Oleh : Baby Jim Aditya
SUNGGUH dahsyat gelombang epidemi acquired immune deficiency syndrome (AIDS) yang melanda Thailand. Itulah kesan yang saya tangkap secara nyata ketika mengunjungi pusat perawatan pasien AIDS di Lopburi --dua jam bermobil dari Bangkok-- beberapa waktu lalu. Saya berkunjung ke sana difasilitasi seorang rekan dari Universitas Mahidol, Bangkok, bernama Dah, asli Thailand. Selama kunjungan itu, berkali-kali air mata saya meleleh menyaksikan pemandangan amat menyentuh hati.
Tempat penampungan (hospice) itu bernama Wat Phra Baht Nam Phu, merupakan kuil yang dikelola seorang biksu, Dr. Alongkot Dikkapanyo. Kuil itu mempunyai gedung rumah sakit berlantai tiga dengan kapasitas 200 tempat tidur. Mereka juga menyediakan rumah-rumah kecil dengan kapasitas 200 tempat tidur untuk para keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak mereka yang terinfeksi HIV. Dr. Alongkot memang membangun tempat itu agar orang-orang dengan human immunodeficiency virus (HIV)/AIDS mendapat perawatan dan cinta kasih, sekaligus sebagai tempat bagi masyarakat untuk belajar dan melihat dampak AIDS bagi kehidupan.
Saya tercekat menyaksikan pemandangan di depan mata: di suatu ruangan besar, terbaring sekitar 50 orang dengan HIV/AIDS yang sudah dalam kondisi mengenaskan dengan infeksi di kulit, sariawan, demam tinggi, dan mencret yang sudah lama. Hampir semuanya sudah tidak bisa lagi merawat dirinya sendiri. Seorang pasien yang saya salami pertama kali adalah laki-laki mantan pecandu narkoba berumur 38 tahun, dengan kaki kanan diamputasi akibat diabetes. Ia terbaring menghadap ke dinding sehingga punggungnya yang penuh tato terlihat jelas. Di sebelahnya, anak laki-laki berumur 11 tahun tidur bergelung di dalam kain sarung sambil menggigil menahan demam.
Seorang laki-laki lain yang lumpuh kedua kakinya melambaikan tangan minta disalami. Di sudut ruangan, seorang perempuan muda berumur 26 tahun menatap saya sambil tersenyum lemah. Dari kejauhan, saya mendengar tawa riang anak kecil yang sedang berlari-lari. Dia adalah gadis cilik bernama Sai, 2 � tahun. Ia terinfeksi HIV dari ibunya yang telah meninggal. Ia dirawat di situ karena ayahnya yang HIV positif bekerja sebagai pembuat kapal di Bangkok. Pertama kali datang ke situ waktu berusia delapan bulan, kondisi tubuh Sai sangat mengenaskan dengan infeksi kulit yang parah. Dengan pengobatan dan perawatan di situ, keadaannya berangsur membaik. Ketika saya menyuapkan permen ke mulutnya, ia tertawa gembira. Saya tak kuasa menahan haru menatap mata kanak-kanaknya yang lebar dan jernih berseri-seri.
Dari ruang pertama, kami diantar ke gedung berlantai tiga --melewati tumpukan coffin-- peti mati yang disusun bertingkat-tingkat. Ah, kematian itu alangkah dekatnya! Di gedung itu, kami menemui sekitar 50 pasien laki-laki dan perempuan yang masih sehat, dan di ruang lain kembali menemui pemandangan seperti tadi. Puluhan orang, laki-laki dan perempuan, terbaring di bangsal besar. Sebagian besar adalah pecandu narkotika yang tertular lewat jarum suntik. Beberapa di antaranya, selain terinfeksi HIV, juga terinfeksi hepatitis C.
Pekerjaan mereka sebelumnya sangat beragam: buruh pabrik, pekerja kantor, ibu rumah tangga, guru, nelayan, buruh bangunan, mahasiswa, pekerja seks, dan biksu. Seorang biksu yang kami temui mengaku terinfeksi HIV karena melakukan hal berisiko tinggi sebelum memutuskan menjadi biksu. Kondisi mereka pun beragam, ada yang sudah tidak sadarkan diri atau tidak bisa lagi berjalan. Seorang pasien yang matanya selalu terpejam menunjuk-nunjuk popoknya yang basah oleh kotoran --ia ternyata buta. Pasien itu tadinya pengemis di jalanan --sekaligus pecandu narkotika suntik. Seorang perempuan muda, 22 tahun, dengan infeksi di kulit, menceritakan bahwa ia tertular HIV dari suaminya.
Di kompleks vihara itu juga terdapat krematorium besar yang kini mulai rusak, karena jumlah pasien yang meninggal setiap harinya mencapai tiga hingga empat orang. Dalam paruh pertama tahun ini saja, terdapat 172 pasien yang meninggal, 1.399 lainnya menjalani perawatan. Kebanyakan mereka yang meninggal dikremasi, dan abunya dikirim kepada keluarga. Namun, sebagian besar keluarga menolak kiriman abu jenazah tersebut dengan berbagai alasan, terutama karena tidak mau menerima anggota keluarganya yang teinfeksi HIV karena dianggap aib.
Saya tidak sanggup membayangkan penderitaan yang mereka rasakan selama hidup: melawan rasa sakit, menghadapi stigma dan diskriminasi, bahkan ketika sudah meninggal pun, sekadar abu jenazah mereka tetap ditolak keluarga. Begitukah cara kita menyayangi anggota keluarga sendiri? Apakah kita akan mencintai anggota keluarga hanya ketika mereka sehat, dan bertindak seperti yang kita idealkan belaka?
Sejak 1992 hingga sekarang, jumlah kantong abu jenazah yang ditolak keluarganya itu mencapai sekitar 10.000 kantong dan diletakkan di aula besar, dipangku oleh patung raksasa Sang Buddha. Tumpukannya mencapai setinggi dada patung itu, mendatangkan rasa damai dan sejuk di antara begitu banyak kenyataan pahit ini. Ketika memotret tumpukan abu jenazah yang dipangku Sang Buddha, tidak terasa lensa kamera saya basah oleh tetesan air mata.
Terbayang teman-teman saya di Indonesia yang sedang berjuang melawan berbagai penyakit karena virus HIV, menghadapi cap buruk dan perlakuan diskriminasi dari keluarga dan masyarakat. Belum lagi perjuangan untuk memperoleh akses terhadap pengobatan. Tidak semua orang dengan HIV mempunyai akses untuk mendapat obat guna melawan virus ini. Keadaan ekonomi membuat orang harus berdamai dengan kenyataan bahwa ia tidak bisa membeli obat untuk jangka panjang. Sikap masyarakat atau keluarga yang masih menganggap orang dengan HIV/AIDS sebagai orang bermoral buruk, berdosa, dan pantas mendapat penyakit ini membuat mereka lebih terhukum.
Tempat berikutnya yang sangat mengguncang perasaan adalah Ruang Pasca-Kematian (After Death Room) yang dibangun pada 1999. Di situ terdapat 12 jenazah pengidap AIDS yang telah diawetkan dan dipamerkan demi kepentingan penyuluhan dan memberi pengertian pada masyarakat tentang bahaya AIDS. Tubuh mereka dipamerkan setelah mendapat izin dari mereka sebelum meninggal, atau dari keluarga mereka. Mereka terdiri dari laki-laki, perempuan, waria, anak kecil, dan bayi berumur satu tahun empat bulan. Profesi mereka sebelumnya bermacam-macam, ada pecandu narkotika, ibu rumah tangga, biksu, suami, pekerja seks. Salah satu mumi laki-laki di museum itu ternyata suami pasien perempuan yang terbaring sakit di bangsal pertama tadi. Semasa hidup, suaminya sering "jajan" dan kemudian menularkan penyakit itu pada sang istri.
Selain kompleks vihara di Lopburi itu, Dr. Alongkot juga membangun proyek penampungan lain, yaitu Thammarak Niwet yang berjarak 70 kilometer dari Lopburi. Di lokasi seluas 3,2 kilometer persegi itu, dibangun 2.542 rumah yang dapat menampung 10.000 pasien AIDS, dilengkapi sekolah untuk 700 anak yatim piatu dan rumah sakit untuk anak-anak dengan AIDS.
Epidemi AIDS di Thailand memang dimulai dengan banyaknya perempuan pekerja seks yang terinfeksi HIV dari langganannya, kemudian disusul laki-laki pelanggan pekerja seks. Gelombang berikutnya adalah para istri, ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV dari suaminya, dan kini epidemi AIDS melanda bayi-bayi dan anak-anak yang tertular dari ibu mereka. Hal ini ditandai dengan beragamnya kalangan yang datang ke hospice itu sejak 1992 --mereka kebanyakan ditelantarkan begitu saja oleh keluarga. Sedikit sekali yang dijenguk keluarganya, sehingga akhirnya dibiarkan meninggal tanpa didampingi keluarga.
Dengan penduduk 62 juta orang, Thailand kini memiliki 1-1,3 juta kasus HIV/AIDS. Mereka mencanangkan rencana untuk memberikan obat anti-retroviral bagi 50.000 pasien AIDS mulai tahun depan. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 210 juta orang dengan prediksi 90.000-120.000 kasus HIV/AIDS, dan kita baru bisa membantu 1.000 pasien AIDS hingga September 2003 ini.
Epidemi AIDS di negara kita memang menunjukkan kecepatan pertambahan mencengangkan, terutama karena dipicu oleh meluasnya perdagangan dan penyalahgunaan narkoba. Kecepatan pertumbuhan kasus HIV/AIDS tidak sebanding dengan kecepatan penyebarluasan informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat, serta kemampuan masyarakat untuk menerima AIDS sebagai kenyataan di depan mata.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Masalah AIDS (UNAIDS) memperkirakan, tahun ini ada 80.000 kasus baru HIV/AIDS --80%-nya berasal dari pemakai narkoba suntik. Sampai akhir 2002 saja, diperkirakan 43.000 pecandu narkoba suntik terinfeksi HIV.
Thailand sebagai negara paling awal terkena epidemi ini di Asia Tenggara, tampak relatif lebih siap menanggulanginya, setidaknya menurut mantan Perdana Menteri Thailand Anand Panyarachun, "... karena kami tidak menyangkal bahwa epidemi ini memang terjadi di negara kami." Itu terlihat dari luasnya pelayanan yang diberikan dan banyaknya tempat penampungan yang dibangun masyarakat bersama kalangan swasta.
Mungkin tepat sekali kalau kita renungkan ucapan Dr. Alongkot Dikkapanyo, sang penolong yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk para pasien AIDS, "Tugas saya adalah membantu pasien AIDS yang ditelantarkan keluarganya agar dapat meninggal dengan tenang, dengan sesedikit mungkin menderita sakit. Banyak orang menganggap pekerjaan ini sia-sia, karena pasien itu akan mati juga. Saya katakan, toh kita semua juga akan mati?! Kita wajib memberikan kasih sayang dan kehangatan bagi mereka. Kalau kita memalingkan punggung kita dari mereka, apakah kita masih pantas menyebut diri kita sebagai manusia?"
*Aktivis masalah-masalah terkait HIV/AIDS, Ketua Klub Partisipasi Kemanusiaan (Partisan Club)
Sumber : http://www.gatra.com
SUNGGUH dahsyat gelombang epidemi acquired immune deficiency syndrome (AIDS) yang melanda Thailand. Itulah kesan yang saya tangkap secara nyata ketika mengunjungi pusat perawatan pasien AIDS di Lopburi --dua jam bermobil dari Bangkok-- beberapa waktu lalu. Saya berkunjung ke sana difasilitasi seorang rekan dari Universitas Mahidol, Bangkok, bernama Dah, asli Thailand. Selama kunjungan itu, berkali-kali air mata saya meleleh menyaksikan pemandangan amat menyentuh hati.
Tempat penampungan (hospice) itu bernama Wat Phra Baht Nam Phu, merupakan kuil yang dikelola seorang biksu, Dr. Alongkot Dikkapanyo. Kuil itu mempunyai gedung rumah sakit berlantai tiga dengan kapasitas 200 tempat tidur. Mereka juga menyediakan rumah-rumah kecil dengan kapasitas 200 tempat tidur untuk para keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak mereka yang terinfeksi HIV. Dr. Alongkot memang membangun tempat itu agar orang-orang dengan human immunodeficiency virus (HIV)/AIDS mendapat perawatan dan cinta kasih, sekaligus sebagai tempat bagi masyarakat untuk belajar dan melihat dampak AIDS bagi kehidupan.
Saya tercekat menyaksikan pemandangan di depan mata: di suatu ruangan besar, terbaring sekitar 50 orang dengan HIV/AIDS yang sudah dalam kondisi mengenaskan dengan infeksi di kulit, sariawan, demam tinggi, dan mencret yang sudah lama. Hampir semuanya sudah tidak bisa lagi merawat dirinya sendiri. Seorang pasien yang saya salami pertama kali adalah laki-laki mantan pecandu narkoba berumur 38 tahun, dengan kaki kanan diamputasi akibat diabetes. Ia terbaring menghadap ke dinding sehingga punggungnya yang penuh tato terlihat jelas. Di sebelahnya, anak laki-laki berumur 11 tahun tidur bergelung di dalam kain sarung sambil menggigil menahan demam.
Seorang laki-laki lain yang lumpuh kedua kakinya melambaikan tangan minta disalami. Di sudut ruangan, seorang perempuan muda berumur 26 tahun menatap saya sambil tersenyum lemah. Dari kejauhan, saya mendengar tawa riang anak kecil yang sedang berlari-lari. Dia adalah gadis cilik bernama Sai, 2 � tahun. Ia terinfeksi HIV dari ibunya yang telah meninggal. Ia dirawat di situ karena ayahnya yang HIV positif bekerja sebagai pembuat kapal di Bangkok. Pertama kali datang ke situ waktu berusia delapan bulan, kondisi tubuh Sai sangat mengenaskan dengan infeksi kulit yang parah. Dengan pengobatan dan perawatan di situ, keadaannya berangsur membaik. Ketika saya menyuapkan permen ke mulutnya, ia tertawa gembira. Saya tak kuasa menahan haru menatap mata kanak-kanaknya yang lebar dan jernih berseri-seri.
Dari ruang pertama, kami diantar ke gedung berlantai tiga --melewati tumpukan coffin-- peti mati yang disusun bertingkat-tingkat. Ah, kematian itu alangkah dekatnya! Di gedung itu, kami menemui sekitar 50 pasien laki-laki dan perempuan yang masih sehat, dan di ruang lain kembali menemui pemandangan seperti tadi. Puluhan orang, laki-laki dan perempuan, terbaring di bangsal besar. Sebagian besar adalah pecandu narkotika yang tertular lewat jarum suntik. Beberapa di antaranya, selain terinfeksi HIV, juga terinfeksi hepatitis C.
Pekerjaan mereka sebelumnya sangat beragam: buruh pabrik, pekerja kantor, ibu rumah tangga, guru, nelayan, buruh bangunan, mahasiswa, pekerja seks, dan biksu. Seorang biksu yang kami temui mengaku terinfeksi HIV karena melakukan hal berisiko tinggi sebelum memutuskan menjadi biksu. Kondisi mereka pun beragam, ada yang sudah tidak sadarkan diri atau tidak bisa lagi berjalan. Seorang pasien yang matanya selalu terpejam menunjuk-nunjuk popoknya yang basah oleh kotoran --ia ternyata buta. Pasien itu tadinya pengemis di jalanan --sekaligus pecandu narkotika suntik. Seorang perempuan muda, 22 tahun, dengan infeksi di kulit, menceritakan bahwa ia tertular HIV dari suaminya.
Di kompleks vihara itu juga terdapat krematorium besar yang kini mulai rusak, karena jumlah pasien yang meninggal setiap harinya mencapai tiga hingga empat orang. Dalam paruh pertama tahun ini saja, terdapat 172 pasien yang meninggal, 1.399 lainnya menjalani perawatan. Kebanyakan mereka yang meninggal dikremasi, dan abunya dikirim kepada keluarga. Namun, sebagian besar keluarga menolak kiriman abu jenazah tersebut dengan berbagai alasan, terutama karena tidak mau menerima anggota keluarganya yang teinfeksi HIV karena dianggap aib.
Saya tidak sanggup membayangkan penderitaan yang mereka rasakan selama hidup: melawan rasa sakit, menghadapi stigma dan diskriminasi, bahkan ketika sudah meninggal pun, sekadar abu jenazah mereka tetap ditolak keluarga. Begitukah cara kita menyayangi anggota keluarga sendiri? Apakah kita akan mencintai anggota keluarga hanya ketika mereka sehat, dan bertindak seperti yang kita idealkan belaka?
Sejak 1992 hingga sekarang, jumlah kantong abu jenazah yang ditolak keluarganya itu mencapai sekitar 10.000 kantong dan diletakkan di aula besar, dipangku oleh patung raksasa Sang Buddha. Tumpukannya mencapai setinggi dada patung itu, mendatangkan rasa damai dan sejuk di antara begitu banyak kenyataan pahit ini. Ketika memotret tumpukan abu jenazah yang dipangku Sang Buddha, tidak terasa lensa kamera saya basah oleh tetesan air mata.
Terbayang teman-teman saya di Indonesia yang sedang berjuang melawan berbagai penyakit karena virus HIV, menghadapi cap buruk dan perlakuan diskriminasi dari keluarga dan masyarakat. Belum lagi perjuangan untuk memperoleh akses terhadap pengobatan. Tidak semua orang dengan HIV mempunyai akses untuk mendapat obat guna melawan virus ini. Keadaan ekonomi membuat orang harus berdamai dengan kenyataan bahwa ia tidak bisa membeli obat untuk jangka panjang. Sikap masyarakat atau keluarga yang masih menganggap orang dengan HIV/AIDS sebagai orang bermoral buruk, berdosa, dan pantas mendapat penyakit ini membuat mereka lebih terhukum.
Tempat berikutnya yang sangat mengguncang perasaan adalah Ruang Pasca-Kematian (After Death Room) yang dibangun pada 1999. Di situ terdapat 12 jenazah pengidap AIDS yang telah diawetkan dan dipamerkan demi kepentingan penyuluhan dan memberi pengertian pada masyarakat tentang bahaya AIDS. Tubuh mereka dipamerkan setelah mendapat izin dari mereka sebelum meninggal, atau dari keluarga mereka. Mereka terdiri dari laki-laki, perempuan, waria, anak kecil, dan bayi berumur satu tahun empat bulan. Profesi mereka sebelumnya bermacam-macam, ada pecandu narkotika, ibu rumah tangga, biksu, suami, pekerja seks. Salah satu mumi laki-laki di museum itu ternyata suami pasien perempuan yang terbaring sakit di bangsal pertama tadi. Semasa hidup, suaminya sering "jajan" dan kemudian menularkan penyakit itu pada sang istri.
Selain kompleks vihara di Lopburi itu, Dr. Alongkot juga membangun proyek penampungan lain, yaitu Thammarak Niwet yang berjarak 70 kilometer dari Lopburi. Di lokasi seluas 3,2 kilometer persegi itu, dibangun 2.542 rumah yang dapat menampung 10.000 pasien AIDS, dilengkapi sekolah untuk 700 anak yatim piatu dan rumah sakit untuk anak-anak dengan AIDS.
Epidemi AIDS di Thailand memang dimulai dengan banyaknya perempuan pekerja seks yang terinfeksi HIV dari langganannya, kemudian disusul laki-laki pelanggan pekerja seks. Gelombang berikutnya adalah para istri, ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV dari suaminya, dan kini epidemi AIDS melanda bayi-bayi dan anak-anak yang tertular dari ibu mereka. Hal ini ditandai dengan beragamnya kalangan yang datang ke hospice itu sejak 1992 --mereka kebanyakan ditelantarkan begitu saja oleh keluarga. Sedikit sekali yang dijenguk keluarganya, sehingga akhirnya dibiarkan meninggal tanpa didampingi keluarga.
Dengan penduduk 62 juta orang, Thailand kini memiliki 1-1,3 juta kasus HIV/AIDS. Mereka mencanangkan rencana untuk memberikan obat anti-retroviral bagi 50.000 pasien AIDS mulai tahun depan. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 210 juta orang dengan prediksi 90.000-120.000 kasus HIV/AIDS, dan kita baru bisa membantu 1.000 pasien AIDS hingga September 2003 ini.
Epidemi AIDS di negara kita memang menunjukkan kecepatan pertambahan mencengangkan, terutama karena dipicu oleh meluasnya perdagangan dan penyalahgunaan narkoba. Kecepatan pertumbuhan kasus HIV/AIDS tidak sebanding dengan kecepatan penyebarluasan informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat, serta kemampuan masyarakat untuk menerima AIDS sebagai kenyataan di depan mata.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Masalah AIDS (UNAIDS) memperkirakan, tahun ini ada 80.000 kasus baru HIV/AIDS --80%-nya berasal dari pemakai narkoba suntik. Sampai akhir 2002 saja, diperkirakan 43.000 pecandu narkoba suntik terinfeksi HIV.
Thailand sebagai negara paling awal terkena epidemi ini di Asia Tenggara, tampak relatif lebih siap menanggulanginya, setidaknya menurut mantan Perdana Menteri Thailand Anand Panyarachun, "... karena kami tidak menyangkal bahwa epidemi ini memang terjadi di negara kami." Itu terlihat dari luasnya pelayanan yang diberikan dan banyaknya tempat penampungan yang dibangun masyarakat bersama kalangan swasta.
Mungkin tepat sekali kalau kita renungkan ucapan Dr. Alongkot Dikkapanyo, sang penolong yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk para pasien AIDS, "Tugas saya adalah membantu pasien AIDS yang ditelantarkan keluarganya agar dapat meninggal dengan tenang, dengan sesedikit mungkin menderita sakit. Banyak orang menganggap pekerjaan ini sia-sia, karena pasien itu akan mati juga. Saya katakan, toh kita semua juga akan mati?! Kita wajib memberikan kasih sayang dan kehangatan bagi mereka. Kalau kita memalingkan punggung kita dari mereka, apakah kita masih pantas menyebut diri kita sebagai manusia?"
*Aktivis masalah-masalah terkait HIV/AIDS, Ketua Klub Partisipasi Kemanusiaan (Partisan Club)
Sumber : http://www.gatra.com