Desentralisasi Pemerintahan Daerah Di Indonesia

Oleh : Soegijanto Padmo

Pengantar

Desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan telah menjadi fenomena sejarah sejak masa kolonial di Indonesia. Desentralisasi yang lazim dikaitkan dengan pemberian otonomi kepada sauatu wilayah untuk mengatur pelaksanaan pemerintahan di suatu daerah dalam batas –batas tertentu lazim disebut dengan istilah dekonsentrasi. Wilayah Indonesia atau Hindia Belanda waktu itu yang begitu luas tidak memungkinkan pemerintah pusat di Batavia untuk menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Oleh karena itu, sejak awal abad ke-19 penguasa kolonial telah berusaha untuk melaksanakan berbagai langkah guna mencapai efisiensi dalam menjalankan pemerintahan yang dikenal dengan reorganisasi dalam berbagai aspek pemerintahan.

Dalam tulisan ini dibahas secara kronologis yaitu pemerintahan Hindia Belanda I, Pemerintahan Inggris, pemerintahan Hindia Belanda II, dan pemerintahan Balatentara Jepang yang menyangkut proses reformasi pemerintahan yg terdiri dari reformasi di lingkungan departemen, reformasi di dalam perwilayahan, reformasi politik pemerintahan yg meliputi pemerin-tahan lokal dan pemerintahan pusat.

Pemerintahan Hindia Belanda I

Dengan dibubarkannya VOC, Indonesia diwariskan kepada pemerintah di Negeri Belanda yg saat itu disebut Bataafsche Republik. Penguasa yang dipercaya untuk mengurus Tanah Jajahan di Asia termasuk Indonesia adalah Raad van Asiatische Besittingen en Establisement yang bertanggung jawab kepada Dewan Eksekutif Rebublik. Pada tahun 1807 Jendral H.W. Daendels diangkat menjadi Gubernur Jendral di Indonesia. Ia berusaha keras melaksanakan pemusatan kekuasaan berdasarkan pada Korps Pangreh Praja Belanda dan Bumi Putera yg berdisiplin. Menurut Daendels kekuasaan pejabat yg diwariskan VOC terlalu besar sehingga mudah untuk memperkaya diri dengan cara melakukan korupsi. Pejabat yg dinilai terlalu besar kekuasaannya antara lain adalah Gubernur Pantai Jawa Timur Laut dan Residen yang berkedudukan di Kraton Yogyakarta dan Surakarta.

Untuk melaksanakan maksudnya Daendels menghapus Gubernemen Pantai Jawa Timur Laut. Demikian puula Residen yang berkedudukan di Kerajaan Jawa yang berada di bawah Gubernur diambilalih langsung di bawah pemerintah pusat di Batavia. Daerah Jawa di luar kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dibagi menjadi sembilan daerah administratif yang disebut dengan Perfectur , yang kelak pada masa pemerintahan Raffles diubah dengan nama Karesidenan yang kemudian terkenal dengan nama Gewest . Tiap Perfectur dikuasasi oleh se orang Perfect yang berada di bawah perintah langsung pemerintah pusat di Batavia.

Apabila pada masa VOC kekuasaan pemerintah daerah diserahkan kepada para Bupati maka Daendels tidak mengikuti pola semacam ini. Daendels mengurangi banyak kekuasaan para Bupati sehingga peran Bupati itu tidak lebih dari se orang leverancier hasil bumi bagi kepentingan pemerintah Kolonial. Dengan demikian posisi Bupati diturunkan menjadi pegawai pemerintah kolonial meskipun tidak memperoleh gaji. Sebagai pegawai pemerintah Bupati ditempatkan di bawah Perfect, sedangkan gaji bawahannya masih menjadi tanggungjawab para Bupati.

Meskipun demikian Bupati masih diperlukan oleh Daendels. Dengan dipertahankannya sistem leveransi dan kontingenten peran Bupati masih sangat penting yaitu sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat. Dengan dipertahankannya penguasa pribumi sebenarnya sangat penting artinya namun Daendels tidak ingin peran penting penguasa Bumi Putera itu terlihat secara nyata. Untuk itu Daendels melakukan tindakan berupa pengapusan perbedaan yang ada antara Bupati yang berkedudukan di Priangan dengan Bupati yang berkedudukan di Pantai Jawa Timur Laut seperti pada masa VOC. Stelsel Priangan yang diciptakan VOC dipertahankan oleh Daendels maupun oleh penguasa Inggris kemudian. Stelsel Priangan yang menjiwai Sistem Tanam Paksa (STP) buatan Van den Bosch itu dipertahankan sampai tahun 1871.

Pembenahan yang dilakukan Daendels dalam penyediaan mesin birokrasi adalah memperbanyak kantor pengadilan. Tiap Perfect diangkat menjadi Ketua Land Gerecht dan Bupati menjadi Ketua Vrijde Gerecht. Land Gerecht bertugas mengadili perkara yang menyangkut orang Eropa dan golongan tertentu dari orang bumi Putera sedangkan Vrijde Gerecht mengadili perkara orang pribumi. Para Bupati juga mendapat kedudukan militer di bawah kekuasaan Perfect. Hak jabatan yang secara tradisional para Bupati yaitu turun temurun tetap dipertanahkan.

Pembenahan untuk pejabat di lingkungan lebih bawah dari Bupati ada yang diantaranya berada di bawah pemerintah Pusat. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah Pusat bukan oleh Bupati. Bupati mempunyai kewajiban menggaji pegawai yaitu para kepala Wilayah yang ada di bawah kekuasaannya. Secara tradisional Bupati memperoleh sepersepuluh dari hasil panen dan memperoleh tenaga tanpa dibayar dari penduduk yang ada diwilayah kekuasaannya. Daendels mengurangi hak Bupati untuk memperoleh sepersepuluh hasil bumi atau hak pancen dan hak memperoleh tenaga tanpa upah. Bagi petani pengurangan penyerahan pancen dan kerja wajib itu boleh jadi tidak penting namun bagi Bupati hal itu sangat penting karena menyangkut status simbol sebagai seorang penguasa tradisional.

Pembenahan yang dilakukan itu menyangkut hubungan antara Bupati dengan Pemerintah Belanda. Karena pembenahan itu tidak ada sangkut pautnya dengan perikehidupan rakyat maka rakyat pada umumnya tidak mengetahui perubahan tersebut. Daendels ternyata mengikuti kebijakan yang telah dirintis oleh VOC. Hal itu tampak jelas jika dicermati perubahan yang dia lakukan setelah pemerintahan VOC serta membandingkan dengan teori politikyang dianutnya dengan praktek yang ia lakukan.

Reformasi atau pembenahan yang dilakukan Daendels yang lain adalah misalnya ia berusaha keras memberantas kecurangan di kalangan pejabat negara. Justru langkah inilah yang membuat ia mempunyai banyak musuh dari kalangan bangsa Belanda sendiri. Disamping politik keuangannya tidak menguntungkan pemerintah beberapa tindakannya dinilai sebagai menguntungkan diri sendiri. Lawan politik Daendels yang terkenal antara lain adalah M.R.G. van Polanen dan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Jawa Timur Laut yang dilepas oleh Daendels. Untuk membersihkan dirinya dari tuduhan musuh politiknya Daendels menerbitkan buku berjudul Staat der Nederlandsch Oost-Indische bezittingen onder het bestuur van den Gouverneur Generaal H.W. Daendels pada 1814. Buku tersebut dikritik dengan tajam oleh van Polanen dan Engelhard.

Di samping itu Daendels juga tidak disukai di kalangan pejabat Bumi Putera. Para bangsawan banyak yang kecewa karena kebijakannnya yang merugikan mereka. Pada 1810 Kaisar Napoleon mengeluarkan Dekrit yang menyatakan Negeri Belanda masuk ke dalam Imperium Prancis. Setahun kemudian berita itu sampai ke Indonesia dan disambut dengan senang hati olh Daendels. Karena ia yakin bahwa hal itu akan membawa perbaikan bagi Indonesia. Semua pegawai bersumpah setia kepada Kaisar Napoleon. Pada 1811 Daendels diberhentikan oleh Kaisar Napoleon. Perberhentian itu rupanya bukan karena Kaisar Napoleon yakin akan kesalahan Daendels tetapi karena desakan lawan-lawan Daendels yang sangat keras.

Pemerintahan Inggris

Pada pemerintahan Inggris seluruh bekas tanah jajahan Belanda dibagi menjadi empat daerah administratif yaitu Gubernemen Melaka, Sumatra Barat, Jawa beserta bawah-annya yaitu Palembang, Sunda kecil, Banjarmasin, dan Makasar, dan Maluku (Uraian pada bagian ini berdasarkan pada Frederick, 1988; Sutherland, 1979; dan Bastin dan Benda, 1977 kecuali apabila disebut secara khusus). Keempat wilayah itu dikendalikan oleh Gubernur Jendral Lord Minto yang berkedudukan di Calcutta. Penguasa Inggris di Jawa dipegang oleh Thomas Stamford Raffles sebagai bawahan Lord Minto dengan pangkat Letnan Gubernur Jendral. Meskipun Raffles berada di bawah kekuasaan Lord Minto namun ia melaksanakan kebijakan seakan ia tidak berada di bawah pengawasan atasannya.

Secara konseptual kebijakan yang diterapkan Raffles lebih mementingkan nasib rakyat kecil dibandingkan dengan kebijakan Daendels. Peraturan yang dikeluarkan banyak yang bertujuan untuk meringankan beban rakyat pedesaan meskipun dalam kenyataannya tidak semua kebijakan itu dapat dilaksakakan. Pembagian wilayah menjadi Perfectur tetap dipertahankan oleh Raffles, sementara pembenahan yang dilakukannya antara lain menambah jumlah Perfectur dengan cara menggabungkan beberapa daerah pemerintahan yg sifatnya masih semi feodal menjadi 16 Perfectur dan namanya diganti menjadi Karesidenan. Restrukturisasi wilayah daerah administratif Karesidenan ini meliputi seluruh Jawa dan Madura termasuk daerah Kerajaan, kecuali Batavia yang sampai 1819 menjadi enclave sendiri.

Residen yang mengepalai wilayah Karesidenan mempunyai kekuasaan yang meliputi bidang pemerintahan, peradilan, dan penerimaan penghasilan negara atau pajak. Menurut Raffles Residen harus mempunyai kekuasaan yang otokratis. Oleh karena itu Residen harus mengadakan perjalanan dinas secara teratur agar dapat menjalin hubungan dengan rakyat secara teratur. Sejak masa VOC jabatan Residen sudah ada dan jabatan baru yang dimasukkan pada masa Raffles adalah jabatan Asisten Residen. Asisten Residen belum mempunyai wilayah dan baru kemudian Asisten Residen ini diberi wilayah jabatan. Jabatan Asisten Residen berlangsung terus sampai dihapuskan oleh pemerintah Balatentara Jepang.

Tujuan Raffles memasukkan jabatan Residen dengan kekuasaan yang otokratis dan jabatan Asisten Residen yang bertugas membantu Residen adalah untuk menghapus lembaga kekuasaan tradisional yaitu Bupati yang semi feodal dan tidak liberal. Secara konseptual Raffles menghendaki bahwa seluruh pejabat pemerintah lokal merupakan susunan kepegawaian yang wajar tanpa hak-hak tradisional atau kekuasaan politik. Lebih jauh Rafles menambahkan bahwa justru desalah yang merupakan suatu kesatuan yang hidup. Bupati dan bawahannya adalah sekedar merupakan perantara, yang oleh Raffles ingin dihapuskan, dengan maksud agar semua persoalan dapat disampaikan oleh pemerintah langsung ke pemimpin rakyat yaitu Kepala Desa. Dalam melaksanakan konsep tersebut Raffles bermaksud membagi wilayah Karesidenan menjadi daerah administratif yang disebut Afdeeling. Meskipun Raffles menghendaki Bupati dihapuskan namun dalam konsep yang difikirkan Raffles justru menetapkan Bupati sebagai kepala Afdeeling.

Kebijakan Raffles yang ingin mengurangi kekuasaan Bupati tetapi maksud sebenarnya dari kebijakan tersebut tidak sampai dipahami oleh rakyat. Perubahan yang dilakukan Raffles misalnya berupa penghapusan sistem kontingenten dan leveransi kecuali di Priangan, di mana kekuasaan dan campur tangan Bupati sangat besar, yang diganti dengan sistem pajak tanah atau landrente. Dengan demikian Bupati dibebaskan dari tugas pemungut pajak, sehingga ia kehilangan fungsinya yang sangat penting yang memungkinkan ia memperoleh keuntungan yang sangat besar.

Perubahan wilayah administrasi pada tingkat yang lebih rendah berupa pembagian setiap Afdeeling menjadi daerah administrasi yang disebut Distrik atau Kawedanan, yang dikepalai oleh Kepala Distrik atau Wedana. Wilayah yang setara Distrik ini sebenarnya sudah ada pada masa VOC namun kenyataannya pembentukan wilayah tersebut sangat ditentukan oleh pertimbangan perorangan yaitu pendapat Bupati. Secara teoretis, menurut Pasal 70 RR pemerintah lokal Distrik mempunyai kekuasaan yang besar. Perubahan tentang Distrik ini terus dilakukan reorganisasi secara baik dan tingkat yang dianggap sempurna pada tahun 1874. Reorganisasi wilayah administrasi yang terjadi pada derajat yang lebih rendah terjadi berupa pembagian wilayah Distrik menjadi beberapa wilayah administrasi yang lebih kecil yang disebut Divisie, yang kelak disebut Onder-Distrik. Daerah administrasi Divisie meliputi desa-desa. Desa-desa itu yang merupakan kesatuan yang hidup yang oleh Raffles dianggap sesuai dengan adat istiadat kuno diberi hak untuk memilih kepalanya sendiri.

Dengan demikian pada pemerintahan Raffles di atas Desa terdapat daerah administrasi yang disebut Divisie, Distrik, Afdeeling, dan Karesidenan. Upaya Daendels yang dilanjutkan Raffles adalah mengurangi kekuasaan Bupati yang pada pemerintahan VOC sedemikian besar dengan cara menempatkan Bupati di bawah Residen yang kekuasaannya sedemikian otokratis, yang mencoba menjalin hubungan langsung dengan rakyat yang upaya lain yang mengakibatkan para Bupati kehilangan kekuasaannya dalam bidang yang merupakan sumber penghasilan mereka yang besar. Raffles juga berupaya keras untuk menghapus sistem feodal dan mengkuti jejak Daendels dalam menciptakan mekanisme birokrasi pemerintahan yang demokratis di Indonesia serta memilih Jawa sebagai model atau percontohan. Raffles berupaya keras agar Jawa tetap dimiliki Inggris akan tetapi Konvensi London tahun 1814 menetapkan bahwa Belanda akan mendapatkan kembali tanah jajahannya kecuali Ceylon dan kedudukan di Afrika Selatan. Indonesia diserahkan oleh Inggris kepada Belanda pada tanggal 19 Agustus 1816.

Pemerintahan Belanda II

Pada 1816 Komisaris Jendral Belanda telah datang ke Tanah Jajahan sebagai wakil Belanda untuk mengambil alih pemerintahan dari Inggris. Komisaris Jendral yang terdiri dari tiga orang itu berkuasa penuh atas daerah tersebut berdasarkan Regering Reglement 1815 (Uraian bagian ini berdasar-kan pada Coban, 1970; Harsono, 1992; Budi harsono, 1968; Arsip Nasional, 1998; Van Niel, 1992 kecuali apabila disebut secara khusus). Dalam menjalankan tugasnya Komisaris Jendral berusaha menyesuaikan organisasi pemerintahan Pusat dan daerah dengan Regering Reglement tahun 1815. Namun dalam melaksanakan maksud tersebut Komisaris Jendral mengalami kesulitan karena perubahan yang dilaksanakan selama pemerintahan Raffles tidak sesuai lagi dengan ketentuan dalam RR itu. Untuk mengatasi hal tersebut maka perubahan terhadap RR dilakukan dan ditetapkan RR baru tahun 1816. Untuk melaksanakan RR baru tersebut salah seorang Komisaris Jendral yaitu Van der Capellen diangkat menjadi Gubernur Jendral.

Dalam melaksanakan tugasnya Komisaris Jendral tampaknya masih harus berhati-hati. Lembaga kekuasaan tertinggi di Tanah Jajahan ini masih belum memandang perlu untuk melakukan perubahan dalam tata pemerintahan daerah. Pembenahan yang dilakukan oleh Raffles masih dilanjutkan. Kepala pemerintahan Bumi Putera yaitu Bupati yang dipertahankan untuk menjalankan beberapa fungsi bagi kepentingan penjajah tetap dipertahankan. Komisaris Jendral berusaha keras untuk memehami kepentingan penguasa Bumi Putera ini antara lain berusaha menjalin hubungan yang baik antara Residen dengan para Bupati karena peran Bupati masih cukup penting yaitu debagai Pimpinan Pemerin-tahan Bumi Putera dan Kepolisian Afdeeling.

Kedudukan Bupati mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Stbl. Tahun 1820 Nomor 20 yaitu Reglement op de Verplichtingen, titels, en rangen der Regenten op het Eiland Java. Reglemen ini juga mengalami perubahan dan kelak tahun 1922 timbul perubahan pemerintahan namun hal yang penting dalam peraturan tersebut tetap berlaku. Dalam pasal (1) ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Bupati adalah orang yang berkuasa atas penduduk yang ada di wilayahnya dan menjadi tangan kanan Residen. Selanjutnya telah terjadi pergeseran peran Bupati yang semula semata melaksanakan kepentingan penjajah namun sejak saat itu para Bupati diberi tugas yang menyangkut perbaikan kesejahteraan rakyat kecil seperti mengurusi pertanian, peternakan, keamanan, kesehatan rakyat, pengairan, pemeliharaan jalan, pendidikan, pembagian adil beban pajak, dan mengawasi pelaksanaan perundang-undangan.

Sedemikian banyak tugas tersebut nyatalah bahwa tugas penguasa Bumi Putera tidak ringan. Ketentuan baru yang harus dilaksanakan Bupati adalah apabila ada kejadian penting ia wajib melaporkan kepada Residen. Disamping itu Bupati juga dibebani tugas untuk mengawasi agama Islam. Semua itu atas inisiatif Daendels. Rincian tentang gelar, kedudukan, upacara bagi para Bupati dan keluarganya ditetapkan dengan undang-undang. Demikian pula tentang penghargaan terhadap Bupati pada waktu itu diatur secara lebih sistematis melebihi waktu sebelumnya. Pembentukan wilayah Kabupaten semula adalah semata-mata wewenang penguasa lokal tradisional. Pada kenyataannya terdapat Bupati yang mempunyai wilayah dan penduduk yang relatif kecil dan miskin sehingga Bupati kecil itu tidak banyak urusannya dan di mata pemerintah kolonial dianggap tidak berarti. Agara diperoleh imbangan dalam banyaknya urusan yang ditangani, pada awal abad ke-19 beberapa kabupaten kecil dihapus. Setelah diadakan penghapusan akhirnya di Jawa dan Madura terdapat 70 kabupaten saja.

Reorganisasi wilayah administratif yang dilakukan pada masa Komisaris Jendral kecuali penghapusan kabupaten kecil adalah pemecahan kabupaten yang berjumlah 70 yang ada di Jawa dan Madura. Pemecahan wilayah administratif kabupaten menjadi daerah administrasi yang lebih kecil yang disebut Distrik dengan penguasa seorang Kepala Distrik atau Wedana. Selanjutnya wilayah Distrik dibagi menjadi beberapa Onder-Distrik yang dikepalai oleh Kepala Onder-Distrik atau Asisten Wedana merupakan perkembangan pemerintahan yang sempurna.

Berdasarkan Stbl. 1819 nomor 16 wilayah Jawa dan Madura oleh Komisaris Jendral dibagi menjadi 20 Gewest dengan satuan unit birokrasinya. Residen diberi instruksi oleh Komisaris Jendral untuk bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kerja lembaga peradilan dan kepolisian dalam wilayahnya.Tugas pengawasan terhadap peradilan dan kepolisian lebih banyak dilimpahkan kepada Asisten Residen. Sementara itu, pengadilan polisi bagi Bumi Putera masih berada di bawah pengawasan Residen. Kekuasaan Residen juga masih wewenang untuk memberi perintah kepada Jaksa Kepala. Adapun para Bupati diberi kekuasaan untuk memerintah Jaksa. Dalam menjalankan tugas kepolisian Residen berada di bawah pimpinan Pokrol Jendral. Karena besar-kecilnya luas wilayah tidak sama maka ada beberapa Gewest yang dikepalai oleh Asisten Residen dan sebagian besar dikepalai oleh Residen. Baru pada 1866 semua Gewest mempunyai kedudukan sebagai Karesidenan.

Sebagaimana dikemukakan di depan bahwa jabatan Asisten Residen timbul pada masa Raffles memerintah. Saat itu Asisten Residen belum memiliki wilayah kekuasaan karena demi kebijakan pemerintahan Bupati ditetapkan sebagai kepala daerah Administratif Afdeeling. Baru pada masa kekuasaan Komisaris Jendral Asisten Residen mulai mempunyai wilayah kekuasaan, yaitu memerintah wilayah administratif Afdeeling dan di bawah perintah Residen sebagaimana ditetapkan dalam Stbl. 1818 nomor 49. Karena wilayah kekuasaan Asisten Residen atau Afdeeling sama dengan wilayah kekuasaan Bupati atau kabupaten maka nyatalah ada organisasi pemerintahan yang rangkap. Tugas Asisten Residen dalam wilayah Afdeeling adalah sama dengan tugas Residen dalam Gewestnya, terutama dalam bidang pemerintahan dan kepolisian. Sementara itu Bupati meskipun pangkatnya lebih tinggi daripada Asisten Residen namun ia harus tunduk kepada Asisten Residen sebab Asisten Residen merupakan Kepalanya yang nomor dua sebagai wakil Residen. Tumpang tindihnya wilayah kekuasaan itu menunjukkan bahwa Bupati tidak mempunyai kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan kepolisian untuk diselesaikan sendiri dan tidak mempunyai pendirian yang dapat dikembangkan dengan wajar.

Gubernur Du Bus van Gesignies yang menggantikan Gubernur Jendral Van der Capellen mengubah Regeringsreglement tahun 1816 dengan Regeringsreglement 1827. Regeringsreglement ini kemudian juga diganti dengan Reglement op beleid der Regering in Nederlandsch-Indie dengan Koloniaale Besluit tertanggal 16 Mei 1829. Reglement ini juga akhirnya diganti lagi dengan reglement yang ditetapkan dengan Koloniaale Besluit tanggal 20- Februari 1836. Menurut ketentuan RR 1836 pemerintah pusat Hindia Belanda adalah Gubernur Jendral yang merupakan wakil Raja Belanda di Hindia Belanda serta aparat Hindia Belanda, yang diangkat dan diberhentikan oleh Raja dan yang mengendalikan kekuasaan, mengatur, dan mengurus hal-hal yang bersifat internal Hindia belanda di bawah Raja. Gubernur Jendral didampingi Raad van Indie yang merupakan Dewan Penasihat bagi Gubernur Jendral. Di samping itu juga dibentuk Hoogerechthoof dan Algemeene Rekenkamer.

Dengan dikeluarkannya Undang-undang tanggal 2 September 1854 ditetapkan suatu RR baru. Apabila dicermati isinya, RR ini lebih bersifat konstitusi bagi Hindia Belanda daripada RR yang terdahulu. RR 1854 ini mengalami perubahan beberapa kali. Dari aspek ketatanegaraan perubahan yang penting adalah diundangkannya Undang-undang Desentralisasi tahun 1903 dan Undang-undang tahun 1916 yang termuat dalam Inds. Stbl. 1917 nomor 114 membuka kemungkinan untuk membentuk Volksraad; serta Undang-undang tentang pembentukan kembali pemerintahan tahun 1922 tentang Bestuurhervorming membuka kemungkinan untuk mengadakan desentralisasi dan dekonsentrasi secara besar-besaran.

Sampai dengan tahun 1854 wilayah Tanah Jajahan terdiri dari wilayah yang dikuasai langsung, yang dikuasai tidak langsung, dan wilayah yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial. Perkembangan ekonomi, sosial, politik, dan budaya di Tanah Jajahan telah mendorong timbulnya perubahan yang semula terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Madura ke wilayah di Luar Pulau Jawa. Perkembangan di Jawa dan Madura antara lain berkembangnya kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya serta perkembangan administratif di luar kerajaan Yogyakarta dan Surakarta yaitu berkembangnya pemerintahan lokal Administratif yang agak lengkap, yang menjalankan peraturan pemerintah pusat yang dilakukan oleh Pangreh Praja Belanda dan Bumi Putera. Seperti pada masa sebelumnya, pemerintah dilaksanakan oleh para Bupati tetapi tidak menyentuh lapisan rakyat bawah. Desa dibiarkan hidup terus sebagai persekutuan hukum adat dengan susunan pemerintahan yang berdasarkan hukum adat dengan otonomi yang meliputi kekuasaan mengatur, mengurus, dan mengadili persengketaan hukum adat.

Dengan semakin banyaknya jenjang atau jalur perintah maka Residen tidak lagi melaksanakan tugas peradilan dan kepolisian di daerahnya karena telah ditangani oleh Asisten Residen yang jumlah semakin banyak. Kecuali penambahan jumlah personil pembenahan dalam fungsi juga dilaksanakan. Dalam upaya meningkatkan pendapatan negara reorganisasi pejabat yang menangani pajak juga dilakukan. Pada 1827 jabatan Opziener diganti dengan Controleur. Sesuai dengan fungsinya mereka bertugas mengumpulkan pajak bumi di wilayah Karesidenan yang menjadi wilayah kerjanya. Petugas ini kemudian menjadi Directie voor de Cultures. Jenjang karier Controleur ini dibagi menjadi tiga tingkatan yang dapat naik pangkat sampai pada jabatan dalam dinas pemerintahan yaitu Asisten Residen atau Residen.

Pembenahan di lingkungan pemerintahan lokal juga dilakukan secara bertahap. Controleur yang semula bertugas sebagai pegawai pajak, sesuai dengan Stbl. 1872 nomor 225 secara definitif digabungkan dengan Dinas Pangreh Praja yang sebenarnya hal ini sudah terjadi setengah abad sebelumnya. Kepada Asisten Residen diperbantukan dua atau tiga Controleur, sebagai pembantu Asisten Residen yang tidak mempunyai kekuasaan sendiri. Mereka bertugas mengawasi apakah perintah kepalanya (Asisten Residen) dikerjakan, mengamati tentang apa saja yang berkaitan dengan kesejahteraan dan perkembangan rakyat. Sebagai pejabat di tingkat bawah, Controleur mengetahui tentang adat istiadat masyarakat, kesehatan, pertanian, peternakan, dan lain-lain dalam wilayah Afdeeling tersebut. Controleur juga diwajibkan membantu Pangreh Praja Bumi Putera dalam melaksanakan tugasnya, mengingatkan apabila ada kekurangan, dan sebagainya. Kepada Asisten Residen dan Residen Controleur memberikan segala keterangan yang penting seperti apabila ada pejabat Bumi Putera yang bersikap kritis dan reaktif terhadap penguasa Kolonial bila perlu disertai dengan usul karena ia adalah mata-telinga Asisten Residen dan Residen.

Dalam pemerintahan lokal Controleur dan Wedana merupakan poros bagi roda pemerintahan. Controleur bertugas mengawasi Pangreh Praja bumi putera tidak ada kecualinya termasuk Bupati. Dalam masa selanjutnya Controleur di Jawa dan Madura tidak mengepalai daerah administratif sendiri yaitu hanya sebagai pembantu Asisten Residen, namun di luar Jawa dan Madura daerah Administratif Onder-Afdeeling sebagian besar ada yang dikuasai oleh Controleur dan ada yang dikuasai Civiel Gezagheber. Oleh Bupati Controleur diperbantukan kepada patih yang bertugas menyampaikan perintah Bupati ke seluruh wilayah kabupaten sehingga merupakan penghubung yang penting antara Bupati dengan pegawai bawahannya. Pada tiap-tiap Gewest diadakan jabatan Sekretaris Gewest yang pada masa kemerdekaan menjadi Sekretaris Wilayah. Dengan demikian pada akhir abad ke-19 di Jawa dan Madura telah ada organisasi pemerintahan lokal yang lengkap. Formasi pangreh praja ditambah dengan dibentuknya Asisten Controleur yang diperbantukan kepada Controleur.

Dibentuknya mesin birokrasi sering diasosiasikan dengan kepentingan pemerintah kolonial. Demikian pula berkembangan peleksanaan Sistem Tanam Paksa atau STP memerlukan sejumlah besar tenaga yang direkrut dari golongan Bumi.

Sumber : http://sejarah.fib.ugm.ac.id