Oleh : Dra. Tengku Sitta Syaritsa
Penulis mengungkapkan bahwa seni musik Melayu sangat terpengaruh musik Cina, Portugis, India, Arab, dan Persia, sehingga bentuk awalnya tidak dapat diterka lagi. Dalam perkembangannya, musik Melayu menghadapi berbagai masalah, sehingga perlu dilakukan pengkajian yang mendalam.
1. Pendahuluan
Tulisan ini disusun berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis yang relatif singkat dan sederhana. Sejak kecil penulis sudah terbiasa mendengarkan lagu-lagu Melayu dan melihat tari-tarian yang diiringi musik tradisional dalam upacara perkawinan dan keramaian lainnya di Istana Serdang (Perbaungan). Saat itu untuk pertama kalinya penulis melihat alat musik serunai, rebab, gedombak, gendang penginduk/penganak, dan sebagainya. Meskipun penulis belum mengenal betul nama alat-alat musik tersebut, tetapi penulis sering melihat dan ingat betul bahwa alat-alat musik tersebut selalu digunakan untuk mengiringi drama tari Melayu Makyong yang sangat populer di Istana Serdang. Kadang-kadang pertunjukan diselingi musik biola, gendang, dan tawak-tawak ( tetawak). Musik ini digunakan untuk mengiringi ronggeng yang menari sambil menyanyikan lagu-lagu berirama lambat maupun cepat. Lagu berirama lambat yang dinyanyikan antara lain Mak Inang Pulau Kampai, Lagu Dua, dan Hitam Manis. Salah satu lagu yang bertempo cepat yaitu Pulau Sari, yang sekarang kita kenal sebagai lagu pengiring tari Serampang XII. Peralatan musik tersebut sudah berperan dalam masyarakat Melayu sebelum tahun 1930.
Dalam makalahnya yang dibacakan dalam Pekan Penata Tari dan Komponis Muda, T. Lukman Sinar mengutip buku John Anderson, Mission to the Eastcoast of Sumatera (1826) yang mengatakan bahwa orang-orang Melayu sangat gemar musik.
The Malays in this quarter are passionately fond of music. Their most admired tunes are
J.C.Van Eerde juga menulis mengenai kesenian Melayu:
… het laatsgenoemde wordt door een beroepsdanseres, de Joget, op een man uit het publiek gedanst en is zeer in trek. Bij een groot feest mag de djoget niet ontrekken. De voornaamste instrumenten bij de Maliers zijn gendang, rebana, seroensi, rebab, kecapie, soeling en gong, gambang, saron kromong en tjanang. Drie bijzondere instrumenten mochten slechts ten dienste van de vorsten bespeeld worden, namelijk de nafiri, lengkara, en nobat. Die zich bij vorstelijke optochten liet te horen (Eerde via Sinar, l970: 259).
… yang belakangan ini ditarikan oleh seorang penari wanita bayaran yang disebut Joget dengan salah seorang lelaki yang hadir, dan ini sangat digemari. Pada pesta-pesta besar, Joget tidak boleh ketinggalan. Alat-alat musik utama orang Melayu ialah gendang, rebana, serunai, rebab, kecapi, suling, gong, gambang, saron, kromong, dan canang. Tiga alat musik istimewa lainnya secara khusus hanya boleh dimainkan untuk raja-raja, yaitu nafiri, lengkara, dan nobat. Biasanya dimainkan ketika raja berarak (mengadakan kunjungan).
Sejarah kesenian Melayu dapat ditelusuri dengan melihat pengaruh dunia luar dalam seni musik, lagu, dan tari Melayu. Pengaruh ini terjadi karena hubungan dagang antara Kerajaan Melayu Aru yang berpusat di Deli dengan Malaka sudah berlangsung sejak abad ke-13. Sejak tahun 1511 M Malaka menjadi benteng Portugis, sehingga pengaruh Portugis juga mewarnai nada dan gerak tari Melayu yang disesuaikan dengan resam dan kebiasaan suku itu. Pengaruh Portugis tersebut tergambar dalam tari atau rentak Pulau Sari yang lebih dikenal dengan nama Serampang XII. Pengaruh
Kesenian Melayu seperti musik, lagu, maupun tari yang berkembang hingga pertengahan tahun 1930 dan akhir tahun 1942 sangat bersebati dengan masyarakat pendukungnya. Dulu pengarang lagu-lagu Melayu umumnya tidak mencantumkan namanya dalam karya mereka, tetapi ada juga nama pengarang yang sempat diketahui dari mulut ke mulut. Mereka sudah lanjut usia, dan sebagian sudah meninggal dunia. Di antara mereka adalah, Tengku Perdana atau Dahlan Siregar (alm.) yang menciptakan lagu Pulau Putri, dan Tengku Zubir yang lebih dikenal dengan nama Tengku Cubit yang menciptakan Kuala Deli. Lagu ini sangat terkenal di tanah Deli. Usman menciptakan lagu Dodoi Di Dodoi. Nama-nama pengarang dan lagunya sudah didaftar oleh Dewan Kesenian Medan dan Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud Sumatera Utara.
2. Periodisasi Perkembangan Musik Melayu Di Sumatera Utara
a. Periode 1942–1945
Pada masa pemerintahan Jepang, penampilan kesenian di Istana Serdang sangat kurang, tidak seperti sebelumnya. Kekurangan sangat terasa pada tahun 1942–1945, karena pergolakan politik yang terjadi pada masa itu. Walaupun demikian pada saat-saat tertentu penulis masih dapat mendengarkan lagu-lagu Melayu dari kelompok ronggeng yang sengaja dipanggil ke Istana Serdang untuk menghibur. Lagu-lagu Melayu seperti Senandung Dendang Sayang, Senandung Laksamana Mati Dibunuh, Senandung Anak Tiung, Mak Inang Pulau Kampai, Mak Inang Kayangan, Lagu Dua, Tanjung Katung, dan Lagu Dua Seratus Enam tidak luput dari pendengaran. Lagu Dua Pulau Sari yang bertempo cepat dan selalu mengakhiri tari Serampang XII juga sempat terdengar.
b. Periode 1945–1949
Pada tahun 1945–1949 revolusi sosial melanda kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Raja yang dulu sering menyelenggarakan pertunjukan kesenian tidak berkuasa lagi, sehingga pertunjukan kesenian tidak ada lagi. Pada masa itu masyarakat memfokuskan diri pada kebutuhan sehari-hari dan aktif berjuang melawan penjajahan. Raja dan keturunannya yang tersisa tidak aktif lagi dan hanya berpikir untuk kelanjutan hidup. Pemusik, penari, dan penyanyi andalan sudah terpencar dan banyak yang beralih profesi. Beberapa alat musik telah dijual, sementara sebagian besar lainnya tidak terpelihara. Menjelang tahun 1950 beberapa pemusik, penari, dan penyanyi andalan itu sudah lanjut usia dan meninggal.
c. Periode 1950–1965
Pada periode ini, seni tari, lagu, dan musik Melayu kembali mendapat tempat di kalangan masyarakat, baik masyarakat Melayu sendiri maupun masyarakat Indonesia lainnya. Pada masa itu muncul tokoh tari Melayu yang bernama Sayuti, seorang pegawai PP&K Sumatera Utara yang berhasil menggugah seluruh masyarakat lndonesia dengan tari Melayu hasil gubahannya. Beliau berusaha mempopulerkan tari Melayu dengan menggunakan metode yang ringkas dan mudah dipelajari. Sayuti menggubah tari Tiga Serangkai yang terdiri dari tari Senandung dengan lagu Kuala Deli, tari Mak Inang dengan lagu Mak Inang Pulau Kampai, dan tari Lagu Dua dengan lagu Tanjung Katung. Selain itu, tari Mak Inang, tari Cek Minah Sayang, tari Anak Kala, dan beberapa tari Melayu lainnya juga digubahnya. Sebagai klimaks, Sayuti menggubah dua belas macam ragam berdasarkan tari-tari Melayu yang ada. Tari ini kemudian dikenal dengan tari Serampang XII.
Tari Serampang XII ini sangat menarik minat dan perhatian masyarakat, terutama generasi muda. Hal ini terbukti dengan terselenggaranya Festival Serampang XII pada setiap tahun sejak awal kegemilangannya hingga sekarang. Setiap pengiriman misi kesenian ke luar negeri maupun pada kesempatan mengisi acara kesenian di Istana Negara, Serampang XII dan beberapa tari Melayu lainnya selalu mendapat sambutan. Tahun-tahun tersebut boleh dikatakan sebagai masa suburnya kesenian tari Melayu.
Perkembangan tari Melayu sejalan dengan perkembangan musiknya. Di mana-mana terdengar lagu-lagu Melayu dan pada saat itulah lahir komponis tiga zaman, Lili Suhairi dan biduanita kawakan, Rubiah. Keduanya dipandang sebagai tokoh yang banyak berjasa dalam memasyarakatkan musik dan lagu-lagu Melayu. Usaha itu dilakukan Lili Suhairi pada saat memimpin orkes Studio Medan. Kemudian bermunculan orkes-orkes Melayu lainnya seperti orkes Sukma Murni, Budi Pekerti, Rayuan Kesuma, dan lain-lain. Zaman itu juga telah melahirkan biduan dan biduanita Nasir, Nur Ainun, Zaidar, dan lainnya.
Seiring dengan tumbuhnya orkes tersebut muncul orkes Melayu versi baru pimpinan Tengku Nazly. Atas bimbingan ayahandanya yang berkemauan keras, dia menghimbau rekan-rekan dan keluarga terdekatnya untuk membentuk orkes yang kemudian diberi nama Tropicana. Lagu-lagu Melayu yang dibawakan orkes ini sebagian besar adalah lagulagu Melayu yang sudah diubah warnanya tanpa meninggalkan rasa dan penyajiannya. Dengan kata lain, lagu-lagu Melayu dibawakan dengan tempo cha-cha, rumba, marenggue, mambo, beat Barat yang sangat populer pada masa itu, dan sebagainya. Lagu-lagu mereka sempat direkam oleh perusahaan piringan hitam Lokananta pada tahun 1958 dengan menampilkan T. Kamarulzaman, Dahlia, T. Nazly, Mayang Murni, dan T. Sitta Syaritsa.
Orkes tersebut banyak dibantu oleh tokoh musik Abdul Muis Rajab (alm.) dalam hal aransemen. Walaupun Abdul Muis Rajab berasal dari tanah rencong, tetapi minatnya terhadap lagu-lagu Melayu besar sekali. Selain mengaransemen, ia juga menciptakan lagu Melayu. Salah satu lagu ciptaannya adalah Dendang Putri. Orkes ini dibina oleh Tengku Luckman Sinar yang sekaligus memegang alat perkusi.
Sementara itu, di luar
Musik Melayu mengalami masa suram pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yaitu akhir tahun 1965, karena perhatian masyarakat tertumpu pada perbaikan situasi setelah meletusnya G 30 S/PKI. Keadaan saat itu tidak memungkinkan bagi mereka untuk meneruskan profesinya, sementara banyak tokoh musik yang berpindah tempat atau pindah profesi.
3. Pembinaan Dan Perkembangan
Setelah keadaan tenang dan pemerintah berkeinginan memajukan kebudayaan nasional, kita segera sadar perlunya pelestarian kebudayaan bangsa. Kebijakan pemerintah di bidang pariwisata, telekomunikasi, dan kebijakan lain sangat bermanfaat bagi pembinaan kesenian dan kebudayaan. Pada umumnya pelayanan kesenian disalurkan melalui wadah tertentu yang sudah terarah, sehingga menimbulkan gairah bagi seniman dan pecinta seni di Indonesia untuk berkesenian. Perubahan itu juga dirasakan kesenian Melayu yang menunjukkan prospek baik dengan munculnya kesenian Melayu di televisi, lahirnya karya film yang berkultur Melayu (Musang Berjanggut), dan penyiaran musik dan lagu Melayu melalui RRI yang diselenggarakan oleh masyarakat Melayu dan masyarakat daerah lain.
4. Beberapa Perkembangan Musik Di Medan Dan Sekitarnya
Musik tradisional Melayu kembali muncul, seperti musik angkatan Makyong Serdang pimpinan T. Luckman Sinar, yang mengiringi tari-tarian dari Himpunan Seni Budaya Melayu Sri Indra Batu Medan yang penulis pimpin. Penampilan pertama pada tahun 1976 mendapat respon dari masyarakat, baik masyarakat Melayu maupun masyarakat daerah lain. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat masih merindukan jenis musik tersebut. Berbagai perkumpulan dan organisasi kesenian yang menggunakan alat musik campuran juga muncul di luar
Selain itu juga tumbuh minat kaum muda untuk membawakan lagu-lagu Melayu dengan orkes, band, dan musik kecil yang membuahkan aransemen baru yang terpengaruh musik Barat, seperti tempo cha-cha, mambo, rumba, dan sebagainya. Kelompok yang terpengaruh tersebut seperti SIRlS Combo pimpinan THM. Daniel. Dia dan rekanrekannya meneruskan warna dan corak orkes Tropicana.
Minat masyarakat daerah lain pun semakin besar. Ini ditandai dengan dibawakannya lagu-lagu Melayu oleh orkes Minang. Bahkan penyanyi-penyanyi pop pun sering membawakan lagu-lagu Melayu, seperti lagu Bunga Tanjung, Seringgit Dua Kupang, Mak Inang Pulau Kampai, dan sebagainya. Tumbuhnya tari-tari kreasi baru juga menghasilkan aransemen musik Melayu baru, walaupun sebagian besar lagu yang mengiringi tarian tersebut masih seperti lagu-lagu yang biasa didengar.
Musik Melayu dipengaruhi oleh musik asing, termasuk musik
Dibukanya jurusan Musikologi Etnik pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang mencantumkan teori dan praktik musik Melayu telah menumbuhkan harapan cerahnya kehidupan musik Melayu pada masa mendatang. Dampaknya pada generasi muda sangat positif. Generasi muda di Sumatera Utara, khususnya Medan tidak lagi merasa “kampungan” bila memainkan musik tradisi Melayu.
Demikian beberapa catatan yang menandai kemajuan dan perkembangan musik Melayu di Sumatera Utara saat ini. Dari beberapa kemajuan dan perkembangan musik Melayu tersebut masih ada yang perlu dibicarakan dan penulis ingin mengaitkannya dengan tari Melayu, karena keduanya berkaitan erat. Hampir setiap pergelaran musik diiringi tari dan begitu pula sebaliknya. Frekuensi penyajian dan wilayah pengenalan dari keduanya telah meluas. Usaha untuk memperluas lagi dilakukan dengan menambah sarana dan fasilitas, serta dengan melakukan penggodokan terhadap para pendukungnya secara terus-menerus. Musik dan tari mendapat tempat dalam masyarakat luas, sehingga mendapat pengaruh dari beragam kultur yang kemudian membuahkan bermacam-macam gaya.
Kita menyadari bahwa setiap perkembangan selalu menuju kemajuan. Namun perlu diingat bahwa kemajuan itu hendaknya disesuaikan dengan kepribadian bangsa kita. Perkembangan kesenian daerah harus diselaraskan dengan ciri khas daerah tersebut agar tidak tercerabut dari akar budayanya. Dalam makalah ini juga akan dikemukakan arah yang bisa dipegang agar pembicaraan mengenai tari dan musik tidak membingungkan, karena keduanya mempunyai persamaan dan perbedaan. Musik/lagu dan tari Melayu mempunyai kekhasan yang bisa ditandai dari beberapa hal, misalnya dalam lagu Melayu dikenal istilah gerenek, tekuk, berenjut, dan sebagainya. Sementara dalam tari dikenal istilah gentan, terkam, angguk legar, cicing, jinjit, menumit, sauk, dan sebagainya.
Gerak dan
Pengaruh dari berbagai bentuk dan jenis kesenian yang ada tentu tidak dapat dihindari. Seorang penata tari tertarik pada suatu gerak tertentu, lalu mengembangkannya, dan pada proses seperti itu terjadi perubahan nilai estetika kesenian Melayu, sehingga dalam rentang waktu tertentu kita kehilangan ciri khas kemelayuannya. Contoh yang ingin penulis kemukakan di sini adalah yang terjadi pada lagu-lagu Melayu. Seorang biduan Minang membawakan lagu Bunga Tanjung yang dikenal sebagai lagu Melayu. Cara membawakan lagu tersebut akan segera ditandai oleh pendengaran orang Melayu sebagai bukan cara pembawaan lagu Melayu, karena gerenek dan tekuk pembawaan lagunya sangat berbeda dengan pembawaan lagu biduan Melayu, tetapi pembicaraan biasanya terbatas sampai di situ saja. Kajian lebih dalam tentang perbedaan antara pembawaan lagu Gamat (Minang) dan pembawaan lagu Langgam (Melayu) perlu dilakukan untuk dijadikan patokan.
5. Penutup
Dalam perkembangan musik Melayu sekarang ini banyak masalah yang dihadapi. Sudah saatnya kita melakukan usaha agar karya seni kreasi baru terdorong untuk maju dan penelitian lebih lanjut untuk menyelamatkan musik Melayu dari kepunahan dan kehilangan identitas dilakukan. Dari periode awal kebangkitannya hingga sekarang, lagulagu Melayu tidak pernah luput dari pendengaran. Sampai hari ini kita masih mendengar lagu-lagu Melayu yang dinyanyikan maupun dimainkan secara instrumentalia. Tampaknya jenis musik ini tetap lestari, meskipun sepi dari kreativitas. Perkembangan musik di Indonesia yang sudah demikian maju akibat pengaruh jenis dan gaya musik Barat maupun pengenalan musik tradisi Indonesia sendiri, tidak mendorong musik dan lagu Melayu untuk ikut berkembang bersama-sama, sehingga ciptaan baru pada lagu dan musik Melayu tidak lahir. Tadinya kita berharap perkembangan musik yang terjadi di Indonesia ini dapat merangsang musik Melayu untuk ikut serta berkembang secara positif, namun ternyata bidang musik tidak menampakkan kreativitas seperti yang kita harapkan bila dibanding dengan perkembangan di bidang tari. Padahal kreativitas musisi musik Melayu bisa saja bertolak dari musik tradisi, sebagian atau sepenuhnya, dan menggunakan teknik komposisi musik Barat. Usaha demikian barangkali dapat membuahkan perspektif baru dalam dunia penciptaan.
Sebaliknya, musisi yang sudah mahir menggunakan teknik komposisi musik Barat dalam penciptaannya sebaiknya sudi melakukan reorientasi dalam hal-hal yang esensial kepada komposisi musik tradisi Indonesia. Tampaknya kreativitas seperti itu kurang ada pada musisi musik Melayu, sehingga musisi Melayu tidak melahirkan ciptaan-ciptaan baru. Berikut penulis menyarankan beberapa langkah yang ditempuh untuk pengembangan musik Melayu.
Pertama, perlu diadakan pergelaran musik tradisional untuk kepentingan apresiasi dan pengenalan oleh generasi muda, juga sebagai salah satu usaha untuk merangsang minat dalam bidang penciptaan di kalangan musisi. Kedua, institusi, lembaga, dan organisasi kesenian, baik pemerintah maupun swasta, diharapkan selalu mengadakan sayembara dalam bidang musik (tradisional dan modern) dengan hadiah yang merangsang. Ketiga, perlu dilakukan inventarisasi dan registrasi hasil karya cipta musik Melayu pada masa dahulu dan masa sekarang. Keempat, perlu mendirikan lembaga pengembangan penelitian musik/tari. Kelima, perlu menyelenggarakan seminar lagu dan tari Melayu untuk mendapatkan pedoman dasar dari keduanya. Keenam, teknik improvisasi atau gaya pembawaan lagu yang diwariskan oleh tradisi musik Melayu (seperti gerenek, tekuk, berenjut, dan sebagainya) hendaknya lebih diperhatikan dan menjadi salah satu bidang penelitian, karena hal itu merupakan bagian yang esensial dalam membawakan lagu-lagu Melayu. Ketujuh, masyarakat Melayu umumnya dan pemuka adat Melayu khususnya, diharapkan dapat berlapang hati untuk menerima nilai artistik dan estetika baru dalam karya-karya baru yang terlepas dari nilai-nilai lama atau berbeda dari yang didengar dan dilihat selama ini, karena eksperimen seperti itu juga merupakan perwujudan ekspresi baru dan merupakan sumbangan bagi khazanah dan perbendaharaan repertoar musik/gerak tari Melayu khususnya dan Indonesia umumnya.
Demikian sekilas tinjauan tentang musik Melayu di Sumatera Timur dan perkembangannya.
Daftar Pustaka
Cohen, S. J. 1956. The Modern Dance: Seven Statements of Belief.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978–1979. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Riau.
–––––––––. T.t. Monografi Daerah Riau.
Dewan Kesenian Jakarta. 1976. Festival Desember 1975. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
–––––––––. 1978. Pesta Seni 1976. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Edinburgh. 1826.
Ellfeldt, L. 1976. Dance: From Magic to Art.
Langer, S. K. 1957. Problems of Art. New York: Charles Scribner‘s Sons.
Magi, S. 1985. Tari-tarian Melayu di Beberapa Daerah di Indonesia dan Malaysia. Tugas penulisan untuk Jurusan Tari,
Fakultas Kesenian, Institut Kesenian
Mansur, T. N. A. T.t. Meninjau Beberapa Jenis Tari Melayu. Naskah tanpa keterangan.
Murgiyanto, S. 1977. “Cara Menilai Seorang Penari”. Kompas, 19 Juli 1977.
–––––––––. (Ed.). 1982. Penata Tari Muda 1982. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
–––––––––. 1985a. Penata Tari Muda 1983. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
–––––––––. 1985b. Penata Tari Muda 1984. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Sheppard, M. 1972.
Sinar, T. L. 1982. Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Seni Tari Melayu di Sumatera Timur. Makalah dalam rangka Pekan Penata Tari dan Komponis Muda Dewan Kesenian Jakarta.
–––––––––. 1970. Sari Sejarah Serdang.
Snyner, A. F. 1984. Examining the Dance Event From A World Perspective. Ceramah di Grand Salon, Renwick Gallery.
__________
Dra. Tengku Sitta Syaritsa, lahir di Perbaungan, 12 Februari 1938. Pendidikan ditempuhnya di Sindoro School di Medan (1952); SMP I Negeri di Medan (1955); SMA Prayatna di Medan (1958); Sastra Inggris di Medan (1979); dan mengikuti kuliah Dance Ethnology selama 1, 5 tahun di Amerika (UCLA).
Dia adalah dosen tidak tetap di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Selain menjadi dosen, dia juga mengajar tari Melayu di Himpunan Seni Budaya Melayu “Sri Indera Ratu”, Medan, menjadi pengurus dan anggota Himpunan Wanita Melayu Indonesia, serta menjadi anggota dan pengurus Himpunan Ratna Busana Medan. Pada tahun 1985 dia menjabat sebagai Kepala Submusik Tradisional RRI Nusantara I Medan.
Hasil karyanya adalah “Masalah Tari Melayu di Sumatera Utara”, makalah dalam seminar yang diadakan oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Utara; “Kreasi Tari Berkesinambungan”, makalah dalam seminar yang diadakan oleh BKKNI Sumatera Utara; “Merangsang Kreativitas Tari”, makalah dalam seminar yang diadakan oleh Dewan Kesenian; dan “Perkembangan Musik Melayu di Sumatera Utara”, makalah dalam seminar yang diadakan oleh Depdikbud.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau