koestoro, Lucas P., 2007. Laporan Penelitian Arkeologi, Penelitian Arkeologi di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Medan: Balai Arkeologi Medan (belum diterbitkan)
Tim penelitian, 1997. Laporan Penelitian Arkeologi. Survei Gua-gua di Bukit Lawang dan sekitarnya, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Medan: Balai Arkeologi Medan (tidak diterbitkan)
Tim penelitian, 1998. Laporan Penelitian Arkeologi. Ekskavasi Situs Gua Kampret Tahap II Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Medan: Balai Arkeologi Medan (tidak diterbitkan)
Whitten, Tony, Sengli J. Damanik, Janzanul Anwar, & Nazaruddin Hisyam, 2000. The Ecology of Sumatra, in The Ecology of Indonesia Series, Volume I. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd.
Wiradnyana, Ketut, Nenggih Susilowati, dan Lucas P. Koestoro, 2002. Gua Togi Ndrawa, Hunian Mesolitik di Pulau Nias. Berita Penelitian Arkeologi No. 08. Medan: Balai Arkeologi Medan
Wiradnyana, Ketut, 2005. Keletakan Situs dan Karakteristik Moluska, Indikasi Strategi Adaptasi Pendukung Budaya Hoa-Binh di Pantai Timur Sumatera, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala No. 15. Medan: Balai Arkeologi Medan, hal. 44–53
Rentang Budaya Prasejarah Nias: Dating dan Wilayah Budaya,
dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala Vo. X No. 20. Medan: Balai Arkeologi