Oleh : Endang Bidayani, SPi
NEGERI seribu danau, meminjam istilah Ibu Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meuthia Hatta sepertinya memang tepat disandang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Betapa tidak, berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan PT Tambang Timah tahun 2003, jumlah kolong pasca penambangan timah di wilayah Bangka dan Belitung sebanyak 887 kolong dengan luas 1.712,65 hektar, yang terdiri dari 544 kolong dengan luas 1.035,51 hektar di Pulau Bangka, dan sebanyak 343 kolong dengan luas 677,14 hektar di Pulau Belitung. Tidak tertutup kemungkinan, jumlah kolong atau orang Bangka biasa menyebutnya lobang camuy ini akan terus bertambah seiring berjalannya waktu, dan maraknya aktivitas penambangan timah dalam kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini.
Dari ratusan kolong yang ada, baru sekitar 20 persen yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, sumber air dimusim kemarau, pengairan sawah dan usaha budidaya ikan. Selebihnya kolong belum dimanfaatkan dengan baik. Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban di lobang camuy karena tenggelam. Berdasarkan penelitian pula, dapat diketahui bahwa air kolong pasca penambangan timah banyak mengandung logam berat, seperti Zn, Pb dan Cu yang berbahaya jika terkonsumsi manusia. Dan membutuhkan waktu yang lama, sekitar sepuluh tahun untuk menetralisir kandungan logam berat di kolong.
Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan demikian kita tidak bisa memanfaatkan keberadaannya? Jawabannya tidak. Diperlukan kearifan semua pihak untuk dapat melihat potensinya, yakni bagaimana menjadikan kolong yang tidak berguna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Saat ini kita sedang mengalami kesulitan dalam hal mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM), termasuk minyak tanah yang antrean jerigennya bisa mencapai belasan meter. Belum lagi harga minyak tanah yang semakin membumbung sejak diumumkannya kenaikan harga BBM oleh pemerintah pertengahan bulan Mei lalu.
Disinilah kita bisa memainkan peranan. Penemuan baru adanya briket dari sampah organik memberikan inspirasi, bahwasanya kolong bisa menjadi sumber untuk mendapatkan bahan baku yang dibutuhkan untuk pembuatan briket. Dari hasil budidaya eceng gondok di kolong, tidak saja kemampuannya dapat membersihkan polutan logam berat di kolong, sehingga air kolong dapat dimanfaatkan lebih cepat atau kurang dari sepuluh tahun sebagai sumber air bersih.
Eceng gondok juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan tangan seperti tas, tikar, dan furnitur dengan harga jual tinggi. Bahkan produk olahan berbahan baku eceng gondok ini diminati masyarakat manca negara karena keunikannya. Saat ini eceng gondok banyak dibudidayakan di rawa-rawa di Pulau Jawa, dan menjadi sumber penghidupan bagi sebagian masyarakat sekitarnya.
Untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap usaha budidaya eceng gondok, memang diperlukan campur tangan pemerintah daerah setempat sebagai agen perubahan (agent of change). Pemerintah harus berperan aktif dalam mensosialisasikan kegunaan dari usaha ini. Dan meyakinkan bahwa usaha tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan melalui penyuluhan dan pembinaan yang berkesinambungan.
Selain sangat mudah dibudidayakan, usaha budidaya eceng gondok tidak membutuhkan biaya tinggi, sehingga masyarakat sekitar kolong dapat dengan mudah mengembang biakkannya. Melalui pelatihan cara membuat kerajinan tangan maupun briket berbahan baku eceng gondok, tidak mustahil kolong bisa menjadi sumber kemakmuran.
Pemerintah dan pihak lainnya, juga dapat melakukan terobosan pemanfaatan kolong sebagai usaha budidaya ikan melalui proyek percontohan. Seperti yang telah dilakukan PT Koba Tin dengan Fish Farm-nya, atau Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangka dengan Karamba Jaring Apung (KJA) nya yang berlokasi di kolong Air Simpur Pemali.
Dari sektor pariwisata, obyek wisata kolong dapat ditawarkan, sekaligus mendukung Program Visit Babel Archi 2010. Bagaimana upaya untuk membuat kolong memiliki daya tarik wisatawan, itu merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Namun, jika ada kemauan segala sesuatunya tidak ada yang mustahil. Contoh wisata kolong yang cukup menyita perhatian masyarakat adalah kolong sebagai lokasi pemancingan, dan tempat peristirahatan, seperti Pha Kak Liang di Belinyu.
Hasil kunjungan mahasiswa kami dari Program Studi DIII Perikanan Universitas Bangka Belitung ke Pulau Belitung akhir bulan Mei lalu, ada bebarapa hal menarik yang dapat kami cermati. Selain pesona pantai Tangjung Tinggi dan Tanjung Kelayang yang luar biasa dengan kejernihan airnya yang tidak terjamah Tambang Inkonvensional (TI) apung, kami juga dapat belajar bagaimana upaya Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung memanfaatkan kolong sebagai sumber air untuk Balai Benih Ikan (BBI) yang saat ini sedang dalam pembangunan tahap kedua. Bisa dikatakan, bahwa ini merupakan tantangan yang berubah menjadi peluang.
Jika kita telaah, ternyata kolong tidak hanya menjadi sumber masalah bagi masyarakat Bangka Belitung, tetapi lebih dalam kita dapat melihat bahwa kolong juga menyimpan potensi untuk meningkatkan kesejahteraan di era pasca tambang. Jika dikelola dengan baik, maka kolong bisa menjadi alternatif sumber penghidupan.
Kemauan dan kerja kerja keras kita untuk bagaimana merubah masalah yang ada menjadi potensi, ini merupakan PR kita bersama. Memulai hal kecil dari diri kita sendiri, siapa tahu berbuah manis di kemudian hari. Semoga !
Suber : http://www.ubb.ac.id
NEGERI seribu danau, meminjam istilah Ibu Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meuthia Hatta sepertinya memang tepat disandang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Betapa tidak, berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan PT Tambang Timah tahun 2003, jumlah kolong pasca penambangan timah di wilayah Bangka dan Belitung sebanyak 887 kolong dengan luas 1.712,65 hektar, yang terdiri dari 544 kolong dengan luas 1.035,51 hektar di Pulau Bangka, dan sebanyak 343 kolong dengan luas 677,14 hektar di Pulau Belitung. Tidak tertutup kemungkinan, jumlah kolong atau orang Bangka biasa menyebutnya lobang camuy ini akan terus bertambah seiring berjalannya waktu, dan maraknya aktivitas penambangan timah dalam kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini.
Dari ratusan kolong yang ada, baru sekitar 20 persen yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, sumber air dimusim kemarau, pengairan sawah dan usaha budidaya ikan. Selebihnya kolong belum dimanfaatkan dengan baik. Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban di lobang camuy karena tenggelam. Berdasarkan penelitian pula, dapat diketahui bahwa air kolong pasca penambangan timah banyak mengandung logam berat, seperti Zn, Pb dan Cu yang berbahaya jika terkonsumsi manusia. Dan membutuhkan waktu yang lama, sekitar sepuluh tahun untuk menetralisir kandungan logam berat di kolong.
Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan demikian kita tidak bisa memanfaatkan keberadaannya? Jawabannya tidak. Diperlukan kearifan semua pihak untuk dapat melihat potensinya, yakni bagaimana menjadikan kolong yang tidak berguna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Saat ini kita sedang mengalami kesulitan dalam hal mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM), termasuk minyak tanah yang antrean jerigennya bisa mencapai belasan meter. Belum lagi harga minyak tanah yang semakin membumbung sejak diumumkannya kenaikan harga BBM oleh pemerintah pertengahan bulan Mei lalu.
Disinilah kita bisa memainkan peranan. Penemuan baru adanya briket dari sampah organik memberikan inspirasi, bahwasanya kolong bisa menjadi sumber untuk mendapatkan bahan baku yang dibutuhkan untuk pembuatan briket. Dari hasil budidaya eceng gondok di kolong, tidak saja kemampuannya dapat membersihkan polutan logam berat di kolong, sehingga air kolong dapat dimanfaatkan lebih cepat atau kurang dari sepuluh tahun sebagai sumber air bersih.
Eceng gondok juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan tangan seperti tas, tikar, dan furnitur dengan harga jual tinggi. Bahkan produk olahan berbahan baku eceng gondok ini diminati masyarakat manca negara karena keunikannya. Saat ini eceng gondok banyak dibudidayakan di rawa-rawa di Pulau Jawa, dan menjadi sumber penghidupan bagi sebagian masyarakat sekitarnya.
Untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap usaha budidaya eceng gondok, memang diperlukan campur tangan pemerintah daerah setempat sebagai agen perubahan (agent of change). Pemerintah harus berperan aktif dalam mensosialisasikan kegunaan dari usaha ini. Dan meyakinkan bahwa usaha tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan melalui penyuluhan dan pembinaan yang berkesinambungan.
Selain sangat mudah dibudidayakan, usaha budidaya eceng gondok tidak membutuhkan biaya tinggi, sehingga masyarakat sekitar kolong dapat dengan mudah mengembang biakkannya. Melalui pelatihan cara membuat kerajinan tangan maupun briket berbahan baku eceng gondok, tidak mustahil kolong bisa menjadi sumber kemakmuran.
Pemerintah dan pihak lainnya, juga dapat melakukan terobosan pemanfaatan kolong sebagai usaha budidaya ikan melalui proyek percontohan. Seperti yang telah dilakukan PT Koba Tin dengan Fish Farm-nya, atau Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangka dengan Karamba Jaring Apung (KJA) nya yang berlokasi di kolong Air Simpur Pemali.
Dari sektor pariwisata, obyek wisata kolong dapat ditawarkan, sekaligus mendukung Program Visit Babel Archi 2010. Bagaimana upaya untuk membuat kolong memiliki daya tarik wisatawan, itu merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Namun, jika ada kemauan segala sesuatunya tidak ada yang mustahil. Contoh wisata kolong yang cukup menyita perhatian masyarakat adalah kolong sebagai lokasi pemancingan, dan tempat peristirahatan, seperti Pha Kak Liang di Belinyu.
Hasil kunjungan mahasiswa kami dari Program Studi DIII Perikanan Universitas Bangka Belitung ke Pulau Belitung akhir bulan Mei lalu, ada bebarapa hal menarik yang dapat kami cermati. Selain pesona pantai Tangjung Tinggi dan Tanjung Kelayang yang luar biasa dengan kejernihan airnya yang tidak terjamah Tambang Inkonvensional (TI) apung, kami juga dapat belajar bagaimana upaya Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung memanfaatkan kolong sebagai sumber air untuk Balai Benih Ikan (BBI) yang saat ini sedang dalam pembangunan tahap kedua. Bisa dikatakan, bahwa ini merupakan tantangan yang berubah menjadi peluang.
Jika kita telaah, ternyata kolong tidak hanya menjadi sumber masalah bagi masyarakat Bangka Belitung, tetapi lebih dalam kita dapat melihat bahwa kolong juga menyimpan potensi untuk meningkatkan kesejahteraan di era pasca tambang. Jika dikelola dengan baik, maka kolong bisa menjadi alternatif sumber penghidupan.
Kemauan dan kerja kerja keras kita untuk bagaimana merubah masalah yang ada menjadi potensi, ini merupakan PR kita bersama. Memulai hal kecil dari diri kita sendiri, siapa tahu berbuah manis di kemudian hari. Semoga !
Suber : http://www.ubb.ac.id