Aspek-Aspek Kehidupan Tradisi Megalitik Dataran Tinggi Jambi

Oleh Tri Marhaeni S. Budisantosa

Abstrak
Tinggalan megalit yang tersebar di dataran tinggi Jambi berpotensi untuk rekonstruksi aspek-aspek kehidupan antara lain seperti pola pemukiman, ekonomi, sosial, dan religi, tetapi penelitian megalitik di kawasan tersebut belum dilakukan secara intensif. Penelitian ini dilakukan melalui kajian arkeologi permukiman untuk merekonstruksi aspek-aspek tersebut. Situs-situs yang menjadi sampel penelitian ini adalah Dusun Tuo, Pematang Rimbo Tembang, dan Nilo Dingin. Pengumpulan data dilakukan dengan survey dan ekskavasi. Dalam ekskavasi di sekitar megalit di Dusun Tuo ditemukan tinggalan-tinggalan artefaktual yang semuanya menunjukkan kegiatan hunian. Temuan artefaktual dianalisis, baik analisis spesifik maupun konteks.. Analisis konteks dilakukan dengan mengkorelasikan antar-tinggalan arkeologi dan antara tinggalan arkeologi dengan lingkungan, baik dalam tingkat mikro, semi-mikro, dan makro. Dalam analisis konteks dipergunakan data penunjang yang diperoleh dari hasil inventarisasi dan penelitian-penelitian sebelumnya. Korelasi-korelasi demikian mungkin bermakna, baik dari aspek ekonomi, sosial, dan religi.

Kata kunci: megalit, dataran tinggi Jambi, arkeologi permukiman

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Dataran tinggi Jambi merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan di Pulau Sumatera. Kawasan tersebut dapat dicapai dari kota Bangko, ibukota Kabupaten Merangin. Kota Bangko ditempuh dari kota Palembang dengan jalan darat melalui kota Lubuk Linggau dan kota Sarolangun kurang-lebih sejauh 563 km. Sementara itu, dari kota Jambi dapat ditempuh melalui kota Muara Tembesi dan kota Sarolangun sejauh 268 km.

Dataran tinggi Jambi merupakan kawasan pemukiman manusia sejak dahulu, maka penelitian arkeologi di kawasan tersebut perlu dilakukan untuk merunut sebaran dan perkembangan manusia dan budayanya. Di Gua Ulu Tiangko, Kabupaten Merangin, August Tobler pada tahun 1913 melakukan ekskavasi penjajagan dan menemukan alat serpih. Kemudian pada tahun 1926 J. Zwierzycki di sebuah gua dekat Ngalau, Merangin, menemukan artefak dari obsidian dan batu lain. Alat-alat batu yang ditemukan di kedua situs tersebut termasuk serpih bilah Mesolitik (Heekeren,1972:137 – 139) yang menurut R.P. Soejono berasal dari masa berburu tingkat lanjut (1993:182). Di Gua Tiangko Panjang, 5 kilometer sebelah selatan Gua Ulu Tiangko, Bennet Bronson dan Teguh Asmar pada tahun 1974 menemukan lapisan tembikar yang di bawahnya terdapat alat-alat obsidian. Lapisan budaya tersebut berumur 9.210 ± 130 BP dan 10.250 ± 140 BP (Soejono,1993:182).

Pemukiman-pemukiman prasejarah masa Mesolitik ternyata tidak hanya terdapat di gua-gua di Kabupaten Merangin, tetapi juga di tepi danau di Kabupaten Kerinci. Pada tahun 1939 Van der Hoop mengumpulkan temuan permukaan berupa alat serpih obsidian di sekitar Danau Gadang Estate, dekat Danau Kerinci. Menurut van Heekeren, alat serpih dari tepi danau tersebut lebih besar daripada alat serpih bilah dari gua-gua di Merangin (1972:139). Alat serpih tersebut termasuk mikrolit, tetapi bentuknya tidak geometris seperti alat mikrolit pada umumnya (Soejono,1993:182).

Dataran tinggi Jambi dapat dikatakan merupakan kawasan pedalaman yang jauh dari jalur perdagangan maritim. Selain itu juga bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan sungai-sungai bertebing terjal, sehingga menghambat mobilitas horisontal. Namun, ternyata kawasan tersebut tidak benar-benar terisolasi. Museum Nasional Jakarta mengumpulkan temuan lepas dari Kerinci berupa tiga buah benda keramik Cina dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M). Menurut Abu Ridho, ketiga benda keramik tersebut berupa bejana penjenazahan dari dinasti Han (abad 1 – 2 M), mangkuk sesaji dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M), dan guci tempat anggur bertutup dari dinasti Han (abad 1 – 2 M) (1979:105 – 118). Pengaruh kebudayaan Hindu-Buda pun hampir tidak terlihat di Kerinci dan Merangin. Hingga kini belum ditemukan situs-situs Hindu-Buda di kedua wilayah tersebut, tetapi di Kerinci ditemukan arca lepas berupa dua buah arca Boddhisattwa perunggu berukuran kecil (tinggi 16 cm) (Schnitger,1937:13).

Dalam ekskavasi di situs megalitik Pondok, Kerinci, tahun 2003, Dominik Bonatz menemukan keramik Cina dari dinasti Sung (960 – 1270 M). Temuan tersebut membuktikan bahwa ketika di dataran rendah Jambi berkembang pesat kerajaan Malayu bercorak budis, di dataran tinggi Jambi bertahan kehidupan bercorak tradisi megalitik. Bahkan tradisi megalitik di dataran tinggi Jambi bertahan hingga kedatangan Islam. Tradisi megalitik di kawasan tersebut tampaknya baru berakhir pada abad ke-18, ketika Sultan Jambi memerintahkan kepada para penguasa (depati) di dataran tinggi Jambi agar mengubah kepercayaannya.

Masyarakat bercorak tradisi megalitik di dataran tinggi Jambi mungkin sekali menghuni lahan di sekitar batu monolit yang mempunyai nama lokal batu gong, batu bedil atau batu larung. Bukti-bukti hunian di sekitar batu megalitik ditemukan dalam ekskavasi Bagyo Prasetyo tahun 1994 di Bukit Talang Pulai, Kerinci dan Dominik Bonatz tahun 2003 di Pondok, Kerinci dan di Bukit Batu Larung, Merangin tahun 2005. Tinggalan artefak menonjol di situs megalit adalah pecahan tembikar yang merupakan bukti pemukiman.

Kehidupan bercorak megalitik di dataran tinggi Jambi telah mengenal pula penguburan dengan wadah tempayan tanah liat sebagaimana di dataran tinggi Sumatera Selatan (lihat Soeroso,1998). Dalam ekskavasi di Desa Renah Kemumu, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, tahun 2004, Dominik Bonatz tidak hanya menemukan tinggalan megalit di Bukit Batu Larung, tetapi juga puluhan tempayan tanah liat insitu di suatu tempat yang berjarak sekitar 1 kilometer dari megalit. Keadaan tinggalan tempayan-tempayan tersebut tidak utuh karena pengaruh erosi dan aktivitas manusia sekarang yang menghuni situs tersebut. Melalui analisis C-14 yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, arang yang ditemukan dalam tempayan diketahui berumur 810 ± 120 BP (tahun 1020 -- 1260 M). Sementara itu, situs Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140 BP (tahun 840 -- 1120 M).

B. PERMASALAHAN PENELITIAN

Dataran tinggi Jambi merupakan kawasan yang subur, sehingga terdapat lahan perkebunan dan perladangan yang luas. Sebagian dataran tinggi Jambi termasuk kawasan Taman Nasional Kerinci-Seblat. Selama ini kawasan taman nasional tersebut mengalami peningkatan kerusakan, antara lain dengan adanya pembukaan lahan pertanian liar. Ternyata ekstensifikasi pertanian dan perkebunan yang semakin meningkat akhir-akhir ini di satu pihak akan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan aktivitas pembangunan fisik, namun di pihak lain dapat menjadi ancaman terhadap kelestarian cagar alam serta sumberdaya arkeologi. Sementara itu, sumberdaya arkeologi di kawasan tersebut relatif belum banyak diungkapkan.

Penelitian-penelitian situs-situs megalitik di dataran tinggi Jambi sebelumnya lebih bersifat eksploratif, sehingga pembahasan topik-topik tertentu belum dilakukan. Sementara itu, data yang diperoleh relatif memadai. Pembahasan topik-topik tertentu perlu dilakukan agar penelitian terus berkembang. Dalam kerangka merekonstruksi kehidupan manusia masa lampau, topik-topik seperti ekonomi, sosial, religi perlu mendapatkan prioritas. Topik-topik tersebut dapat dibahas melalui studi arkeologi permukiman. Dalam penelitian situs-situs megalit di dataran tinggi Jambi selama ini belum terfokus pada studi permukiman. Sementara itu, data tentang sebaran tinggalan arkeologi dalam ruang mikro, semi-mikro, dan makro sedikit banyak telah diperoleh, kendati belum lengkap.

C. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN

Dataran tinggi Jambi merupakan salah satu kawasan tersebarnya suku bangsa Melayu yang meninggalkan tinggalan-tinggalan arkeologis. Dataran tinggi Jambi telah dihuni paling-tidak sejak zaman Mesolitik. Apakah antara fase-fase dalam sejarah kebudayan di dataran tinggi Jambi merupakan suatu kesinambungan serta bagaimana keterkaitannnya dengan suku bangsa Melayu yang tersebar di tempat lainnya merupakan suatu permasalahan yang menarik untuk diungkapkan. Untuk mengungkapkan permasalahan-permasalahan tersebut memerlukan waktu yang panjang, maka tujuan jangka panjang penelitian ini adalah merekonstruksi sebaran bangsa Melayu sehingga terbentuknya puak-puak.

Penelitian situs megalit Dusun Tuo dan sekitarnya diharapkan lebih melengkapi data tinggalan megalit dan hunian serta sebaran keruangannya dalam kerangka studi permukiman. Studi permukiman akan diarahkan untuk merekonstruksi kehidupan tradisi megalitik di dataran tinggi Jambi, khususnya dalam aspek ekonomi, sosial, dan religi.

D. KERANGKA PIKIR

Manusia melakukan kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan beragam jenisnya, tetapi secara umum dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu kebutuhan ekonomi, sosial, dan religi. Manusia melaksanakan kegiatannya dengan menggunakan artefak, memanfaatkan bahan (ekofak), dan berada dalam suatu ruang tertentu. Untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tidak hanya melakukan satu jenis kegiatan, tetapi seperangkat kegiatan yang kemudian membentuk suatu pola kegiatan. Hal itu berarti bahwa untuk memenuhi suatu kebutuhan, manusia memerlukan ruang-ruang kegiatan.

Ruang kegiatan manusia berada dalam suatu bangunan, situs, maupun wilayah. Oleh karena itu, Clarke (1977) membagi ruang kegiatan menjadi tiga tingkat, yaitu tingkat mikro, semi-mikro, dan makro. Ruang mikro mencerminkan pola kegiatan keluarga; ruang semi-mikro mencerminkan pola kegiatan komuniti; dan ruang makro mencerminkan pola kegiatan antar-komuniti atau masyarakat. (Mundardjito,2002:19 -- 31).
Dalam memilih ruang kegiatan manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu yang disebut determinants. Bruce Trigger (1978:167 -- 193) menguraikan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh pada masing-masing tingkat pemukiman tersebut. Faktor-faktor itu secara umum teknologi dan adaptasi lingkungan, ekonomi, sosial, dan religi.

E. METODE PENELITIAN

Situs-situs megalitik di dataran tinggi Jambi sebagian telah tercatat dalam laporan-laporan penelitian dan inventarisasi benda cagar budaya. Dari laporan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi tahun 1994 dan 1996 diperoleh informasi tentang tinggalan arkeologi situs megalitik Pratin Tuo yang sekarang berubah nama menjadi Desa Tuo, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten Merangin serta situs megalitik Pematang Rimbo Tembang dan Nilo Dingin. Situs-situs tersebut relatif terawat, apalagi semenjak dipelihara oleh petugas yang diangkat oleh instansi terkait. Namun, Pematang Rimbo Tembang dan Nilo Dingin jauh dari perkampungan penduduk. Oleh karena itu, ekskavasi dilakukan di Dusun Tuo.

Di situs megalitik Dusun Tuo, tim melakukan ekskavasi di lahan belahan barat dari tinggalan megalit batu larung dengan lahan ekskavasi seluas 30 meter x 15 meter. Kini situs tersebut dipergunakan sebagai kebun kayu manis, tetapi tidak terawat sehingga ditumbuhi semak belukar. Setelah situs dibersihakan dibuat lay out dengan menarik sumbu utara-selatan (sumbu y) dan barat-timur (sumbu x) dengan titik sumbu berada pada sudut batu larung sebelah kanan (timurlaut). Grid-grid (petak-petak) dibuat berukuran 5 meter x 5 meter, tetapi kotak ekskavasi dibuat berukuran 2,5 meter x 2,5 meter. Lay out kotak ekskavasi dibuat secara acak. Nama kotak ekskavasi diambil dari jarak antara sudut kotak ekskavasi bagian baratdaya dengan garis sumbu x dan y. Sebagai misal, kotak ekskavasi -2,5/2,5, artinya titik sudut baratdaya kotak ekskavasi sejauh 2,5 meter dari garis sumbu x negatif (sebelah timur titik sumbu) dan sejauh 2,5 meter dari sumbu y positip (sebelah utara titik sumbu). Ekskavasi dilaksanakan dengan sistem spit dengan interval 15 cm.

Tinggalan budaya material yang ditemukan dari lapangan akan dianalisis, baik analisis spesifik maupun analisis konteks. Dalam analisis spesifik akan diamati atribut-atribut bentuk, teknologi, dan stilistiknya. Sementara itu, dalam analisis konteks akan dianalisis sebaran dan hubungan ruang kegiatan serta sebaran dan hubungan antara ruang kegiatan dan ruang sumberdaya lingkungan dalam tingkat semi-mikro. Berdasarkan analisis konteks, data akan ditafsirkan dengan pendekatan ekologi, ekonomi, sosial, dan religi.

II. PELAKSANAAN PENELITIAN

A. SURVEI

Dalam survei tim penelitian melakukan pengamatan tinggalan megalit dan keadaan lingkungannya serta mendokumentasikannya. Survei permukaan tanah untuk mendapatkan sampel artefaktual tidak dilakukan karena terbatasnya waktu. Survei dilakukan di Desa Tuo dan Nilo Dingin, Kecamatan Lembah Masurai. Di Desa Tuo dilakukan survei di situs-situs megalitik Dusun Tuo dan Pematang Rimbo Tembang. Sebenarnya di Desa Tuo terdapat dua situs megalitik lagi, yaitu Pematang Sungai Nilo dan Pematang Renah Luas, tetapi dengan waktu yang ada tim penelitian tidak sempat mendatangi kedua situs tersebut. Sementara itu, di Desa Nilo Dingin tim penelitian mendatangi satu-satunya situs megalitik di desa tersebut.

1. Situs Dusun Tuo

Situs Dusun Tuo merupakan dataran di atas bukit (pematang, bahasa lokal) yang ketinggiannya tidak kurang dari 800 meter di atas muka air laut. Menurut Ibu Rohana, kakek dan neneknya dahulu bertempat tinggal di sekitar tinggalan megalit yang dinamai batu larung sebelum berpindah ke perkampungan Desa Tuo sekarang. Oleh karena itu tempat tersebut bernama Dusun Tuo. Nama tersebut perlu dipertahankan untuk membedakan dengan situs-situs lain yang sama-sama berada di Desa Tuo. Dusun Tuo tertulis juga dalam peta rupabumi lembar Sungai Penuh tahun 1986/1987 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal.

Tinggalan megalit di Dusun Tuo terletak di tanah Ibu Rohana. Secara astronomis keletakannya pada titik koordinat 2o 22’ 25,7” LS - 101o 54’ 8,6” BT. Di sebelah timur batu larung terdapat sisa parit selebar 6 meter yang berujung pada tebing bukit bagian utara dan selatan. Parit tersebut tampak samar-samar, berupa cekungan memanjang dengan kedalaman rata-rata tidak lebih daripada 40 cm. Di kaki bukit sebelah barat mengalir Sungai Sisin, sedangkan di kaki bukit sebelah timur mengalir Sungai Siau.

Megalit di kebun kayu manis Ibu Rohana ini pertama kali dilaporkan oleh F.M. Schnitger tahun 1939. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi (BP3 Jambi) tahun 1994 dan 1996 menamai situs tersebut Pratintuo. Ketika itu megalit tertimbun tanah sekitar 22 -- 34 cm, sehingga keseluruhan bentuk serta hiasannya tidak tampak. Pada tahun 1996 BP3 Jambi melakukan ekskavasi, sehingga berhasil menampakkan keseluruhannya, tetapi kotak ekskavasi ditimbun kembali.

2. Situs Pematang Rimbo Tembang

Situs ini terletak di dataran dari puncak Bukit (Pematang) Rimbo Tembang, tepatnya di kebun kayu manis Ibu Nurhana dan Ibu Rosna. Tinggalan di situs tersebut pun pernah dilaporkan oleh BP3 Jambi tahun 1996. Ketinggian bukit tidak kurang dari 900 meter di atas muka air laut. Megalit 1 (sebelah barat) terletak pada titik koordinat 2o 23’ 9,6” LS - 101o 52’ 3,7” BT. Tidak kurang dari 49,4 meter di sebelah timur Megalit 1 terdapat Megalit 2. Megalit 2 terletak pada titik koordinat 2o 23’ 10,6’ LS - 101o 52’ 2,5” BT. Di kaki bukit sebelah barat terdapat sungai kecil, tetapi tebingnya sedalam sekitar 10 meter. Pengamatan lingkungan di sisi-sisi bukit lainnya tidak dilakukan karena terhalang semak belukar yang lebat.

3. Situs Nilo Dingin

Tinggalan megalit di situs Nilo Dingin pertama kali dilaporkan pula oleh F.M. Schnitger tahun 1939 dan kemudian oleh BP3 Jambi tahun 1994 dan 1996. BP3 Jambi pada tahun 1996 melakukan ekskavasi di situs tersebut untuk menyelamatkan tinggalan arkeologi di lahan calon bangunan cungkup. Situs tersebut menjadi kebun kayu manis Bapak Azis, penduduk Nilo Dingin. Situs Nilo Dingin berada di dataran dari puncak bukit yang ketinggiannya tidak kurang dari 1000 meter di atas muka air laut. Secara astronomis keletakannya pada titik koordinat 2o 24’ 50,7” LS - 101o 51’ 2,4” BT. Di sebelah utara bukit terdapat hulu Sungai Tebal; di kaki bukit sebelah timur mengalir Sungai Siau; di kaki sebelah selatan bukit mengalir Sungai Tiaro Nasi; di kaki sebelah barat mengalir Sungai Nilo.

B. EKSKAVASI

Setelah mengetahui potensi tinggalan arkeologi di situs Dusun Tuo, baik melalui laporan maupun pengamatan langsung di lapangan, diputuskan untuk dilakukan ekskavasi. Ekskavasi di sekitar tinggalan batu larung pernah dilakukan oleh Bagyo Prasetyo pada tahun 1994 di Bukit Talang Pulai serta oleh Dominik Bonatz pada tahun 2003 di Pondok dan pada tahun 2005 di Bukit Batu Larung. Ekskavasi di Dusun Tuo dilakukan membuktikan apakah pola pemukiman semi-mikro di situs megalitik Dusun Tuo menunjukkan gejala yang sama seperti pada situs-situs lain yang telah diekskavasi sebelumnya.

1. Kotak -15/10

Tanah muka kotak ini melandai ke arah utara dengan beda tinggi 15 cm. Tanah muka berupa humus berwarna coklat kehitaman. Ekskavasi spit 1 menggali dua lapisan tanah. Lapisan pertama humus; lapisan kedua lempung pasiran coklat muda. Dalam lapisan lempung pasiran terdapat fitur berarang. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi spit 2 menggali lapisan lempung pasiran. Dalam spit 2 tidak ditemukan tinggalan artefaktual. Ekskavasi spit 3 menggali lapisan lempung pasiran lagi. Fitur berarang yang muncul pada spit 1 menghilang, tetapi dua fitur berarang lain muncul di tempat berbeda. Dalam spit 3 ditemukan pecahan tembikar. Ekskavasi spit 4 menggali lempung pasiran. Fitur masih ada. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi dihentikan pada kedalaman 50 cm.

2. Kotak -10/12,5

Tanah muka kotak ini melandai ke arah barat dan utara dengan beda tinggi antara 18 -- 30 cm. Muka tanah berupa humus coklat kehitaman. Ekskavasi spit 1 menggali lapisan humus. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi spit 2 menggali lapisan humus dan kemudian lempung pasiran berwarna coklat muda. Dalam lapisan lempung pasiran terdapat empat buah fitur berarang. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi spit 3 menggali lapisan lempung pasiran. Keempat fitur berarang masih ada. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi spit 4 menggali lempung pasiran. Temuan berupa pecahan tembikar, baik dari dalam fitur maupun dari luar fitur. Ekskavasi dihentikan pada kedalaman 60 cm.

3. Kotak -2,5/12,5

Muka tanah kotak ini relatif datar. Tanah bagian muka humus coklat kehitaman. Ekskavasi spit 1 menggali lapisan humus dan kemudian lempung pasiran berwarna coklat muda. Dalam lapisan lempung pasiran terdapat fitur berarang coklat kehitaman. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi spit 2 menggali lapisan lempung pasiran. Fitur berarang menghilang, tetapi dua fitur lain muncul di tempat berbeda. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi spit 3 menggali lapisan lempung pasiran lagi. Temuan berupa pecahan tembikar dan batu obsidian. Ekskavasi spit 4 menggali lapisan lempung pasiran. Fitur berarang menghilang dan dua fitur lain muncul di tempat berbeda. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi spit 5 khusus menggali fitur. Temuan berupa pecahan tembikar dan batu giling. Ekskavasi dihentikan pada kedalaman 60.

4. Kotak -10/5

Muka tanah kotak ini relatif datar. Ekskavasi spit 1 menggali lapisan humus coklat tua. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi spit 2 menggali lapisan humus dan lempung pasiran coklat muda. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi spit 3 menggali lapisan lempung pasiran. Di bagian tengah kotak ini terdapat satu buah fitur yang bentuknya tidak beraturan. Temuan berupa satu buah batu giling di luar fitur. Ekskavasi spit 4 menggali lapisan lempung pasiran coklat muda. Fitur tersebut berubah bentuk menjadi lonjong. Temuan berupa pecahan tembikar, baik dari fitur maupun dari luar fitur. Ekskavasi spit 5 menggali lempung pasiran. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi spit 6 khusus menggali fitur. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi dihentikan pada kedalaman 66 cm.

5. Kotak -2,5/2,5

Muka tanah kotak ini relatif datar. Tanah bagian muka humus coklat kehitaman. Ekskavasi spit 1 menggali lapisan humus. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi spit 2 menggali lapisan humus dan kemudian lempung pasiran coklat muda. Temuan berupa pecahan tembikar dan pecahan batu kuarsa yang tidak diketahui bentuk dan fungsinya. Ekskavasi spit 3 menggali lempung pasiran. Temuan berupa pecahan batu kuarsa lagi. Ekskavasi spit 4 menggali lapisan lempung pasiran. Temuan berupa satu buah pecahan porselen dan sejumlah pecahan tembikar. Selain itu, ditemukan juga fitur tiang kayu bulat sebanyak tiga buah yang berbaris teratur dengan arah U 45o. Dilihat dari selatan, tiang paling kiri dengan tiang sebelah kanannya berjarak 106 cm; tiang tengah dengan tiang sebelah kanannya 86 cm. Dalam fitur terdapat sisa-sisa kayu yang telah melapuk. Ekskavasi spit 5 menggali lapisan lempung pasiran. Hingga kedalaman 64 cm fitur tiang kayu menghilang, tetapi di tempat lain muncul fitur lain yang bentuknya tidak teratur. Temuan berupa pecahan tembikar.

6. Kotak -15/-2,5

Muka tanah kotak ini relatif datar. Ekskavasi spit 1 menggali lapisan humus coklat kehitaman. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi spit 2 menggali lapisan humus dan kemudian lapisan lempung pasiran berwarna coklat muda. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi spit 3 menggali lempung pasiran. Dalam spit ini terdapat lima fitur berarang. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi spit 4 menggali lempung pasiran. Tiga fitur masih tampak, dan dua fitur lainnya menghilang. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi dihentikan pada kedalaman 47 cm.

7. Kotak -7,5/-2,5

Muka tanah kotak ini relatif datar. Tanah bagian muka kotak ini humus berwarna coklat tua. Ekskavasi spit 1 menggali lapisan humus dan kemudian lempung pasiran coklat muda. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi spit 2 menggali humus dan lempung pasiran. Temuan berupa pecahan tembikar dan batu obsidian. Ekskavasi spit 3 menggali lempung pasiran berkerikil. Temuan berupa pecahan tembikar. Sekitar 40 cm dari sudut timur laut kotak ini terdapat sebuah batu tak berbentuk yang menonjol dari dinding selatan kotak. Ekskavasi diakhiri pada kedalaman 50 cm.

8. Kotak -2,5/-7,5

Muka tanah kotak ini relatif datar. Tanah bagian muka kotak humus coklat tua. Ekskavasi spit 1 menggali lapisan humus. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi spit 2 menggali lempung pasiran berwarna coklat muda. Temuan berupa satu batang sisa tiang kayu dalam keadaan tegak. Ekskavasi spit 3 menggali lempung pasiran berkerikil. Tinggalan artefaktual selain sisa tiang kayu tidak ditemukan. Ekskavasi spit 4 menggali lempung pasiran berkerikil. Bagian pangkal sisa tiang kayu ditemukan pada kedalaman 52 cm. Ekskavasi dihentikan pada kedalaman tersebut.

9. Kotak -10/-10

Muka tanah kotak ini relatif datar, berupa humus coklat tua. Ekskavasi spit 1 menggali humus. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi spit 2 menggali humus dan kemudian lempung pasiran coklat muda. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi spit 3 menggali lempung pasiran berkerikil. Di sekitar sudut barat laut muncul batuan induk konglomerat yang telah mengalami erosi, sehingga membentuk cekungan-cekungan memanjang. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi dihentikan pada kedalaman 46 cm.

10. Kotak -15/-15

Muka tanah kotak ini relatif datar, berupa humus coklat kehitaman. Ekskavasi spit 1 menggali humus dan lempung pasiran berwarna coklat muda. Di sekitar sudut timur laut terdapat sebuah fitur berarang. Temuan berupa pecahan tembikar dan batu obsidian. Ekskavasi spit 2 menggali humus dan lempung pasiran. Fitur masih tampak. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi spit 3 menggali lempung pasiran. Fitur menghilang, tetapi muncul batuan induk konglomerat dari dalam tanah. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi dihentikan pada kedalaman 50 cm.

11. Kotak -2,5/-15

Muka tanah kotak ini relatif datar, berupa humus hitam kecoklatan. Ekskavasi spit 1 menggali humus dan kemudian lempung pasiran coklat muda. Tinggalan artefaktual tidak ditemukan. Ekskavasi spit 2 menggali humus dan lempung pasiran. Sebuah fitur berarang muncul. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi spit 3 menggali lempung pasiran. Fitur menghilang, tetapi di tempat lain muncul satu buah bongkahan batu laterit tak berbentuk. Temuan berupa pecahan tembikar. Ekskavasi dihentikan pada kedalaman 48 cm.

III. HASIL PENELITIAN

A. TINGGALAN MEGALIT

1. Tinggalan Megalit di Dusun Tuo, Desa Tuo

Megalit di tanah Ibu Rohana ini dibuat dari batu, berbentuk silinder dengan diameter bidang salah satu ujung lebih besar daripada diameter bidang ujung lainnya serta tidak lebih daripada seperdelapan bagiannya dipangkas sejajar sumbu panjangnya, sehingga membentuk bidang datar empat persegi panjang yang merupakan bagian dasar megalit. Bidang-bidang datar di kedua ujung diberi pahatan relief timbul. Pada bidang datar ujung besar dipahat bentuk kepala manusia hingga leher yang berada dalam sebuah lingkaran. Garis mata, hidung, dan mulut tampak kurang jelas, mungkin karena aus. Pada bagian leher terdapat garis bulat. Pada bidang ujung kecil terdapat pahatan figur manusia berupa kepala dan lengan tangan serta di bawahnya satu bundaran dengan dua bundaran lain yang konsentris di dalamnya. Pada badan megalit sisi kiri, atas, dan kanan dipahat juga relief timbul. Relief kiri dan kanan badan silinder berbentuk sama, yaitu lima buah deretan bundaran yang dalam setiap bundaran terdapat dua bundaran lainnya secara konsentris. Antar-bundaran terdapat relief timbul berbentuk tetesan air. Pada badan silinder atas dipahat bentuk enam manusia kangkang yang digambarkan bersambungan seolah-olah yang satu menyangga yang lain. Pada bagian tengah badan atas terdapat sebuah kotak bujursangkar dan lebih kedalam berbentuk bulat yang diapit kedua kaki dari dua figur manusia kangkang. Ukuran megalit: panjang 345 cm, lebar ujung besar 94 cm, lebar ujung kecil 60 cm, tinggi ujung besar 88 cm, tinggi ujung kecil 82 cm. Lobang bujursangkar berukuran 32 cm. Lobang bulat berdiameter 20 cm. Kedalaman kotak 12 cm. Orientasi batu larung dari ujung kecil ke arah ujung besar 244o U, atau ke arah puncak Gunung Sumbing

2. Tinggalan Megalit di Pematang Rimbo Tembang, Desa Tuo

Dua buah tinggalan megalit di Dusun Tuo lainnya terletak di Pematang (Bukit) Rimbo Tembang. Megalit 1 (sebelah barat) tidak diberi hiasan. Bidang datar dari ujung besar mungkin patah atau belum selesai dibuat. Orientasinya (dari ujung kecil ke arah ujung besar) 209o U. Ukuran megalit 1: panjang 340 cm, lebar ujung besar 90 cm, tinggi ujung besar 90 cm, lebar ujung kecil 70 cm, tinggi ujung kecil 20 cm. Sementara itu, megalit 2 (sebelah timur) mungkin tidak kurang dari sepertiga bagiannya terpendam tanah. Megalit tersebut tidak diberi hiasan juga. Orientasinya (dari ujung kecil ke arah ujung besar) 335o U. Ukurannya: panjang 355 cm, lebar ujung besar 97 cm, tinggi 69 cm.

3. Tinggalan Megalit di Desa Nilo Dingin

Bentuk megalit Nilo Dingin secara umum sama seperti megalit Dusun Tinggi. Megalit Nilo Dingin pecah melintang menjadi dua bagian karena aktivitas pertumbuhan akar-akar pohon besar. Kendati demikian, batu larung tersebut insitu. Pada bidang datar ujung besar dipahat relief timbul berbentuk manusia dalam posisi muka dan badan menghadap ke depan, tetapi kedua tungkai bawah menghadap ke samping dengan lutut ditekuk siku-siku. Kedua tangan diangkat ke atas. Bagian badan dan bidang datar ujung kecil tidak dipahat relief. Ukuran: panjang 318 cm (renggangan akibat patahan tidak diukur), lebar ujung besar 112 cm, lebar ujung kecil 75 cm, tinggi ujung besar 107 cm, dan tinggi ujung kecil 90 cm. Orientasi batu larung di Nilo Dingin (dari ujung kecil ke arah ujung besar) 295o U.

B. TEMBIKAR

Seluruh temuan tembikar berupa pecahan wadah yang terdiri atas pegangan tutup, tepian, dan badan. Jenis benda tersebut ditemukan dalam seluruh kotak ekskavasi, kecuali kotak -10/-10. Secara keseluruhan asal temuan spit 1 hingga spit 5. Sebagian ditemukan dalam fitur berarang.
Pecahan wadah tembikar sebagian besar polos dan sebagian kecil berhias. Hiasan tembikar berbentuk pola tali dan jala yang keduanya dibuat dengan teknik tera. Dilihat dari asal temuan secara keseluruhan, tembikar berhias berasal dari spit 1 hingga spit 5, sama seperti asal temuan tembikar polos.

C. PORSELEN

Porselen merupakan jenis temuan langka karena hanya ditemukan sebanyak satu buah pecahan pada spit 4. Temuan tersebut berupa bagian tepian dari wadah berdinding tipis (0,55 cm), kemungkinan besar piring. Bahan porselen berwarna putih. Glasir berwarna putih kebiruan. Motif hias berbentuk rerumputan, dibuat dengan teknik kuas di bawah glasir dengan tinta berwarna biru. Berdasarkan pada pengamatan bahan, warna glasir, dan motif hias diduga temuan tersebut berasal dari dinasti Ching (1644 -- 1912 M).

D. BATU GILING

Batu giling merupakan batu berbentuk bulat seperti apa yang kini di Sumatera digunakan untuk menggiling bumbu masak. Temuan tersebut ditemukan dalam dua kotak ekskavasi. Batu giling pertama ditemukan di kotak -10/5 dalam spit 3, sedangkan yang kedua ditemukan di kotak -2,5/12,5, spit 5, dalam suatu fitur berarang. Ukuran batu giling pertama: panjang 8 cm, lebar 7 cm, dan tebal 5,3 cm; ukuran batu giling kedua: panjang 21,6, lebar 10,7 cm, dan tebal 9,8 cm.

E. BATU OBSIDIAN

Batu obsidian yang oleh penduduk dinamai batu langit ditemukan dalam empat kotak ekskavasi. Secara keseluruhan temuan tersebut berasal dari spit 1 hingga spit 3. Ukurannya kecil dengan berat antara 1 – 10 gram. Dilihat bentuknya seperti sisa pemangkasan yang biasa disebut tatal batu.

F. TIANG KAYU

Tiang kayu ditemukan di dua kotak ekskavasi. Di kotak -2,5/2,5 spit 3 hingga kedalaman 64 cm ditemukan tiga buah fitur tiang. Ketiga fitur tiang berbentuk bulat dengan diameter 10 cm. Fitur tersebut terbentuk dari konsentrasi serpihan lapukan kayu. Ketiga fitur tersebut berada dalam satu garis lurus dengan arah U 45o. Dilihat dari arah selatan, tiang paling kiri dengan tiang tengah berjarak 106 cm; tiang tengah dengan tiang sebelah kanannya 86 cm.
Tiang kayu lainnya ditemukan di kotak -2,5/-7,5 spit 2 hingga kedalaman 52 cm. Bahan dari sejenis kayu keras. Bentuk penampang lintang empat persegi panjang berukuran panjang 32 cm, lebar 10 cm, tebal 5 cm.

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. ANALISIS KONTEKS

Dalam analisis konteks akan dipaparkan asosiasi antar-temuan serta antara temuan dengan lingkungan alamnya dalam satuan ruang yang sama, baik dalam satuan ruang sekala mikro, semi-mikro, dan makro. Berdasarkan pada analisis konteks akan dibahas makna-makna asosiasi itu dalam sub bab berikutnya.

1. Asosiasi antar-temuan

a. Asosiasi antar-temuan dalam ruang mikro

Dalam kotak -2,5/12,5 spit 5 ditemukan pecahan tembikar berasosiasi dengan batu giling dalam suatu fitur tanah berarang. Asosiasi kedua jenis benda tersebut terjadi pula dalam kotak -10/5 dalam satu lapisan tanah lempung pasiran berwarna coklat.
Dalam kotak -2,5/2,5 spit 4 ditemukan pecahan tembikar berasosiasi dengan pecahan porselen dari dinasti Ching (1644 -- 1912 M). Pecahan tembikar berasosiasi pula dengan pecahan batu obsidian sebagaimana tampak dalam kotak -2,5/12,5 spit 3 dan dalam kotak -7,5 /-2,5 spit 2. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa tembikar, batu giling dan pecahan batu obsidian merupakan sisa kegiatan hunian. Hunian megalit Dusun Tuo berlangsung pada sekitar masa itu.

b. Asosiasi antar-temuan dalam ruang semi-mikro

Dalam ekskavasi di sekitar batu larung dalam areal seluas 30x15 meter ditemukan suatu himpunan artefak yang terdiri atas pecahan tembikar, pecahan porselen, batu giling, dan pecahan batu obsidian serta sisa tiang kayu yang ditemukan dalam kotak -2,5/2,5 dan -2,5/-7,5. Himpunan artefak tersebut berasosiasi dengan megalit batu larung dan parit. Hal itu menunjukkan bahwa hunian berada di sekitar megalit batu larung. Hunian tersebut dilindungi oleh parit.

c. Asosiasi antar-temuan dalam ruang makro

Dalam bagian ini difokuskan pada satuan analisis batu larung. Batu larung ternyata hanya ditemukan di kawasan dataran tinggi Jambi Kabupaten Merangin dan Kabupaten Kerinci. Kawasan tersebarnya batu larung di Merangin secara tradisional dikenal dengan nama serampas atau serampeh yang wilayahnya meliputi Desa Renah Kemumu, Tanjung Kasri, Renah Alai, Rantau Kermas, dan Lubuk Mantilin. Sementara itu, Dusun Tuo dikatakan oleh penduduk termasuk serampas bawah. Dalam piagem Kesultanan Jambi disebut nama Serampas sebagai wilayah atau nama suatu marga. Hingga kini telah ditemukan batu larung sebanyak 12 buah di Serampas dan 8 buah di Kerinci.

Seluruh batu larung secara umum berbentuk sama, yaitu silinder yang dipangkas secara lateral sehingga membentuk bidang datar empat persegi panjang yang merupakan bagian bawah batu larung. Selain itu, kedua ujungnya berbeda diameternya. Ujung bagian yang lebih besar dipangkas rata, sehingga terbentuk bidang datar. Ujung bagian yang lebih kecil tidak dibuat rata benar, tetapi lengkung.

Sebagian batu larung diberi relief, sedangkan lainnya polos. Kendati bentuk hias relief di antara batu larung tidak sama persis, tetapi terdapat kesamaan motif relief. Sebagai misal, motif relief berbentuk bundaran-bundaran konsentris pada batu larung Dusun Tuo terdapat pula pada batu larung Kumun Mudik, Pondok, Lolo Gadang, dan Muara Siau. Selanjutnya motif relief antropomorfis ditemukan pula pada sejumlah batu larung seperti pada batu larung Dusun Tuo, Nilo Dingin, Lubuk Mantilin, Bukit Batu Larung (Renah Kemumu), Kumun Mudik, Pondok, Lolo Gadang, dan Bukit Talang Pulai. Motif relief antropomorfis terdiri atas motif wajah dan motif manusia kangkang. Hal yang menarik adalah motif wajah pada batu larung Dusun Tuo dan Bukit Talang Pulai dikelilingi semacam lingkaran yang dalam arca Hindu-Buda sesebut prabha. Selanjutnya kombinasi motif manusia kangkang dan bundaran-bundaran konsentris pada batu larung Dusun Tuo terdapat pula pada batu larung Lubuk Mantilin dan Pondok. Batu larung Pondok boleh dikatakan banyak kesamaannya dengan batu larung Dusun Tuo, kendati keduanya berjarak sekitar 40 kilometer. Sementara itu, kesamaan batu larung Dusun Tuo dengan batu larung Lubuk Mantilin paling banyak kesamaannya, baik bentuk maupun keletakan motif reliefnya. Kesamaan antara keduanya yang tidak ditemukan pada batu larung Pondok adalah motif wajah yang dipahatkan pada bidang datar ujung besar. Antara Dusun Tuo dengan Lubuk Mantilin berjarak sekitar 24 kilometer.

Motif relief antropomorfis cenderung dipa hatkan pada bidang dari ujung besar, kendati pada sejumlah batu larung dipahatkan pula pada bidang dari ujung lainnya seperti pada batu larung Bukit Talang Pulai. Khusus motif relief antropomorfis berbentuk manusia kangkang dipahatkan pada bagian atas badan sebagaimana pada batu larung Dusun Tuo, Lubuk Mantilin, dan Pondok serta pada bagian samping badan seperti pada batu larung Kumun Mudik dan Lolo Gadang.

Lobang yang terdapat pada punggung batu larung ternyata tidak mutlak ada. Hingga kini hal itu baru ditemukan pada batu larung Dusun Tuo dan Lempur Mudik.

2. Asosiasi antara temuan dengan lingkungan

a. Asosiasi antara temuan dengan lingkungan dalam ruang mikro

Tinggalan artefaktual di situs megalit Dusun Tuo terdeposit dalam lapisan humus dan lapisan lempung pasiran coklat muda serta dalam fitur berarang. Tinggalan artefaktual dari lapisan humus ditemukan dalam kotak-kotak -2,5/-7,5, -15/-15, -2,5/2,5, -15/10, -10/12,5, -2,5/12,5, -10/5, dan -2,5/2,5; tinggalan artefaktual dalam lapisan lempung coklat muda ditemukan dalam seluruh kotak ekskavasi, kecuali kotak -10/-10 yang nihil temuan; tinggalan artefaktual dalam fitur ditemukan dalam kotak-kotak -2,5/12,5 dan -10/5.

b. Asosiasi antara temuan dengan lingkungan dalam ruang semi-mikro

Tinggalan megalit Dusun Tuo, Nilo Dingin, dan Pematang Rimbo Tembang semuanya terletak di atas suatu dataran dari suatu puncak bukit. Di sekeliling bukit tersebut terdapat sungai-sungai kecil atau sungai besar. Selain itu, di lingkungan semua pemukiman megalit tersebut terdapat lembah relatif luas. Pada lembah tersebut terdapat sungai kecil yang memungkinkan digunakan sebagai irigasi persawahan.

c. Asosiasi antara temuan dengan lingkungan dalam ruang makro

Situs batu larung Dusun Tuo beserta tinggalan-tinggalan hunian berada di kawasan dataran tinggi Jambi yang berketinggian tidak kurang dari 500 meter di atas muka air laut. Sejumlah batu larung lainnya yang diteliti seperti batu larung Nilo Dingin dan batu larung Pematang Rimbo Tembang berada pada ketinggian antara 800 -- + 1000 di atas muka air laut.

B. ASPEK-ASPEK KEHIDUPAN TRADISI MEGALITIK DATARAN TINGGI JAMBI

Berdasarkan hasil analisis keruangan dibahas secara ekslporatif topik-topik seperti pola pemukiman ekonomi, sosial, dan religi. Pola pemukiman merupakan suatu studi untuk mengetahui ekonomi, sosial, dan religi. Oleh karena itu, sebelum membahas topik-topik ekonomi, sosial, dan religi dibahas terlebih dahulu topik pola pemukiman.

1. Pola Pemukiman

Menurut sekala keruangnya, pola pemukiman terdiri atas pola pemukiman mikro, semi-mikro, dan makro. Hasil penelitian kali ini belum memadai untuk pembahasan pola pemukiman mikro karena ekskavasi total belum dilakukan. Oleh karena itu, fokus pembahasan ini pada pola pemukiman semi-mikro dan makro.

Berdasarkan analisis asosiasi antar-temuan dalam ruang semi-mikro dapat diketahui bahwa pemukiman megalit Dusun Tuo terdiri atas hunian yang mengelilingi batu larung. Hal itu tampak pula pada pemukiman megalit Bukit Talang Pulai, Pondok, dan Bukit Batu Larung. Batu larung tampaknya merupakan pusat pemukiman. Khusus di Dusun Tuo, hunian tersebut dilindungi dengan parit buatan yang terletak di sebelah timur hunian. Keletakan parit tersebut mungkin berkaitan dengan keadaan lahan di bagian timur hunian yang luas dan melandai, sedangkan sisi-sisi lainnya bertebing relatif curam. Hal itu menunjukkan bahwa parit buatan tersebut dibuat untuk melindungi hunian. Faktor keamanan tampaknya diperhatikan dengan dipilihnya dataran dari puncak bukit sebagai lokasi hunian. Di situs-situs megalitik dataran tinggi Jambi lain seperti Nilo Dingin, Pematang Rimbo Tembang, Bukit Batu Larung, Bukit Talang Pulai, Pulau Sangkar, Renah Luas semuanya berada di dataran dari puncak bukit, tetapi tidak ditemukan parit buatan. Sementara itu, batu larung di Lempur Mudik tidak berada di puncak bukit, melainkan di dataran yang sekarang menjadi lahan persawahan .

Di suatu pemukiman megalitik biasanya terdapat situs penguburan. Selama ini baru diketahui di Renah Kemumu/Bukit Batu Larung bahwa di pemukiman megalitik terdapat pula situs penguburan. Situs batu larung berada di dataran puncak bukit, sedangkan situs penguburan di lembah perbukitan. Jarak antara keduanya sekitar 1,3 kilometer. Dalam ekskavasi yang dilakukan oleh Dominik Bonatz dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional di tengah perumahan Desa Renah Kemumu pada tahun 2005 ditemukan sejumlah tempayan tanah liat yang diduga merupakan sisa tempayan kubur. Kedua situs tersebut diduga sezaman. Melalui analisis C-14 yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, arang yang ditemukan dalam tempayan diketahui berumur 810 ± 120 BP (tahun 1020 -- 1260 M.). Sementara itu, situs Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140 BP (tahun 840 -- 1120 M.). Namun, hingga penelitian berakhir di Dusun Tuo belum ditemukan situs penguburan.

Di lingkungan pemukiman megalitik seperti Dusun Tuo, Nilo Dingin, dan Pematang Rimbo Tembang terdapat sungai, baik sungai kecil ataupun sungai besar. Situs-situs megalitik yang diteliti sebelumnya menunjukkan pula asosiasi dengan sumber air, baik sungai atau danau, seperti tampak dalam tabel berikut.

Karena air merupakan kebutuhan manusia sehari-hari yang paling penting untuk minum, mandi, dan cuci, pemukiman cenderung mendekati sumber air seperti sungai atau danau. Sungai juga merupakan habitat ikan yang bisa menjadi menu manusia sehari-hari.

Berdasarkan analisis konteks antara temuan dengan lingkungan alam dalam ruang makro diketahui situs-situs megalitik Dusun Tuo, Nilo Dingin, dan Pematang Rimbo Tembang berada di kawasan dataran tinggi dengan ketinggian antara 800 -- 1000 meter di atas muka air laut. Sejumlah batu larung lain yang dilaporkan oleh Bagyo Prasetyo tahun 1994 dicatat berada pada kisaran tersebut. Batu larung di Bukit Batu Larung yang diteliti oleh Dominik Bonatz dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional pada tahun 2005 berada pada ketinggian sekitar 870 meter di atas muka air laut. Plotting situs-situs batu larung pada peta memperlihatkan bahwa sebaran seluruh batu larung di dataran tinggi Jambi berpola mengikuti alur Pegunungan Bukit Barisan yang membujur baratlaut-tenggara. Batu larung di ujung baratdaya berada di Kumun Mudik, sedangkan batu larung di ujung tenggara berada di Pematang Pauh. Jarak antara keduanya tidak kurang dari 80 kilometer. Sebaran demikian menunjukkan masyarakat megalitik dataran tinggi Jambi waktu itu mempertahankan pola adaptasi lingkungan sekitar pegunungan Bukit Barisan.

2. Ekonomi

Manusia cenderung mengikuti prinsip minimalisasi energi dan maksimalisasi hasil kerja dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, keletakan situs mungkin mencerminkan pola pemanfaatan lingkungan alam. Situs-situs megalit yang diteliti seluruhnya cenderung berada di dekat sungai yang berada di kaki-kaki bukit yang dihuni. Sungai tidak hanya menyediakan air bersih untuk minum, mandi dan cuci, tetapi juga ikan yang dapat memenuhi protein bagi kelangsungan hidup manusia.

Lingkungan pemukiman-pemukiman megalitik adalah lahan yang subur. Lahan berupa dataran dan lereng-lereng bukit. Pada lahan tersebut dapat ditanami padi tadah hujan. Curah hujan yang relatif tinggi di kawasan dataran tinggi memungkinkan dilakukannya budidaya padi pada tanah kering pada hampir sepanjang tahun. Lembah-lembah dengan aliran sungai-sungai kecil di kaki-kaki bukit merupakan lahan yang baik untuk persawahan dengan irigasi. Hal itu dapat disakiskan sekarang di sekitar situs.

Dataran tinggi kaya pula dengan jenis-jenis tumbuhan seperti kacang-kacangan dan sayur-sayuran. Keduanya merupakan sumber vitamin dan mineral yang mendukung kelangsungan hidup manusia. Kacang-kacangan juga merupakan sumber lemak dan protein yang dibutuhkan oleh manusia.
Jenis-jenis binatang seperti kerbau, kambing, dan ayam dapat hidup dan berkembang biak dengan baik di kawasan dataran tinggi Jambi. Jenis-jenis binatang tersebut juga merupakan sumber makanan yang memenuhi kebutuhan protein, lemak, vitamin, dan mineral. Kepemilikan jenis-jenis binatang tersebut dapat pula menjadi pertanda kekayaan seseorang.

Kehidupan yang menetap memungkinkan munculnya spesialisasi pekerjaan. Alat-alat rumah tangga yang dibuat dari tanah liat bakar mungkin tidak dibuat oleh masing-masing rumah tangga, tetapi hanya dibuat oleh orang-orang tertentu yang bekerja di industri-industri rumah tangga. Dalam hal itu mungkin terjadi pertukaran seperti pertukaran antara barang tembikar dengan hasil pertanian atau peternakan, atau antara hasil pertanian dengan hasil peternakan.

Kehadiran tinggalan keramik Cina dari dinasti Sung pada sebagian situs megalitik menandakan adanya hubungan dengan masyarakat yang bermukim di dataran rendah Jambi. Jumlah temuan keramik asing yang relatif sedikit belum tentu menandakan kecilnya intensitas hubungan antara keduanya. Keramik asing mungkin hanya dimiliki oleh golongan masyarakat tertentu. Mungkin hubungan antara keduanya bersifat politis, misalnya penguasa masyarakat megalit dataran tinggi Jambi harus menyerahkan upeti kepada raja-raja Buda yang berkuasa di dataran rendah Jambi.

Mungkin hubungan antara keduanya bersifat ekonomis. Sedikitnya temuan keramik Cina belum tentu menandakan sedikitnya hubungan perdagangan antara keduanya. Keramik Cina hanya merupakan salah satu barang yang diperjualbelikan oleh orang-orang dataran rendah Jambi. Sementara itu, orang-orang dataran tinggi Jambi memperjualbelikan sejumlah hasil hutan dan hasil bumi.

3. Sosial

Dalam ekskavasi di situs megalitik Dusun Tuo dan di situs-situs megalitik dataran tinggi Jambi lain sebelumnya ditemukan bukti-bukti hunian di sekitar batu larung. Bukti-bukti pemukiman yang menonjol berupa pecahan wadah tembikar. Berdasarkan hasil-hasil penelitian selama ini dapat diketahui bahwa di setiap situs batu larung terdapat hunian dari satuan sosial tertentu yang mungkin merupakan suatu komuniti. Dalam suatu komuniti hubungan antar-warga komuniti diatur dengan norma-norma dan adat-istiadat yang sama. Di antara mereka diangkat seorang pemimpin komuniti. Pemimpin komuniti mungkin bertugas pula memimpin upacara dan ritual dalam kaitannya dengan batu larung.Di dataran tinggi Jambi tersebar tinggalan megalit batu larung. Sebaran batu larung serta kesamaan-kesamaan dalam hal tertentu seperti bentuk dan motif relief menunjukkan bahwa di dataran tinggi Jambi pernah terbentuk suatu masyarakat dan budaya megalitik yang sezaman. Komuniti-komuniti itu membentuk suatu ikatan politik yang dipimpin oleh salah seorang dari komuniti-komuniti tersebut.

Ekskavasi-ekskavasi selama ini belum dapat menyimpulkan besar masing-masing situs megalit di dataran tinggi Jambi. Kendati demikian ekskavasi-ekskavasi selama ini menemukan tinggalan-tinggalan yang mencerminkan aktivitas-aktivitas masa lalu. Temuan menonjol adalah pecahan wadah tembikar selain dari batu larung itu sendiri. Hal itu menunjukkan jenis-jenis aktivitas di setiap situs megalitik relatif sama, artinya situs-situs megalitik tersebut tidak menampakkan adanya hirarki. Namun demikian ada perbedaan dalam hal kualitas pembuatan batu larung dilihat dari kemampuan membuat motif relief. Hal itu menunjukkan tiadanya situs yang paling dominan, tetapi ada suatu pemukiman yang paling penting.

Suatu pola pemukiman yang menunjukkan tiadanya hirarki situs, tetapi ada satu situs yang dianggap paling penting merupakan pola pemukiman masyarakat chiefdom sebagaimana dikemukakan oleh Elman Service (Bahn dan Colin Renfrew,1992:155). Pemimpin chiefdom diangkat dari orang yang terdekat hubungan kekerabatannya dengan nenek moyang bersama.

Telah dikemukakan bahwa batu larung tersebar di dataran tinggi Jambi yang meliputi wilayah Kabupaten Kerinci dan Merangin. Batu larung di Kabupaten Merangin tersebar di wilayah bekas marga Serampas. Menurut Bapak Abunjani, Ketua Adat Desa Renah Kemumu, Serampas meliputi wilayah Renah Kemumu, Tanjung Kasri, Renah Alai, Rantau Kermas, dan Lubuk Mantilin. Pada masa lalu depati (kepala marga) Tanjung Kasri dianggap terkemuka di antara depati-depati dari marga-marga lain di Serampas. Oleh karena itu, pada waktu-waktu tertentu para depati Serampas bermusyawarah di Tanjung Kasri. Kenyataan sekarang Desa Tanjung Kasri terbesar di kawasan Serampas. Apakah hal itu menunjukkan sisa-sisa dari pentingnya pemukiman megalit di Tanjung Kasri pada masa lampau ? Di desa tersebut ditemukan pula batu larung polos. Apakah batu larung polos menunjukkan situs megalit Tanjung Kasri tertua?

4. Religi

Fungsi batu larung hingga kini belum jelas diketahui. Tinggalan megalit tersebut termasuk unik karena tidak ditemukan di tempat lain, kecuali di dataran tinggi Jambi. Penduduk pun sudah tidak mengetahui lagi fungsinya. Hingga kini tidak ditemukan sumber tertulis atau cerita tutur tentang batu larung yang tertinggal secara turun temurun.
Fungsi batu larung tidak dapat ditafsirkan berdasarkan atribut bentuk semata. Namun, fungsi suatu benda dapat ditafsirkan pula dari lambang yang terdapat pada benda bersangkutan. Telah dikemukakan bahwa sejumlah batu larung dihias dengan motif-motif tertentu. Motif-motif relief itu mungkin merupakan suatu lambang yang mempunyai arti tertentu. Namun, hingga kini arti motif-motif relief itu pun belum dapat ditafsirkan. Analisis konteks dapat pula dipergunakan untuk mengetahui tinggalan arkeologi. Namun, hingga kini baru diketahui bahwa batu larung berada dalam konteks hunian. Secara umum dapat ditafsirkan bahwa batu larung merupakan benda monumental yang dimiliki setiap komuniti megalitik di dataran tinggi Jambi. Lebih khusus lagi batu larung mungkin bukan alat keperluan profan, melainkan sakral.

Kata batu larung diucapkan secara turun temurun, tetapi hingga kini belum ditemukan seorang pun dari penduduk yang mengetahui artinya. Bahkan di sejumlah situs kata tersebut tidak dikenal oleh penduduk. Sebagai misal, penduduk di sekitar situs Kumun Mudik dan Pondok menamai benda tersebut batu gong; orang sekitar Bukit Talang Pulai menamai batu bedil. Kata larung hingga kini masih terpelihara pengertiannya dalam bahasa Jawa. Tradisi keraton Yogyakarta pada hari tertentu dari bulan Asura (Muharam) melaksanakan upacara larung agung dengan mempersembahkan sesajian tertentu kepada Nyai Roro Kidul di pantai selatan. Larung agung artinya ‘persembahan besar‘. Kata “larung” dalam frasa batu larung berfungsi sebagai adverb dari kata “batu”. Dengan demikian batu larung adalah batu persembahan. Di batu larung masyarakat waktu itu mempersembahkan sesuatu kepada kekuatan supranatural.

Lobang yang dipahatkan pada punggung (bagian atas) batu larung Dusun Tuo dan Desa Lempur Mudik mungkin merupakan tempat menaruh sesuatu yang dipersembahkan. Namun, keberadaan lobang tersebut tidak mutlak ada. Sebagian besar batu larung tidak berlobang pada bagian atasnya.
Sejumlah batu larung memperlihatkan pola hadap ke arah gunung atau bukit tertentu. Bidang yang lebih lebar dari batu larung Dusun Tuo menghadap ke arah Gunung Sumbing; batu larung Nilo Dingin menghadap ke arah Gunung Sumbing; batu larung Kumun Mudik menghadap ke arah Bukit Adam; batu larung Desa Renah Kemumu menghadap ke arah Gunung Gerkah. Gunung tampaknya mempunyai arti tertentu dalam religi megalitik dataran tinggi Jambi. Namun, bagaimana konsepsi kepercayaan megalitik tentang gunung itu hingga kini belum diperoleh. Penduduk sekitar situs tampaknya tidak lagi mengingat sisa-sisa religi tentang batu larung dan gunung karena telah lama terhapus dengan konsep kepercayaan Islam yang dianut sebagian besar penduduk.

V. PENUTUP

A. SIMPULAN

Komponen pemukiman megalitik Dusun Tuo terdiri atas megalit (tempat suci), hunian, dan parit buatan. Tempat suci yang ditandai dengan megalit batu larung berada di tengah hunian. Hal itu menunjukkan batu larung merupakan pusat pemukiman dan dengan demikian dianggap tempat yang paling penting. Tempat suci merupakan tempat ritual untuk memuja dan memohon kepada kekuatan supranatural. Kekuatan supranatural itu mungkin dianggap bersemayam di gunung. Ritus-ritus yang dilaksanakan di sekitar batu larung berfungsi pula mempertahankan kohesi komuniti.

Parit buatan di situs megalitik Dusun Tuo hanya terdapat pada lahan yang landai karena tebing-tebing yang relatif curam telah berfungsi sebagai prasarana pertahanan. Dipilihnya puncak bukit sebagai tempat hunian pada masayarakat megalitik dataran tinggi Jambi tampaknya berkaitan dengan faktor keamanan. Situs-situs hunian megalitik yang tidak berada di puncak bukit perlu diteliti kembali, khususnya dalam kaitan dengan faktor keamanan karena bentuk-bentuk pengaman lain mungkin diterapkan, misalnya dengan membuat pagar keliling dengan bambu berduri atau memilih tempat hunian di meander sungai.

Hunian megalitik Dusun Tuo bersifat mengelompok pada satu tempat saja, yaitu di puncak bukit. Tampaknya bentuk hunian demikian merupakan tipe hunian-hunian megalitik lainnya di dataran tinggi Jambi. Mengingat dataran dari suatu puncak bukit terbatas daya tampungnya, sedangkan jumlah penduduk mengalami peningkatan, maka dibangunlah pemukiman baru di puncak-puncak bukit atau lembah-lembah lainnya hingga dalam rentang waktu yang belum diketahui tersebar pemukiman-pemukiman megalitik sejauh 80 kilometer menerobos gunung-gunung, perbukitan, sungai-sungai dan hutan lebat.

Masyarakat megalitik dataran tinggi Jambi tampaknya bermata pencaharian pokok pertanian. Lahan pertanian terdekat dengan hunian pun semakin sempit seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Munculnya pemukiman-pemukiman baru mungkin didorong pula oleh keterbatasan lahan pertanian itu.
Kesamaan bentuk batu larung dan motif relief di dataran tinggi Jambi dapat dipahami pula dari sudut sebaran dan pertambahan jumlah penduduknya. Komuniti-komuniti megalitik dataran tinggi Jambi mempunyai hubungan kekerabatan yang kedekatan hubungan kekerabatan mungkin dapat dilihat dari tingkat kesamaan motif relief batu larung. Sementara itu, kesamaan bentuk batu larung membuktikan seluruh komuniti megalitik dataran tinggi Jambi mempunyai nenek moyang bersama. Oleh karena itu, komuniti-komuniti itu membentuk suatu polity yang pemimpin tertingginya diangkat dari orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan nenek moyang bersama. Polity itulah yang mempersatukan masyarakat megalit dataran tinggi Jambi dalam mempertahankan wilayah dan identitas kebudayaannya.

Pada masa Hindu-Buda kebudayaan megalitik dataran tinggi Jambi masih bertahan. Kekuasaan dinasti raja-raja budistis yang menguasai kawasan dataran rendah Jambi tidak mampu menerobos pertahanan kebudayaan megalitik dataran tinggi Jambi. Bagaimana interaksi antara kedua masyarakat dan kebudayaan itu pada masa itu belum dapat digambarkan secara jelas. Hubungan itu mungkin bersifat politis dengan masyarakat megalit tetap mendapatkan otonomi, tetapi harus membayar upeti atau keduanya berhubungan secara ekonomis. Mungkin baru pada abad ke-18, pertahanan masyarakat megalitik dataran tinggi Jambi melemah dan kemudian runtuh oleh kekuatan Kesultanan Islam Jambi. Kemudian tidak lebih dari dua abad kemudian, tidak ada tradisi lisan atau tulisan yang tertinggal, sehingga tinggalan megalitik dataran tinggi Jambi terlupakan arti dan fungsinya dalam konteks budaya pada masanya.

B. SARAN

Pembahasan dalam penelitian ini sebagian belum didukung oleh data yang lengkap karena penelitian situs-situs dan tinggalan megalit di dataran tinggi Jambi belum banyak dilakukan. Oleh karena itu disarankan agar penelitian situs-situs megalit dataran tinggi Jambi diteruskan melalui studi pola pemukiman, baik pemukiman mikro, semi-mikro, maupun makro. Selain itu perlu didukung pula dengan analisis arkeometri seperti analisis bahan dari tinggalan budaya serta pertanggalan situs dengan analisis C-14.
Perlindungan dan pemeliharaan tinggalan megalit di dataran tinggi Jambi perlu ditingkatkan karena masih terdapat sejumlah kasus yang menimpa seperti pemindahan dari tempat asalnya, pengubahan posisi semula, tindakan vandalistis, dan perusakan benda untuk mencari harta karun serta keausan motif relief karena tidak terlindung dari hujan dan panas.

DAFTAR PUSTAKA
Bahn, Paul dan Colin Renfrew. 1993. Archaeology: Theories, Methods and Practices. London: Thames and Hudson Ltd.
Heekeren, Van. 1972. The Stone Age of Indonesia. Den Haag: Verhandelingen KITLV: LXI.
Mundardjito. 1990. “Metode Penelitian Permukiman Arkeologis.” Lembaran Sastra 11: 19 – 31. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Ridho, Abu. “Daftar Keramik Asing Yang Didapati di Sumatera Menurut Kartu De Flines, Kini di Museum Pusat”. Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 105 – 118.
Schnitger, F.M. 1937. The Archaeology of Hindoo Sumatra. Leiden: E.J. Brill.
Schnitger, F.M. 1939. Forgotten Kingdom in Sumatra. Leiden: Oxford University Press.
Soejono, R.P. (editor). 1993. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
Soeroso, 1998. “Laporan Penelitian Situs Kunduran, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan”. Berita Penelitian Arkeologi Nomor 3. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.

Sumber: http://arkeologi.palembang.go.id//aspek-aspek-kehidupan-tradisi-megalitik-dataran-tinggi-jambi.html