Kelenteng Cin Buk Kiong, Pulau Rupat

Oleh Repelita Wahyu Oetomo

Balai Arkeologi Medan

Abstract

Generaly, the Chinese Temple is a place for Chinese people doing their religious activities, e.g. pray God, anchestor, prophet and the soul related with Konfusianism, Taoism and Buddhism. The name of some Chinese Temples use their main god or god’s superiority. It’s interested in analyzing the architecture of the building of Chinese Temple because of its uniqueness.

I. Pendahuluan
Kelenteng merupakan bangunan suci bagi masyarakat Cina untuk melaksanakan ibadah kepada Tuhan, Nabi-nabi, serta arwah para leluhur yang berkaitan dengan ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Kata kelenteng sendiri kerap dihubungkan dengan bunyi lonceng/genta yang dibunyikan pada penyelenggaraan upacara di bangunan suci itu, sehingga lama-kelamaan – untuk memudahkan penyebutan bangunan suci itu – orang menamakannya dengan kelenteng. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa kelenteng berasal dari bahasa Cina Kwan Im Ting, yakni bangunan kecil tempat orang memuja Dewi Kwan Im. Istilah lain penyebutan kelenteng dalam bahasa Cina adalah Kiong yang artinya adalah Istana. Ada juga yang menyebutkan Tong atau Ting yang artinya bangunan suci dalam bentuk kecil. Namun sebetulnya istilah asli untuk menyebut tempat ibadah ini adalah Bio atau Miao, yaitu bangunan yang digunakan untuk tempat penghormatan dan kebaktian bagi Khong Cu, yang disebut Khong Cu Bio (Moerthiko.1980:97-99).

Penamaan Kelenteng adakalanya memakai nama atau gelar yang dipakai oleh dewa-dewa utama yang dipuja di dalamnya, misalnya adalah Kelenteng Dewi Samudera (Tjan Hou Gong), Kelenteng Dewi Welas Asih atau Da Bo Gong Miao (Toa Pe Kong), Luban Gong atau Lu Ban (pelindung tukang Kayu). Selain itu tidak jarang penamaan kelenteng disesuaikan dengan nama/sebutan lokasi keletakan bangunannya, atau berdasarkan komunitas persekutuannya (Dewi.2000:22). Bangunan kelenteng menarik dikaji antara lain dari segi arsitekturnya karena memiliki pola penataan ruang, struktur konstruksi dan ornamentasinya yang khas.

II. Sejarah Kelenteng di Nusantara
Menurut Lombard, pada abad ke- 17 sudah ada kelenteng yang dibangun masyarakat Cina. Umumnya jenis kelenteng yang dibangun adalah kelenteng yang khusus diperuntukkan bagi kalangan maupun tujuan tertentu. Adapun kelenteng yang dibangun pada abad ke-18 mencerminkan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Cina pada masa itu menurut bidang kerja masing-masing pendukungnya, seperti kelenteng kongsi pedagang, pelaut dan pengrajin ( Dewi.2000:11).

Pada abad 19, Cina banyak dilanda kerusuhan akibat revolusi Taiping sehingga mengalami kemerosotan sosial dan ekonomi, hal ini yang mempercepat kedatangan orang Cina ke kepulauan nusantara. Kelenteng yang dibangun pada masa ini umumnya sederhana tanpa dilengkapi prasasti peringatan. Kebanyakan kelenteng-kelenteng ini dibangun oleh suku Hakka dan Hokkian (Dewi.2000:12). Kemudian pada abad ke 20, seiring dengan perkembangan yang terjadi di Cina, jatuhnya dinasti Machu dan terbentuknya republik, mendorong orang-orang Cina lebih bersifat rasional. Kelenteng-kelenteng yang dibangun pada awal abad 20 sebagian besar adalah jenis baru dan banyak dibangun oleh para Rubiah (pendeta perempuan dalam agama Budha). Kebanyakan mereka adalah suku Hakka atau Kanton dari daratan Tiongkok.

Dalam perencanaan bangunan berarsitektur Cina, bangunan paling penting seperti kelenteng selalu di tempatkan pada daerah yang paling utama. Pendirian kelenteng biasanya juga berdasarkan fengsui. Menurut fengsui letak yang baik adalah tempat yang dekat dengan sumber air, bukit, gunung, dan lembah di sekeliling bangunan itu. Bangunan kelenteng umumnya dibangun di atas podium atau lantai yang ditinggikan. Selain dimaksudkan agar terbebas dari kelembaban, ruangan yang lebih tinggi menunjukkan bahwa bangunan tersebut lebih penting/sakral.

III. Kelenteng Cin Buk Kiong
Kelenteng Cin Buk Kiong berarti “semangat giat bekerja”. Lokasinya sekitar 200 m sebelah selatan Kantor Kepala Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Keletakan kelenteng ini berada di tepi Selat Morong dan disekitarnya merupakan permukiman penduduk. Kelenteng ini diperuntukkan bagi aliran Kong Hu Cu. Bangunan kelenteng merupakan bangunan lama yang sebagian sudah mengalami renovasi. Melalui perayaannya diketahui sudah berdiri 123 tahun yang lalu.

Kelenteng menempati areal berukuran 19 m x 15,6 m, bangunannya bercat merah menghadap ke arah barat. Di bagian depan terdapat tempat pembakaran kertas berbentuk segi enam. Berhadapan dengan pintu masuk terdapat tembok yang dihiasi dengan relief qilin (hewan berbadan rusa, berekor sapi dan bersisik). Hewan lain yang dijadikan sebagai hiasan adalah Siam Si (hewan api bentuknya seperti kodok berkaki tiga). Kemudian juga terdapat gambar naga yang melambangkan langit (yang) dan cendrawasih sebagai lambang bumi (yin).

Bangunan utama dilihat dari luar, bagian puncak atapnya terdapat hiasan naga hijau mengapit mutiara dan sulur-suluran (Siang Leng Chio Cu = dua naga berebut mutiara). Di atas pintu masuk terdapat tulisan Cin Buk Kiong menggunakan aksara Cina, di bawahnya terdapat lambang dewa. Di samping kiri dan kanannya terdapat tulisan Lok yang artinya sandang dan Hok yang artinya pangan. Tulisan lainnya di bagian samping kiri dan kanannya adalah tulisan aksara Cina Bu Kiong Hou Lu Tek Moi Si Hong yang disusun dari atas ke bawah, yang berarti “Kelenteng melindungi masyarakat mendapat perlindungan dari empat penjuru”. Kemudian Cin Cok Khum Lei Un Phi Liok Hap yang artinya “menghimbau masyarakat bekerja keras dan akan mendapat faedahnya”. Pada dua bangunan lain bagian atapnya terdapat hiasan naga mengapit rumah (Siang Leng Pho Thak = dua naga membangun rumah), dan naga mengapit Pho lo = roh jahat
(Siang Leng Pho Ho Lo).

Di bagian dalam di samping kiri dan kanan pintu terdapat pertulisan Bu Kiong Eng Leng Hou Kip Lam Pang yang berarti jasa pahlawan melindungi masyarakat Selatan dan Cin Heng Sin Ui Ban Bin Kai Giong yang berati masyarakat mengagumi dewa panglima. Kemudian juga terdapat lukisan prajurit pengawal pintu yaitu Bu Jiong (pengawal militer) dan Bun Kua (pemimpin sipil). Tulisan di bagian atas relung Ui Leng Hien Hek yang berarti orang melihat wajahnya sudah takut. Selain itu juga terdapat tulisan pada kain yang berbunyi Kim Giok Wan Tong yang berarti emas giok memenuhi ruangan.

Kemudian terdapat 3 dewa bersaudara seperguruan antara lain; Tio Wan Soe (panglima perang dengan wahana harimau berada di tengah), kemudian samping kiri dan kanannya Khong Wan Soe dan To Shi Kong. Dewa-dewa lain Chi Ong
(tujuh raja), Tio ten Sie di tengah, Hwat Cu Kong, Tai Seng Kong, Hien Tua Wan Soe. Dewa Bumi di bawah relung di bagian tengah.

Di atas meja di bagian depan relung-relung tersebut juga terdapat patung-patung kecil dengan bendera yang melambangkan arah mata angin. 5 pengawal di empat penjuru mata angin dan tengah, masing-masing juga dilambangkan dengan warna berbeda. Hijau = timur, lambang kayu, putih = barat, lambang logam, merah = selatan, lambang api, hitam = utara, lambang air, di tengah melambangkan tanah. Adapun beberapa barang yang disimpan antara lain; kapak, pedang (kuan ta), bola duri (ci kiu), tempat hio (hio lo), lampu tujuh bintang (cit che teng), gada (kun), pedang ikan gergaji (kian sua kian) yang berfungsi menangkal ilmu hitam.

Di bagian kanan (Utara) terdapat dua ruangan sebagai ruangan tambahan. Ruangan pertama, tempat diletakkannya figur dewa-dewa antara lain; Po Seng Tai (dewa obat) dalam bentuk lukisan, 3 figur dewi, naga mengapit uang. Ruangan kedua, tempat diletakkannya figur dewa-dewa antara lain; Ngou Kok Sien Si (dewa pertanian), Ma Co Po (dewi pengawal laut), Cui Sien Ong (dewa pengawal laut) dengan dua pengawalnya, Cien Li Gan, Sun Hong Hi, dan Tai Soe (prajurit pengawal tahunan).

Di bagian kiri (Selatan) juga terdapat ruangan tambahan. Ruangan pertama, tempat diletakkannya arca dewa-dewa antara lain, Teua Pek Kong (Dewa Uang), dan arca dewa-dewa lain yang biasanya diletakkan di rumah yang dititipkan di tempat ini. Ruangan kedua, tempat diletakkannya arca Dewi Kwam Im (2 buah), Buddha Gautama, Buddha Maitreya, dan Dewi Kiu Tien
( Susilowati,2006:19–21).

IV. Keunikan Kelenteng Cin Buk Kiong
Denah bangunan kelenteng umumnya persegi empat panjang dengan arah orientasi utara-selatan sehingga pintu masuk diupayakan menghadap ke selatan. Namun Kelenteng Cin Buk Kiong bangunannya berorientasi timur-barat. Ada anggapan kepercayaan Cina yang menyebutkan bahwa arah baratlaut dan tenggara merupakan arah hadap ke pintu kejahatan. Penempatan tembok yang dihiasi dengan relief qilin (hewan berbadan rusa, berekor sapi dan bersisik) berhadapan dengan pintu masuk merupakan kesengajaan yang dikaitkan dengan fengsui sehingga tidak langsung menghadap ke barat. Kedekatan dengan sumber air yaitu Selat Morong merupakan unsur penting dalam fengsui yang dipercaya akan membawa keberuntungan.

Bangunan kelenteng Ci Buk Kong kini berdinding dari batu bata, sebelumnya berdinding papan kayu. Kelenteng tersebut telah mengalami beberapa kali renovasi. Kelenteng sudah bertembok sejak 50 tahun yang lalu. Bata-bata dan lantai lama diganti ketika dilakukan renovasi sekitar dua tahun yang lalu dan kini disimpan di gudang. Barang-barang tersebut didatangkan dari luar negeri. Pada bata-bata itu terdapat tulisan made in Singapore, sedangkan lantainya yang terbuat dari batu granit didatangkan dari Cina.

Unsur-unsur arsitektur bangunan ditujukan untuk memberikan nuansa religi bagi kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan di tempat tersebut. Di bagian dalam terdapat pilar-pilar untuk menopang bagian atap. Pilar-pilar tersebut memiliki arti tersendiri jika dikaitkan dengan arsitektur Cina. Biasanya pilar-pilarnya terdiri dari 5 jenis yaitu tiang bagian atap, tiang emas, tiang dalam, tiang pusat, dan tiang pendek. Bagian atap bangunan Kelenteng Ci Buk Kong, menggunakan atap pelana dengan dinding tembok /Gable roof with solid walls and the ends (Ngang shan), dan di bagian puncaknya terdapat ornamen hiasan naga.

Pada beberapa kelompok masyarakat tertentu, ornamen dapat menjadi sarana untuk mengkomunikasikan konsep, ajaran dan falsafah dalam kehidupan masyarakat tersebut. Ornamen memiliki makna yang lebih dari sekedar tujuan estetika (Dewi,2000:35). Lambang singa melambangkan kekuatan yang agung dan megah, keberanian dan ketabahan. Umumnya patung singa diletakkan di depan pintu masuk, tujuannya untuk mencegah masuknya pengaruh-pengaruh jahat. Pilar-pilar bangunan umumnya dihiasi dengan simbol-simbol orang suci, prajurit serta ornamen-ornamen lain. Simbol-simbol dan ornament-ornamennya mengandung arti pengharapan yang baik bagi masyarakat pendukung kelenteng tersebut.

Bangunan kelenteng terdiri dari ruang utama dan beberapa ruangan lain sebagai ruangan penunjang. Pada ruangan utama terdapat beberapa arca yang merupakan fokus dari pemujaan pada kelenteng tersebut seperti arca tiga bersaudara yaitu Tio Wan Soe (panglima perang dengan wahana harimau berada di tengah), kemudian samping kiri dan kanannya Khong Wan Soe dan To Shi Kong. Ketiga arca tersebut juga disebut dengan nama Kwan Sing Tee Kun (panglima perang), Ciu Ciang Kun, dan Kwan Sing Thai Cu.

Arca Kwan Sing Tee Kun juga disebut dengan Kwan Khong. Kwan Khong dikenal juga sebagai dewa perang yang menguasai alam jagad dan langit. Pemujaan terhadap Kwan Khong diharapkan akan mampu memberikan keselamatan dan melepaskan dari bencana. Pada beberapa kesempatan Kwan Khong menjelma menjadi manusia, salah satunya adalah pada saat Dinasti Han Berkuasa. Pada masa itu dipercaya Kwan Khong merupakan seorang panglima perang yang sanggup mengatasi permasalahan kenegaraan yang ada. Pemujaan terhadap tokoh tersebut memiliki arti yang lebih luas karena sebagai dewa, Kwan Sing Tee Kun/Kwan Khong merupakan pelindung bagi bumi, langit beserta segala isinya (Kitab Kwan Sing Tee Kun, tt:22–27).

Namun demikian tanpa mengabaikan beberapa dewa yang lain di kelenteng tersebut diletakkan juga beberapa arca, diantaranya adalah beberapa arca yang merupakan arca-arca atau perlengkapan lain dalam ajaran Tri Dharma yaitu yang mewakili ajaran Taosime, Konfusianisme, dan Budha.

Lombard dan Salmon menyebutkan tata cara ibadah di kelenteng mengikuti ajaran Konfusianisme (Konghuchu) sebab semua persyaratan/perlengkapan sembahyang yang ada berpedoman pada tata cara ajaran Konghuchu. Hal ini disebabkan awal mula kelenteng dibangun dalam lingkungan penganut ajaran tersebut. Wajah Budhisme diberitakan melengkapi kelenteng sejak tahun 1965 karena situasi politik pada waktu itu mengamanatkan Indonesia sebagai Negara Berketuhanan Yang Maha Esa, sehingga masyarakat penganut Tridharma menekankan pada aspek-aspek Budhis dalam peribadatannya (Dewi,2000:37).

Senjata-senjata yang disimpan di dalam kelenteng dan juga merupakan atribut dewa-dewa berupa kapak, pedang (kuan ta), bola duri (ci kiu), gada (kun), pedang ikan gergaji (Kian Sua Kian) merupakan peralatan yang digunakan pada saat dilakukannya upacara-upacara dalam ajaran Taoisme. Pada kesempatan itu dilakukan atraksi yang menampilkan acara pemotongan lidah, berjalan diatas api memukuli badan dengan bola duri dan lain-lain yang bertujuan untuk menolak pengaruh jahat, rasa sakit dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan pembaharuan Taoisme yang diajarkan oleh Tao-Jiao (Setiawan dkk.,1982:156–157).

V. Penutup
Pemberian nama kelenteng Cin Buk Kiong yang berarti “semangat giat bekerja” di tambah lagi dengan beberapa tulisan yang terdapat di bagian lain yang berbunyi Cin Cok Khum Lei Un Phi Liok Hap yang artinya “menghimbau masyarakat bekerja keras dan akan mendapat faedahnya”. Himbauan tersebut diimbangi juga dengan kalimat Bu Kiong Hou Lu Tek Moi Si Hong, yang berarti “Kelenteng melindungi masyarakat mendapat perlindungan dari empat penjuru”. Doa-doa dan pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya dilakukan terhadap dewa-dewa penguasa jagad, salah satu diantaranya adalah Kwan Sing Tee Kun/Kwan Khong.

Kepustakaan

Moerthiko, 1980. Riwayat Klenteng, Vihara dan Lithang : Tempat Ibadah Tri Dharma se Jawa. Semarang: Sekretariat Empe Wong Kam Fu

Dewi, Puspa dkk. 2000. Kelenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Susilowati, Nenggih, 2006. Laporan Penelitian. Penelitian Arkeologi Di Pulau Rupat, Provinsi Riau. Medan: Balai Arkeologi Medan

Anonim, tt. Kitab Suci Kwan Sing Tee Kun: Situbondo-Mojokerto: Umat Tri Dharma

Setiawan,dkk.1982. Mengenal Klenteng Sam Poo Kong Gedung Batu Semarang. Semarang: Yayasan Kelenteng Sam poo Kong Gedung Batu