Kesenian Dan Penyiarannya: Pembentukan Platform Nasional

Oleh : Prof. Dr. Edi Sedyawati

(Pusat penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia)


Konsep kebangsaan yang menggerakan nasionalismen Indonesia pada “Penggerakan Nasional” di zaman colonial memang berawal dari para pemikir dan pemimpin politik. Namun sebagian besar dapi para pemimpin dari para pemimpin pergerakan nasional itu adalah adalah juga orang-orang yang mempunyai kesadaran budaya. Kebudayaan bahkan sering juga digunakan sebagai ‘penggerak’ khalayak agar menjadi kebutuhan bangsa Indonesia ini untuk melepaskan diri dari belengu penjajahan dan mencapai kemerdekaan. Contoh yang paling jelas adalah pada penggalian khasanah sastra klasik untuk menemukan motto bhineka tunggal ika, yang dari konteks keagamaannya dialih-tafsirkan ke dalam konteks nation building, pembentukan persatuan atas dasar keanekaragaman suku bangsa dan pengalaman sejarahnya masing-masing.


Inti kebudayaan itu, yaitu bahasa sebagai sarana perumusan gagasan-gagasan, telah deklarasikan dengan lantang pada “SUmpah Pemuda” 1928 bahwa bangsa ini mempunyai satu bahasa persatuanyaitu bahasa Indonesia. Deklarasi tentang bahasa itu pada gilirannya menggulirkan karya –karya seni yang menggunakan bahasa tersebut, yaitu baik karya sastra modern dalam berbagai format (prosa, puisi, drama), maupun libretto atau ‘lirik’ bagi lagu-lagu itu dalam berbagai ragam, mulai dati “lagu kebangsaan” Indonesia raya sampai kebanyak lagu keroncong, kemudian apa yang dikenal sebagi “lagu-;agu perjuangan”, sampai ke langgam, seriosa, dan terakhir berbagai varian pop. Selanjutnya bahasa Indonesia itu mkengalami perkembangan tersendiri (baik pada aspek ketata bahasaan maupub bentukan dan serapan kata-kata baru) dalam konteks kehidupan seluruh bangsa, dan tidak lagi dibatasi pada etnisitas Melayu, di mana yang disebut terakhir ini masih tetap hidup dalam batasan budayanya yang khas.


Kesenian yang tadinya tumbuh dalam lingkup masing-masing kebudayaan etnik, setelah ‘deklarasi’ kebangsaan Indonesia dalam rangka Pergerkan Nasional menjadi mempunyai platform baru, yaitu suatu platform nasional yang trans-etnik. Suatu komponen yang bermakna dalam perkembangan pada platform nasional itu adalah kesenian yang diperkenalkan oleh para kolonialis, yaitu bentuk-bentuk kesenian yang awal pembangunannya terjadi di Eropa. Contoh yang paling mencolok pengaruhnya, artinya yang paling tuntas diserap untuk menumbuhkan suatu ‘korpus’ ungkapan seni yang dapat dikatakan “nasional” dan berada di luar pembatasan kesuku-bangsaan, adalah: (1) Seni sastra modern dalam gentre puisi 9soneta dan puisi bebas), roman/novel, dan sastra drama; (2) Seni patung modern yang ‘bebas’ atau lebih ke sifat naturalistik, seni lukis cat minyak di atas kamvas, dan seni grafis; (3) Seni musik dengan system nada diatonic; (4) Seni film. Keempat ranah berungkap seni itu serta merta bergerak pada flatfrom nasional, dan produksi serta penikmatannya melintas di atas perbedaan etnik. Dalam bidangbidang seni itu telah terjadi suatu mobilisasi potensi serta sarana, dan seringkali juga bergerak pada jalur pembangunan institusi. Institusi-institusi yang berbentuk untuk mewadahi gerak di bidang-bidang seni itu adalah dalam bentuk organisasi pendidikan (sekolah, kursus, himpunan professional, maupun organisasi ‘pemasaran’ (dalam arti luas, termasuk upaya diseminasi tanpa tujuan komersial).


Perkembangan sastra amat didukung oleh peranan yang kuat dari institusi penerbitan, baik pada pihak pemerintah maupun swasta. Pada akhir masa colonial pemerintah jajahan Belanda membentuk badan penerbit bernama Volkslectuur, yang nama Indonesianya alah Balai Poestaka / Balai Pustaka, yang tujuannya adalah menerbitkan buku-buku untuk meningkatkan pengetahuan “rakyat”. Hal ini sejalan dengan apa yang dinamakan etische politiek (kebijakan etik) pemerintahan jajahan, yang diimplementasikan dengan pendirian sekolah-sekolah untuk penduduk Indonesia. Di samping terbitannya berupa buku-buku pengetahuan populer, Volkslectuur juga menerbitkan karya-karya sastra. Karya-karya tersebut dalam bahasa Indonesia, dan pengarang-pengarang awal yang muncul melalui media tersebut disebut sebagai “Angkatan Balai Bahasa”. Di antara mereka terdapat Abdul Muis, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Mas Marco Kartodikromo, Merari Siregar, dan lain-lain. Sesudah itu muncul angkatan baru pengarang yang lebih tegas berorientasi padaa perkembangan kebudayaan modern. Mereka menyebut diri “Angkatan Pujangga Baru”, yang antara lain terdiri dari Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Armijn Pane,dan lain-lain. Nama angkatan ini mengikuti nama majalah bernama Pujangga Baru, yang ditrintis dan dipimpin oleh para satrawan tersebut, baik angkatana Balai Pustaka maupun Pujangga baru, dalah bahasa Indonesia, dan bukan lagi bahasa Melayu seperti yang digunakan dalam karya-karya sastra Melayu tradisional. Masalah yang dikemukakan dalam karya-karya sastra baru itu pun adalah masalah-masalah ‘masa kini’ di masa itu, dan bukan lagi tema-tema epik, legenda, dan lain-lain seperti yang lazim terdapat dalam sastra Melayu. Di antara masalah ‘masa kini’ itu menonjol masalah pergerakan nasional dan kritik terhadap tradisi-tradisi yang mengekang . Tema kebangsaan terdapat misalnya dalam Surapati dan Robert Anak Surapati karya Abdul Muis, Student Hijo dan rasa Merdika karya Mas Marco Kartodikromo, Tanah Air dan Indonesia Tumapah darhku karya Muhammad Yamin, Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana, Buiten Het Gareel karya Suwarsih Djojopuspito, dan lain-lain, sedangkan tema mempertanyakan tradisi yang mengekang ditunjukan oleh antara lain Salah Asuhan karya Abdul Muis, dan Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Semua karya itu, karena disiarkan melalui media penebitan umum, sedangkan khalayak Indonesia sudah pula semakin terdidik yang semakin terasah pula rasa nasionalisme.


Demikian pula yang terjadi pada masa berikutnya, yaitu masa perjuangan kemerdekaan yang ditandai oleh sejumlah perlawanan bersenjata terhadap kaum penjajah, karya-karya sastra Indonesia modern pun mendukung suasana umum di mana rasa kebanggaan dan kesadaran bela Negara semakin merata terdapat pada warga masyarakat Indonesia. Pada tahap itulah lahir sastra “angkatan 45”, dimana di dalamnya terdapat terdapat sastrawan-sastrawan seperti Chairil Anwar, drus, Usmar Ismal, Mochtar Lubis, Asrul Sani, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain. Karya-karya mereka mencerminkan semangat maupun situasi-situasi di masa perjuangan kemerdekaan itu. Di antara karya-karya yang memberikan kesan dalam mengenai suasana batin perjuangan kemerdekaan itu dapat disebut antara lain puisi Kerawang-Bekasi karya Chairil Anwar, cerpen Surabaya karya Idrus, dan dua jilid prosa berjudul Mereka yang dilumpuhkan karya Prmeodya Ananta Toer.


Di samping melalui media cetak. Penyajian sastra juga dikumandangkan melalui radio. Pada masa awal kemerdekaan itu berarti hanya oleh Radio Republik Indonesia, atau radio-radio ”gelap”, yaitu yang dipancarkan oleh para pejuang di masa pendudukan oleh tentara asing. Sastra yang disiarkan melalui radi terutama yang berupa sandiwara radio. Dapat pula digolongkan ke dalam sastra lisan (bermedia) adalah siaran-siaran seperti Obrolan Pak Besut yang dipancarkan dari Yogyakarta. Isinya masalah-masalah aktual, khususnya dalam ranah sosial-kultural-politik.


Dalam bidang seni rupa, masih dalam masa penjajahan Belanda, para seniman seni rupa telah mendirikan organisasi yang dinamakan Persatuan ahli-ahli Gambar Indonesia (PRESAGI) pada 23 Oktober 1938. Bacaan dan informasi mengenai perkembangan seni rupa modern di Eropa mengilhami para seniman seni rupa Indonesia untuk bergerak mengembangkan seni rupa Indonesia modern. Pedoman PERSAGI adalah : bahwa karya seni (rupa) adalah ungkapan pribadi seorang seniman, dan bahwa karya seni harus mengekspresikan pandangan budaya yang menandai suatu bangsa. Suasana politik pada masa pergerakan nasional, dorongan untuk secara dinamis menanggapi situasi-situasi aktual melalui karya, serta keyakinan akan perlunya sistem pendidikan nasional (sebagaimana dikembangkan oleh Taman Siswa pada waktu itu) sangat berpengaruh dalam gerak langkah PERSAGI. Perhimpunan ini bahkan juga menyediakan flatform bukan hanya untuk para seniman seni rupa melainkan juga para sastrawan, aktor, jurnalis dan politisi untuk saling berinteraksi. Perhimpunan ini kemudian dibubarkan pada tahun 1942 olh penguasa pendudukan Jepang. Pada tahun itu juga dibentuk POEUTRA (Poesat Tenaga Rakjat) yang dipimpin oleh Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mansoer, dan bagian kebudayaannya oleh sudjojono dan affandi. Tujuan organisasi ini adalah mengembangkan nasionalisme dan mencegah penggunaan seni untuk propaganda Jepang. Maka organisasi ini dibubarkan oleh penguasa pendudukan Jepang pada tahun 1944. Sementara itu penguasa Jepang membentuk Keimin Bunka Shidoso, suatu ”pusat kebudayaan”, pada tahun 1943. Bidang-bidang yang diurus dalam organisasi ini meliputi sastra, musik, tari, drama, film dan seni rupa. Bidang seni rupa dipegang oleh Agus Djaja, yang sebelumnya mengetuai PERSAGI[1].

Sebagaiamana dalam bidang sastra dan seni rupa, bidang-bidang senia lain yang ’diilhami’ seni dari Eropa, dalam hal ini musik, teater, dan film, juga tumbuh langsung dalam bingkai ke-Indonesia-an. Di antara pencipta lagu yang besar peranannya dalam menyuburkan nasinalisme pada khalayak luas adalah: Wage Rudolf Supratman dengan lagunya Indonesia Raya yang kemudian dinyatakan sebagai lagu kebangsaan Indonesia; Cornel Simanjutak dengan lagu antara lain Maju Tak Gentar, O Angin, Citra, Mekar Melati; Ismail Marzuki dengan karya a.l. Halo-halo Bandung dan Rayuan Pulau Kelapa; dan Kusbini dengan karya antara lain Bagimu Negeri dan Keroncong Sapu Lidi[2]. Mengenai lagu terakhir itu Kusbini pernah bertutur bahwa Bung Karno menganggap liriknya ampuh, yaitu dengan menbadingkan kekuatan sapu lidi dengan kekuatan persatuan bangsa. Lidi satu persatu mudah dipatahkan, tetapi yang terikat jadi sapu tidak mudah dipatahkan[3].


Sarana penyaiaran melalui radio amat besar peranannya dalam membuat lagu-lagu Indonasia baru itu berlangsung ’dimiliki’ oleh boleh dikatakan seluruh masyarakat. Pemacuan minat ke arah penciptaan dan penikmatan lagu-lagu Indonesia itu pernah dilakukan pula melalui program pemilihan Bintang Radio yang diselenggrakan oleh RRI[4], dan mulai dari tahap seleksinya disiarkan melalui radio. Seperti halnya melalui pidato-pidato politik, terutama oleh Bung Tomo dan Bung Karno, radio pun berperan besar dalam menggalang rasa kebangsaan. Bahan siaran musik pun didukung oleh orkes-orkes ’in house’ (”orkes studio simfoni” untuk musik diatonik, serta orkes-orkes karawitan studio, yang khususnya dibentuk di studio RRI Surakarta, Yogyakarta, dan Jakarta).


Perkembangan teater modern pun langsung berada di platform nasional, karena bahasa yang digunakan bahsa Indonesia dan kaidah teaternya mengikuti perkembangan di Eropa, dan tidak merupakan kelanjutan dari seni teater tradisi manapun di Indonesia. Sejak tahun1925-an teater seperti itu berkembang, dengan pasokan naskah-naskah drama dari para sastrawan Indonesia sendiri seperti Rustam Effendy, Sanusi Pane dan Armijn Pane pada awalnya, dan kemudian disusul para penulis naskah drama seperti Utuy T. Sontani, Usmar Ismail, Emil Sanosa, Kirdjomuljo dan Nasjah Djamin yang banyak menggeluti jiwa kebangsaan yang baru tumbuh[5]. Ada pula karya-karya sastra drama asing (seperti oleh Shkespeare, Albert Camus, Federico Garcia Lorca, Athurt Miller, dan lain-lain) yang diterjemaahkan dan diaminkan di Indonesia.


ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film) di Yogyakarta dan ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) di Jakrta adalah perguruan-perguruan tinggi pertama di Indonesia yang mengajarkan seni teater dan itu mereka sajikan untuk khalayak terdidik di kota masing-masing. Dari kedua perguruan itu muncul beberapa tokoh teater yang kemudian mengembangkan perkumpulannya sendiri. Maka, tahap selanjutnya dalam perkembangan teater nasional Indonesia adalah melalui munculnya perkumpulan-perkumlan. Di Bandung terdapat Studiklub Teater Bandung yang didirikan tahun 1958 dipimpin Jim Lim dan kemudian Suyatna Anirun. Di Jakarta terdapat Teater Populer pimpinan Stepe Lim (: Teguh Karya) yang antara 1961 dan 1972 menjadi ketuaSeksi Seni Budaya dari Hotel Indonesia. Di Yogyakarta didirikan Bengkel Teater pimpinan W.S Rendra pada tahun 1967. Suatu kelompok teater bernama Teater Kecil didirikan di Jakarta pada tahun 1968, dipimpin oleh Arifin C Noer. Salah seorang anggota Bengkel teater, Putu wijaya kemudian menidirikan grup teater sendiri di Jkarta pada tahun 1977, dinamakan Teater Mandiri[6]. Setelah itu masih muncul berbagai grup teater di berbagai kota besar. Yang patut menjadi perhatian adalah bahwa dalam produk-produk pementasan mereka selalu ada, sedikit atau banyak, unsur-unsur estetik yang dipetik dan diolah dari khasanah seni ungkap teater tradisi: bisa ceritanya, bisa karakterisasinya, bisa kostumnya, bisa garapan tuturnya, dsb. Tradisi yang diacu itu bisa dari mana saja: Bali, Jawa, Cirebon, dll. Sementara itu pendekatan ’kontemporer’ dalam arti pasca-modern.


Seni film semula banyak digeluti oleh seniman-seniman dengan latar pendidikan atau pengalaman teater. Cerita-cerita yang diangkat diambil dari berbagai sumber: kehidupan masa kini, legenda, maupun cerita-cerita fiksi dengan latar sejarah tertentu. Semua karya film bersifat ’nasional’, tak ada yang ’lokal’ atau kedaerahan.


Perkembangan seni tari di platform nasional agak berbeda dengan bidang-bidang seni yang lain, yang sedikit banyak bertumpu pada suatu perkembangan terdahulu di luar Indonesia. Tari Ballet misalnya, tak pernah menjadi semacam ’tari dasar’ di Indonesia, tidak seperti musik diatonik menjadi dasar bagi suatu perkembangan musik dalam lingkup nasional. Kenasionalan di bidang seni tari terdapat pada ranah saling kenal, saling mengapresiasi, dan untuk karya-karya tertentu saling mengambil elemen secara lintas-etnik. Di samping itu pendekatan berkarya secara ”Modern Dance” ataupun ”Contemporary Dance” menjadikan karya-karya tari terbaru pun sekaligus masuk di platform nasional.


Acuan Cepat

McGlynn, John H. (Editor). 1998. Language and Literature. Volume 10 dari seri Indonesian Heritage. Editions Didier Millet, Buku Antar Bangsa.

Sedyawati, Edi (Editor). 1998. Performing Arts. Volume 8 dari seri Indonesia Heritage. Editions Didier Millet, Buku Antar Bangsa.

Soemantri, Hilda (Editor). 1998. Visual Art. Volume 7 dari seri Indonesia Heritage. Editions Didier Millet, Buku Anar Bangsa.



[1] Catatan tentang PERSAGI, POETRA, dan bidang seni rupa dalam Keimin Bunka Shidoso oleh Kusnadi dalam SOemantri 1998: 50-53.

[2] Periksa Victor Ganap dalam SEdyawati 1998: 122-123. Ke dalam deretan lagu-lagu berjiwa kebangsaan itu dapat ditambahkan Ibu Kita Kartini karya W.R. Supratman, Hari Merdeka oleh Muntahar, Satu Nusa Satu Bangsa oleh L. Manik, Sepasang Mata Bola dan Selendang Sutra karya Ismail Marzuki.

[3] Penuturan Kusbini kepada penulis, sekitar tahun 1973.

[4] Pada masa pemerintahan dipimpin oleh Presiden Soekarno. Kemudian, di masa Orde Baru program ini terhenti, mungkin karena secara tidak langsung tersaing oleh radio-radio swasta yang kemudian banyak bermunculan dan mendapatkan popularitasnya.

[5] Saini K.M, dalam Sedyawati 1998: 103.

[6] Lihat Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam Seyawati 1998: 104-107.


Sumber:

Makalah disampaikan dalam Diskusi dan Pameran 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Lintas Sejarah. Bandung, 11-13 Agustus 2005.