Bendungan-bendungan tua mengepung Jakarta

Korban jiwa terakhir akibat ambrolnya bendungan Situ Gintung di Ciputat tercatat telah melewati angka 50. Musibah yang cukup dahsyat ini bahkan kabarnya hampir-hampir seperti tsunami kecil di pinggiran kota Jakarta. Derasnya air yang juga menghanyutkan ratusan rumah dan kendaraan roda empat warga mengejutkan kebanyakan warga sekitar yang saat dini hari ketika bendungan pecah sedang lelap dalam mimpinya masing-masing. Karena kondisi kontur tanah disekitar Situ Gintung yang tidak rata maka air menenggelamkan rumah wargapun beragam dari satu hingga tiga meter.

Situ Gintung, seperti juga beberapa situ yang yang terletak disekitar Jakarta kerap kali disangka oleh warga sekitar sebagai danau alami. Namun kenyataannya setelah kejadian musibah ini diketahu bahwa Situ Gintung adalah bendungan buatan Belanda yang pengerjaannya dimulai pada 1932 dan selesai 1933, artinya sampai dengan kemarin usianya adalah sekitar 76 tahun.

Kenapa ada benduangan di sekitar Jakarta, termasuk salah satunya Situ Gintung itu, adalah karena seperti kita saat ini sejak zaman Kolonial dulu ternyata banjir menjadi masalah yang kerap kali terjadi dan mendesak untuk ditangani. Dan Belanda yang terkenal ahli menangani air, membangun kanal-kanal yang akhirnya membuat Jakarta (Batavia) lebih nyaman

Dulu Batavia dan kanalnya dipuja puji di Eropa dengan berbagai julukan: Kota Surga Abadi; Kota Paling Nikmat di Hindia; Sang Ratu Timur. Banjir besar tercatat pada tahun-tahun 1671, 1699, 1711, 1714, dan 1854. Pada 1728 – 1778 dibangun sistem drainase dengan pintu air (kini sudah hilang) dan bendungan (Katulampa dan Empang) untuk mengendalikan air ke Batavia melalui kanal Kali Baru Timur dan Barat.

Namun ketika populasi meningkat, kanal menjadi sumber polusi dan malaria, Batavia pun mulai tak nyaman, dan mendapat julukan baru: Kuburan Belanda. Hingga akhirnya setelah menyerah dengan wabah yang menyerang Daendels merintis exodus ke Weltevreden (Departemen Keuangan, Lapangan Banteng) pada 1809. Kastil Batavia dan tembok kota dihancurkan untuk bahan bangunan istana baru. Akibatnya, daerah Kota pun bebas dihuni Indo, Cina, dan Mardijkers (budak-budak merdeka).

Pada 1845 dibangun kanal di Grogol, Kali Karang, Ciliwung dan Gunung Sahari. Beberapa area persawahan diubah menjadi situ, seperti Situ Gintung di Ciputat. Untuk penggelontoran air di musim kemarau, dibangun Banjir Kanal Barat dan Pintu Air Manggarai pada 1918 – 1922. [Batavia Nouveles]

Bendungan Katulampa, juga buatan Belanda

Bendungan satu ini sering disebut-sebut apalagi saat musim penghujan tiba. Menjadi patokan utama warga Jakarta terutama yang tinggal disekitar pinggir kali Ciliwung, dan tentunya penjaga pintu air Manggarai. Bila ketinggian air di Bendungan Katulampa sudah menyentuh angka 200cm maka, Jakarta sudah ketar-ketir.

Bila Situ Gintung dibangun sekitar tahun 1930an maka Bendungan Katulampa sudah ada lebih dahulu yakni sekitar tahun 1911 atau 19 tahun lebih tua. Seperti juga Situ Gintung sebenarnya Katulampa diperuntukkan lebih sebagai sebagai fungsi irigasi daripada bendungan semata

Ada yang mengira Bendung Katulampa merupakan bendungan pengendali banjir sehingga kerap ada permintaan kepada petugas Pos Bendung Katulampa agar volume air Sungai Ciliwung yang mengalir ke Jakarta dikurangi.

Menurut Andi Sudirman, petugas yang sudah 17 tahun bertugas di Pos Bendung Katulampa, permintaan itu jelas tidak pada tempatnya. Sebab Bendung Katulampa bukan bendungan pengendali banjir. Tapi fungsi utamanya adalah untuk mengatur air irigasi. Sedangkan untuk aliran sungai Ciliwung, petugas Pos Bendung Katulampa hanya sebatas mengawasi. Jika terjadi kenaikan permukaan air sungai Ciliwung di Bendung Katulampa, petugas melaporkannya ke Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane di Jakarta dan Jawa Barat. (Sinar Harapan, Sabtu, 22 Januari 2005)

Bendungan dan masalah-masalahnya

Bendungan (atau bukan bendungan) tua seperti Situ Gintung dan Katulampa tentunya membutuhkan banyak dana untuk perawatan. Belum lagi akibat usia yang memang membuat fisik bangunan semakin lama bukannya semakin kokoh. Juga masalah dari alam itu sendiri yang tentu saja sedimentasi, atau pendangkalan, membuat kedalaman semakin berkurang dan akibatnya debit air yang dapat ditampung akan semakin sedikit.

Menurut Ir. M. Donny Azdan, MA, MS, PhD dan Candra R. Samekto, MSc dalam makalahnya "Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia" : Untuk menangani bendungan yang telah ada, pertama-tama diperlukan penanganan yang cukup mendesak untuk mengembalikan kapasitas tampungan yang pada akhirnya dapat meningkatkan fungsi bendungan itu sendiri. Pembilasan kembali waduk – waduk dengan tingkat sedimen tinggi bisa menjadi salah satu alternatif selain upaya pengerukan (dredging). Dalam hal ini perlu adanya perancangan desain terhadap low level outlet sehingga waktu pengurasan sedimen dapat dilakukan lebih cepat. Pengerukan kembali waduk – waduk yang memiliki tumpukan sedimen besar perlu disertai analisis mendalam terhadap dampak lingkungan hidup terkait dengan adanya kandungan contaminated sludge.

Selain itu, pemerintah perlu merevisi kembali manual prosedur operasi dan pemeliharaan dari bendungan yang ada di Indonesia, terutama yang memiliki tingkat resiko sedimen dan kerusakan tinggi. Dengan menerapkan sistem ini maka upaya yang dilaksanakan tidak hanya menyentuh sektor fisik semata, namun juga akan menyentuh sektor sosial yang turut menentukan dalam keberlangsungan fungsi bendungan kedepan.

Sumber : http://abhicom2001.multiply.com