Menapaki Warisan Dinasti Joseon

Udara pagi awal Mei sejuk menyapa kulit. Riuhnya lalu lintas kota Seoul seolah lenyap saat melangkah masuk ke halaman Istana Gyeongbokgung di jantung ibu kota Korea Selatan itu. Kicau burung, rindang pepohonan, dan keindahan taman membuat orang serasa tidak sedang berada di kota besar yang sibuk.

Istana Gyeongbokgung merupakan salah satu dari Lima Istana Agung yang dibangun Dinasti Joseon (1392-1910). Empat istana lain adalah Changdeokgung, Deoksugung, Changgyeonggung, dan Gyeonghuigung. Kelimanya berada dalam jarak tak terlalu jauh meskipun untuk mendatangi kelima istana itu tetap diperlukan kendaraan.

Di antara monumen budaya yang bertebaran di seantero Seoul, tidak ada tempat yang lebih dikagumi dan sering dikunjungi selain Lima Istana Agung. Kelompok tur lokal dan asing terlihat mengalir masuk dan keluar kompleks istana-istana itu.

Gyeongbokgung, berarti Istana yang Diberkati oleh Surga, dibangun tahun 1395 sebagai istana utama Dinasti Joseon. Begitu masuk dari gerbang utama Gwanghamun, pengunjung bisa melihat hamparan halaman batu yang luas. Di tengah halaman berdiri bangunan utama, Geunjeongjeon, tempat kaisar menyelenggarakan pemerintahan, pertemuan, menerima tamu luar negeri, dan upacara penobatan.

Di halaman samping Gyeongbokgung terdapat kolam buatan dengan paviliun megah seluas 931 meter persegi di tengahnya. Paviliun Gyeonghoeru adalah tempat kaisar mengadakan jamuan. Lantai pertama bangunan tidak memiliki dinding, hanya tiang batu berjumlah 48 buah.

Keindahan lain bisa ditemui di halaman belakang, di bagian tempat tinggal para selir. Sebuah kolam dengan pulau kecil di tengah, di atasnya berdiri bangunan cantik Hyangwonjeong. Sebuah jembatan menghubungkan pelataran istana dengan bangunan itu. Teratai bertebaran di permukaan kolam. Pepohonan dan tanaman bunga menghiasi Hyangwonjeong. Jauh di latar belakang berdiri megah Gunung Bugaksan.

Selaras alam
Sue Youn Jung, pemandu wisata kami, menuturkan, bangsa Korea selalu membangun selaras dengan alam. ”Jika diperhatikan, Gunung Bugaksan itu seolah dekat dan menyatu dengan Hyangwonjeong. Padahal, gunung itu masih 40 menit berkendara dari sini,” jelas dia.

Meninggalkan kemegahan Gyeongbokgung, keindahan Istana Changdeokgung telah menanti. Changdeokgung dibangun sebagai istana kedua Dinasti Joseon tahun 1405 yang merupakan tempat kediaman keluarga kerajaan.

Tidak seperti Gyeongbokgung yang disusun mengikuti sebuah sumbu utama, Changdeokgung dibangun seturut dengan harmoni topografi tanah yang berbukit-bukit. Bagian istana yang paling terkenal adalah Taman Rahasia yang terdapat di bagian belakang istana.

Tur di Changdeokgung harus dipandu pemandu wisata, kecuali pada hari Kamis dari April hingga November. Setiap tur bersama pemandu berlangsung 1 jam 20 menit dengan biaya 3.000 won (Rp 30.000). Selama waktu itu, pengunjung diajak berjalan kaki menikmati berbagai bangunan istana yang menawan dan kisah tentang keluarga kerajaan yang mendiaminya dulu. Jangan takut, rindangnya pepohonan membuat tur selama itu akan berlalu dengan cepat tanpa berkeringat atau kelelahan.

”Taman Rahasia sebenarnya tidak tersembunyi lokasinya. Itu hanya untuk menyebut sebuah taman belakang yang hanya boleh dimasuki kaisar dan istrinya atau keluarga kerajaan yang diizinkan,” kata pemandu wisata menjelaskan.

Meskipun banyak pengunjung—pemandu wisata akan memberi waktu 10-15 menit untuk istirahat dan menikmati suasana di Taman Rahasia—tempat itu terasa begitu tenang. Ada sebuah paviliun di sisi atas kolam untuk bersantai bagi kaisar.

Berdekatan dengan Changdeokgung adalah Istana Changgyeonggung. Dibangun oleh raja keempat Dinasti Joseon, Kaisar Sejong (1418-1450), untuk ayahnya, Kaisar Taejong, istana ini sering digunakan sebagai tempat kediaman permaisuri dan para selir.

Semasa kolonialisme Jepang (1905-1945), Changgyeonggung dijadikan kebun binatang dan taman botani. ”Saya masih ingat semasa kecil pergi ke tempat ini untuk melihat berbagai macam binatang,” ujar Sue. Kebun binatang dan taman botani dipindahkan tahun 1983. Setelah renovasi selama bertahun-tahun, Changgyeonggung mendapatkan kembali kemegahannya.

Perjalanan berlanjut ke istana berikutnya, Istana Deoksugung. Istana ini pernah menjadi istana utama bagi Dinasti Han yang Besar (1897-1910). Pada masa kejayaannya, Deoksugung berukuran tiga kali lipat dari luasnya saat ini dan terdiri atas banyak bangunan.

Deoksugung muncul sebagai pusat sejarah modern Korea tahun 1897. Itulah sebabnya, lokasinya kini dikelilingi gedung-gedung pencakar langit. Setelah Kaisar Gojong meninggal tahun 1919, Jepang menjual sebagian wilayah istana lalu mengembangkan tanahnya sebagai taman publik.

Modernisme
Ada dua bangunan bergaya Barat di dalam kompleks Deoksugung. Seokjojeon, gedung dari batu—bukan kayu seperti bangunan istana—bergaya neoklasik digunakan sebagai kediaman Kaisar Gojong. Bangunan lain adalah Museum Seni Nasional Deoksugung. Kedua bangunan itu dibangun sebagai bagian dari upaya Dinasti Han yang Besar menuju modernisme.

Istana terakhir yang kami kunjungi adalah Istana Gyeonghuigung. Dulu, istana ini merupakan istana kedua tempat para kaisar tinggal dalam keadaan darurat. Semasa invasi Jepang ke Korea, sekolah Jepang dipindahkan ke dalam istana.

Salah satu daya tarik bagi pengunjung Gyeonghuigung adalah penampilan para pelajar taekwondo, ilmu bela diri asal Korea, dari Kukkiwon, markas besar taekwondo. Ada program pertunjukan taekwondo dan latihan taekwondo bagi orang asing setiap hari, kecuali Senin.

Sue menuturkan, musuh utama istana-istana megah itu adalah api karena bahan utama istana adalah kayu. Kebakaran besar pernah menghancurkan hampir seluruh bagian Lima Istana Agung. Pada tahun 1592 itu kerusakan parah terjadi saat Jepang menginvasi Korea. ”Hampir seluruh istana rata dengan tanah,” tutur dia.

Sepenting apa institusi istana itu bagi warga Korea? ”Bangunan-bangunan itu adalah penghubung kami dengan leluhur pendiri bangsa ini, yang bisa membawa kami seperti sekarang ini. Itu sebabnya, pemerintah bersedia mengeluarkan dana sangat besar untuk renovasi dan konservasinya,” ujar Sue.

Manajer Umum Organisasi Pariwisata Korea Harry Oh mengatakan, bagi mereka yang tidak ingin dipusingkan dengan sejarah, kompleks istana-istana itu bisa menjadi tempat rekreasi dan mencari kesejukan di tengah hiruk-pikuk kota besar. ”Kalau Anda bisa rasakan, sekarang Anda tidak seperti sedang berada di Seoul,” ujar dia.

Sumber: http://travel.kompas.com