Melestarikan Lingkungan Melalui Pelestarian Tradisi

Oleh : Deni Yudiawan

LINGKUNGAN dan adat istiadat di Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Pangalengan, Kab. Bandung, masih terawat baik. Ini karena tradisi yang masyarakat sekitar pegang teguh, yakni memelihara lingkungan agar tetap seimbang. Ilin Dasyah, generasi ketiga dari pendiri Kampung Cikondang selalu giat melestarikan tradisi para leluhur demi keseimbangan alam di sekitarnya.

DI saat bencana alam seperti longsor dan banjir menghantam wilayah Jawa Barat termasuk Kab. Bandung ternyata warga Kp. Cikondang tetap adem ayem. Ini tak lepas dari kebijakan leluhur kampung yang terus dipelihara secara turun temurun meski perubahan zaman terus menggerusnya.

"Lamajang sendiri sering diartikan laun-laun majeng (lama-lama maju), karena itu kami tak melarang anak-anak untuk sekolah sampai setinggi apa pun. "Kalau di kampung adat lain mungkin ada tabu atau pantangan kalau generasi muda sekolah sampai tinggi sebab pasti ada pengaruhnya bagi adat istiadat leluhur. Namun, di Kp. Cikondang tidak ada larangan sama sekali," kata Ilin, generasi ketiga dari Uyut Sutiyah-- salah seorang pendiri Kp.
Cikondang.

Untuk mencapai Kp. Cikondang yang Kamis lalu diresmikan Bupati Bandung H. Obar Sobarna, SIP, sebagai desa wisata tidak terlampau sulit. Dari Jalan Raya Cimaung-Pangalengan kita tinggal belok menuju PLTA Lamajang lalu belok kiri menuju Desa Lamajang. Jarak dari Jalan Raya Pangalengan sampai Kampung Cikondang sekira 5 Km dengan aspal mulus diwarnai pemandangan yang elok dan jalan sempit berkelok-kelok.

Saat berada di Kampung Cikondang sebetulnya kita tak akan menemukan perkampungan adat layaknya Kampung Naga di Tasikmalaya atau Kampung Mahmud, Margaasih, Kab. Bandung. Tak ada deretan rumah-rumah adat tempo dulu, melainkan rumah permanen berdinding semen dan beratap genting layaknya rumah di kota.

Lalu, di mana keistimewaan desa wisata Kampung Cikondang? Ternyata dari kebiasaan masyarakat sekitar untuk memelihara lingkungannya secara turun-temurun.

Dari Jalan Kampung Cikondang kita bisa memasuki sebuah gang sempit menuju sebuah rumah keramat dengan lingkungan yang terawat dan tertata dengan baik. Di areal lahan milik adat tumbuh subur tanaman yang sudah amat langka seperti cempaka putih, kikacapi, maupun lame yang berusia ratusan tahun.

Selai itu di areal tersebut mereka memelihara secara baik binatang yang di antaranya termasuk langka, seperti manintin, ancuing, sarieup, canitnit, burung momono, musang, sampai tikus dan ular. Pendeknya dengan cara itu mereka menjaga keseimbangan lingkungannya, sehingga alam tidak "marah" terhadap manusia yang menghuninya.

"Dengan hidup menjaga dan senafas dengan lingkungan akan membuat asyik pemandangan dan nyaman sekaligus menjauhkan diri dari bencana alam seperti
longsor dan banjir yang akhir-akhir sering terjadi," kata pria yang pensiunan tentara ini.

Pesan lingkungan dari leluhur inilah yang selalu ia dan masyarakat sekitar junjung dan diupayakan sebisa mungkin untuk diteruskan.

**
ADAT istiadat leluhur selalu dijunjung tinggi karena masyarakat setempat memang merasakan manfaatnya bagi lingkungan.

Coba saja bayangkan, jika tanaman langka maupun binatang-binatang langka tidak dipelihara, kemana lagi generasi mendatang akan mencari mereka. Ya, Ilin dan masyarakat sekitar tidak hanya berpikir untuk masa kini tapi untuk masa depan anak cucunya yang akan mewarisi alam yang tetap lestari.

Di kampung tersebut masyarakat memiliki rumah adat yang di sekelilingnya terdapat lumbung padi atau dalam bahasa Sunda biasa disebut leuit, lisung dan penumbuk padi, dan pancuran air untuk mandi.

Rumah keramat juga dilengkapi dengan lima kolam ikan, sawah 0,5 hektare, dan sawah darat 3 hektare dengan ditumbuhi ratusan tanaman dan hewan yang sebagian sudah langka dan perlu dilindungi. Dari pemandangan ini terlihat pesan lingkungan yang diwariskan para leluhur mereka.

Agar keberadaan tanaman serta peninggalan para leluhur tetap lestari dan mudah merawatnya Ilin melakukan pendataan jenis-jenis tumbuhan dan hewan, baik di yang ada halaman rumah adat, pintu gerbang, di dalam dan di luar makam keramat, juga yang ada di luar halaman.

"Tanaman di luar makam keramat dan di luar halaman rumah adat mencapai 65 jenis dengan ribuan batang, sedangkan hewan yang terpelihara baik sebanyak 36 jenis dengan ratusan ekor jumlahnya. Hewan itu mulai dari unggas peliharaan dan unggas liar, hewan pengerat, hewan melata, dan hewan liar," jelasnya menyebutkan hasil inventarisasinya.

Bagi Ilin, rupanya apa yang ada belumlah cukup. Karena itu meski sudah merawat dengan baik dan memenuhi kampungnya dengan tanaman yang cukup rindang, Ilin masih mengusulkan adanya penambahan pohon. Ia menginginkan pohon-pohon yang bermanfaat dan bisa menghasilkan buah, misalnya pohon duren unggul sebanyak. Ia mematok jumlah pohon duren sebanyak 10 buah, pohon alpukat 10 buah, mangga 10 buah, nangka 10 buah, sengon 100 pohon, ekaliptus 10 buah, dan tanaman langka 10 jenis.

"Semoga gaya hidup yang memelihara lingkungan menjadi contoh bagi masyarakat lainnya. Caranya dengan memelihara hutan," harapnya.

Kampung Cikondang pun menyimpan potensi wisata lain, misalnya Desa Lamajang sendiri memiliki 9 tempat keramat berupa makam keramat yakni Lamajang, Talun, Bojong, Jamaringan, Renggal, Ciguriang, Cikanjang, Cibiana, dan Cibodas Wetan.

"Selain menyaksikan keasrian dan tradisi di Kp. Cikondang, enam curug (air terjun-Red) juga siap menyajikan panorama yang indah dari Curug Cimalaninda, Curug Cipadarinda, Curug Ciruntah, Curug Cisangiang, Curug Cikakapa, dan Curug Ceret. Namun, untuk mencapai salah satu curug saja perlu perjuangan yang amat menantang bagi para petualang alam bebas," paparnya.

PLTA Lamajang yang merupakan PLTA pertama di Indonesia, juga bisa menjadi wisata menarik, apalagi dengan adanya Batu Eon yang berada di tengah-tengah kolam PLTA. "Batu tersebut tak bisa dihancurkan meski sudah memakai dinamit malah yang mendinamit batu yaitu Pak Eon meninggal dunia. Untuk mengenangnya, maka warga menyebutnya Batu Eon," kata Ilin yang saat kejadian membantu pembangunan PLTA Lamajang.

Ilin bertekad, keindahan dan kekayaan tradisi Kampung Cikondang akan terus dilestarikan. Bersama-sama masyarakat, ia akan terus memelihara lingkungannya dari gangguan "dunia luar". "Bagaimanapun tekad senafas dengan lingkungan tetap akan kami pertahankan dan terus kami bina," tekadnya. (Sar/"PR")***

Pipa Lamajan, Belum Pernah Bocor Sejak 1920

BAGI Anda yang pernah berkunjung ke Pangalengan Bandung selatan pasti melihat bentangan pipa panjang berwarna kuning di sisi barat jalan raya. Namun, tahukah Anda, pipa raksasa itu telah ada sejak 1920?

Tak banyak orang tahu bahwa pipa itu digunakan untuk menjatuhkan air dari ketinggian 216 meter dan memutarkan turbin di PLTA Lamajan atau disebut dengan pipa pesat. Meski hanya berdaya 3x6,5 mw, listrik yang dihasilkan PLTA ini mewakili berkontribusi dalam menyuplai kebutuhan listrik di jaringan Jawa-Bali.

Jika dilihat dari jalan raya, sekilas sepasang pipa ini tampak lurus dari atas ke bawah. Namun, saat dilihat dari dekat ternyata pipa sepanjang 450 meter itu berlekuk-lekuk, tepatnya memiliki delapan lekukan. Pipa besi itu memiliki diameter 1,8 dan 1,2 meter. Uniknya, selama 80 tahun lebih pipa ini digunakan ternyata belum pernah mengalami kebocoran!

“Pada 1994, pernah dilakukan pembersihan pipa dengan cara sand blast atau memompakan pasir khusus dengan tekanan tinggi ke dalam pipa itu,” kata Hardiyanto, Supervisor Pemeliharaan Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Saguling, Sub Unit PLTA Lamajan, Pangalengan.

Dua buah pipa pesat itu adalah penghubung antara Kolam Tando Harian (KTH) yang menampung air dari hulu dan power house yang berisikan tiga buah turbin dengan daya terpasang 7,25 mw.

Hampir seumur dengan dua buah pipa pesat tadi, ketiga turbin itu juga merupakan warisan pemerintah Belanda sejak 1920.

1.400 anak tangga

Tak banyak pula orang yang tahu, di sisi pipa terdapat tangga dengan jumlah anak tangga lebih dari 1.400 buah. Jika berjalan dari power house menuju KTH dengan meniti tangga tersebut maka akan memakan waktu sekira satu jam perjalanan. Wuih...

Namun, masyarakat di Cinangka dan Kasepen Desa Lamajang Pangalengan ternyata biasa meniti tangga itu setiap hari bila akan ke luar kampungnya menuju pusat keramaian.

Pipa di PLTA Lamajan memang menjadi daya tarik tersendiri. Tapi, mungkin akan lebih menarik jika pipa itu dihias grafity. Jadi, siapa yang berminat memperindah pipa itu, sehingga tidak terlalu monoton seperti selama ini?