Oleh : Bambang Purwanto
Sejarah
Tulisan singkat ini akan membahas proses dan struktur perkembangan perkebunan dan komunitasnya sejak pertengahan abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20, ketika sektor perkebunan mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan menimbulkan pengaruh yang sangat besar baik bagi negara kolonial, para pemodal besar maupun masyarakat di Indonesia. Konstruksi ini diharapkan memberi bekal untuk memahami sejauhmanakah realitas kekinian perkebunan
Awal Perkembangan
Jauh sebelum perkebunan milik para pemodal swasta Barat berkembang pesat di abad ke-19, usaha perkebunan untuk ekspor sebenarnya telah memiliki sejarah yang panjang di
Satu hal yang perlu dicatat dari beberapa studi yang telah dilakukan, negara sejak awal telah menjadi penguasa utama yang memonopoli usaha perkebunan, baik sebagai pemilik maupun sebagai pedagang hasil perkebunan. Proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh negara, keluarga kerajaan, dan para birokratnya melalui jaringan birokrasi dan institusi tradisional, sementara itu rakyat hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja dan tidak memiliki kekuatan tawar menawar untuk menentukan besar kecilnya nilai dan hasil produksi. Penguasa dan birokrasinya bahkan menentukan distribusi kebutuhan sehari-hari produsen, yang merupakan kompensasi atas keterlibatan mereka dalam proses produksi. Hal itu menunjukkan bahwa pasar bukan merupakan komponen ekonomi yang penting, baik untuk memasarkan produksi maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena birokrasi menentukan segala hal.
Di dalam usaha itu, para penguasa cenderung bekerja sama dengan orang asing daripada dengan interprenur lokal. Hal itu dilakukan untuk menangkal munculnya kelompok lokal yang mampu menyaingi kekuasaan raja karena keberhasilannya dalam bidang ekonomi. Salah satu contoh adalah kasus yang terjadi di Aceh pada akhir abad ke-16, ketika Sultan Ala’ad-din Ri’ayat Syah al-Mukammil memerintahkan pembunuhan dan perampasan harta benda para orang kaya, karena kelompok itu sangat berpengaruh dalam silih bergantinya lima orang sultan di kerajaan Aceh antara tahun 1571 dan 1589. Sejak saat itu produksi dan perdagangan lada secara eksklusif semakin didominasi oleh penguasa politik, terutama para uleebalang yang merupakan penguasa otonom atas wilayah tertentu. Sejak awal abad ke-16, perkebunan lada yang dikuasai kerajaan Aceh telah mencakup wilayah yang sekarang berada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bengkulu.
Kehadiran perusahaan dagang Barat, terutama Inggris dan Belanda pada abad XVII memperluas usaha perkebunan yang dilakukan oleh penduduk di beberapa wilayah di kepulauan Indonesia, baik sebagai bagian dari aktivitas ekonomi penguasa politik lokal maupun sebagai bagian dari politik penyerahan wajib yang berhasil ditanamkan oleh perusahaan dagang Barat, seperti yang terjadi di Ternate, Tidore, dan Ambon. Segera setelah Inggris menguasai Bengkulu, pesaing utama Belanda itu memulai usaha perkebunan, terutama lada di wilayah pantai Barat Sumatera. Sementara itu di Palembang, Jambi, dan Siak yang tidak berada di bawah kekuasaan baik Aceh, Banten maupun perusahaan dagang Barat juga berhasil mengembangkan perkebunan lada pada saat yang bersamaan.
Di Jawa, orang-orang Cina menyewa tanah-tanah desa untuk membuka perkebunan, terutama perkebunan tebu. Pada abad ke-17 perkebunan dan pabrik gula sederhana milik orang Cina sudah ditemukan di sekitar
Modal Swasta dan Berkembangnya Perkebunan Besar
Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha perkebunan di
Kebijakan yang sama tidak hanya terbatas dilakukan di Jawa. Seiring dengan ekspansi militer dan perluasan kekuasaan politik kolonial, kebijakan pembukaan perkebunan baru secara paksa ini juga dilakukan di pulau-pulau lainnya, seperti tanam paksa kopi yang dilakukan di Sumatera Barat setelah berakhirnya Perang Paderi. Penduduk Sumatera Barat yang telah mengembangkan perkebunan kopi bebas sejak abad ke-18 dipaksa harus menyesuaikan proses produksinya dengan kebijakan tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1840-an. Sebelum itu usaha pembukaan perkebunan besar dengan tenaga kerja paksa telah gagal, sehingga pemerintah menyerahkan kembali proses produksi dalam bentuk perkebunan- perkebunan kopi yang dikelola oleh keluarga namun nilai produksi ditentukan oleh pemerintah. Pembukaan perkebunan-perkebunan kopi, lada, cengkeh, dan kelapa dengan cara yang hampir sama juga dilakukan di
Seperti telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan lokal sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan dengan baik jalur birokrasi. Di samping birokrasi colonial, pemerintah colonial juga memanfaatkan birokrasi tradisional untuk menjalakan usaha perkebunan yang dikuasai oleh negara itu. Sistem Tanam Paksa di Jawa yang berbasis pada desa telah melibatkan pada pejabat lokal dari tingkat bawah sampai bupati bersama-sama controleur sampai residen untuk melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas yang berlangsung. Di Sumatera Barat para tuanku laras, sebagian penghulu, dan kepala menjadi bagian penting dari keberhasilan program itu. Di samping para birokrat kolonial, para elite lokal itu menikmati keuntungan ganda berupa manipulasi terhadap produsen dan imbalan yang diterima dari penguasa kolonial. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika para elite lokal ini berhasil membangun relasi politis dan ekonomi yang erat dengan kekuasaan kolonial, yang pada titik tertentu menimbulkan konflik dalam hubungan mereka dengan rakyatnya sendiri. Sementara itu bagi para elite yang berusaha bersikap netral seperti yang ditunjukkan oleh banyak penghulu di Sumatera Barat, kondisi ini telah menimbulkan kesulitan bagi para penghulu yang berusaha melindungi rakyatnya dengan kuatnya tekanan kolonial serta adanya kenyataan bahwa para penghulu ini juga menikmati keuntungan ekonomis dari pelaksanaan sistem tanam paksa kopi itu. Pada saat bersamaan ketika berlaku Sistem Tanam Paksa di tanah-tanah Gubernemen Jawa, sebuah perkembangan perkebunan baru yang melibatkan para pemodal swasta Barat mulai terjadi di Vorstenlanden atau Tanah Kerajaan di Yogyakarta dan
Bukti-bukti lain menunjukkan bahwa perkebunan-perkebunan besar milik swasta juga telah berkembang sejak Daendels dan Raffles menjual tanah-tanah di
Sementara itu lahan yang dikelola perkebunan gula swasta meningkat dari 332 hektar pada tahun 1875 menjadi 25.075 hektar pada tahun 1890. Jumlah perkebunan gula swasta juga meningkat dari 46 pada tahun 1875 menjadi 158, yang 24 diantaranya dimiliki oleh orang Cina pada tahun 1895. Kedudukan pemodal swasta dalam perkembangan usaha perkebunan di
Dua Lingkungan Perkebunan
Diilhami oleh tipologi yang dikemukakan oleh Clifford Geertz yang membedakan ekologi “sawah-tegalan” dan “dalam Jawa-luar Jawa”, lingkungan sosial-ekonomis dari perkebunan di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan proses perkembangan historisnya. Pembedaan ini tentu saja tidak terlalu kaku, karena beberapa ciri yang sama juga terdapat pada tempat yang berbeda. Lingkungan pertama sebagian besar terdapat di Jawa, wilayah yang penduduknya mengalami proses marginalisasi akibat sistem produksinya mengambil alih secara langsung modal produksi yaitu tanah milik desa atau pribadi dan tenaga kerja yang seharusnya digunakan oleh produsen untuk berproduksi bagi kepentingan ekonomi rumah tangga sehari-hari. Proses produksi nila, tembakau, dan tebu menggunakan tanah yang sama digunakan penduduk untuk menanam bahan makanan, khususnya padi. Sementara itu, biarpun sebagian lahan perkebunan kopi dan teh menggunakan lahan di dataran tinggi yang belum diolah, namun di banyak tempat kebun-kebun kopi dan teh milik perusahan besar swasta menggunakan tegalan penduduk dan membatasi upaya penduduk untuk membuka tegalan baru seiring dengan pertambahan penduduk dari waktu ke waktu.
Di dalam lingkungan yang pertama ini, keterlibatan langsung masyarakat lokal di dalam usaha perkebunan menjadi sangat intensif. Hampir sebagian besar tenaga kerja dipenuhi oleh penduduk setempat, kecuali di daerah tertentu yang jarang penduduknya atau dalam musim tertentu ketika tenaga kerja bebas dari luar juga banyak digunakan. Tenaga kerja tidak hanya terbatas pada laki-laki dan orang dewasa, dalam kenyataannya proses produksi juga melibatkan banyak tenaga kerja perempuan dan anak-anak. Tekanan terhadap ekonomi desa menjadi sangat besar, sehingga proses involusi seperti yang digambarkan Clifford Geertz terjadi di beberapa tempat. Bahkan kajian yang dilakukan oleh Peter Boomgard menyatrakan bahwa keterlibatan perempuan di luar sektor domestik terus meningkat seiring dengan perkembangan perkebunan.
Pada saat yang sama, penduduk juga mampu memanfaatkan keberadaan teknologi baru dan kesempatan ekonomi yang dimunculkan oleh perkembangan perkebunan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Robert Elson di Pasuruan menunjukkan bahwa disamping adanya proses involusi dan pemerataan kemiskinan pada komunitas tertentu, penduduk di beberapa wilayah bahkan mampu memanfaatkan secara maksimal irigasi yang dibangun bagi perkebunan tebu untuk meningkatkan produksi padi mereka, sehingga daerah seperti Lumajang menjadi salah satu penghasil padi utama di Jawa Timur. Di tempat lain, penduduk merespon secara positif kesempatan ekonomi baru yang berkaitan dengan perkembangan perkebunan, seperti membuka pasar dan membuat berbagai barang sebagai industri rumah tangga, baik barang yang dibutuhkan oleh perkebunan maupun oleh para pekerjanya. Sebelum lori dan kereta api menjadi alat transportasi utama, penduduk di sekitar perkebunan juga memanfaatkan ternak mereka untuk memenuhi jasa angkutan yang diperlukan oleh perkebunan.
Lingkungan kedua lebih banyak terdapat di perkebunan-perkebunan di Sumatera dan
Kondisi ini menempatkan posisi politis para elite lokal menjadi seolah-olah lebih penting, dan di beberapa daerah para elite itu bahkan mengalami peningkatan status dari sekedar “kepala mukim”, “kepala kampung”, atau kepala wilayah menjadi raja atau sultan, yang menurut konsep state domain berkuasa atas tanah yang ada. Keadaan itu juga menimbulkan distorsi dalam konteks politik, ketika satuan unit kekuasaan dari para kepala mukim, kepala kampung, atau kepada wilayah yang mengalami mobilitas sosial semu itu tiba-tiba dipahami sebagai kerajaan dalam pengertian negara. Padahal secara teoretik konseptual, kedudukan para elite itu paling tinggi hanya dapat disetarakan dengan bupati. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tradisi historiografi
Berbeda dengan kenyataan para elite di Jawa yang memiliki kemampuan mengerahkan tenaga kerja melalui jaringan tradisionalnya untuk memenuhi kepentingan perkebunan, para elite di lingkungan kedua itu ternyata tidak memiliki kekuasaan untuk mengerahkan tenaga kerja penduduk yang ada di bawah kekuasaannya. Hal itu tentu saja memperkuat pendapat bahwa sesungguhnya para elite itu tidak lebih dari elite semu, yang menempati posisi tersebut karena kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang ingin melegalisir pemindahan hak atas tanah adat kepada perusahaan perkebunan melalui prinsip state domain. Kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja dari luar, sementara jarang sekali penduduk penduduk di sekitarnya yang bekerja sebagai buruh. Pengerahan tenaga kerja luar ini dapat dijelaskan karena rendahnya tingkat populasi di sekitar lokasi perkebunan baru itu dan penduduk setempat sudah memiliki kesempatan ekonomi alternatif.
Di Sumatera Timur misalnya, kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja kontrak yang berasal dari Cina, yang pada awal abad ke-20 mencapai 2/3 dari seluruh pekerja yang ada. Pada akhir dekade pertama abad ke-20, jumlah pekerja kontrak yang berasal dari Jawa terus meningkat sehingga jumlah pekerja Cina di Sumatera Timur menurun lebih dari separuh. Peningkatan jumlah kuli kontrak dari Jawa itu juga mulai merubah komposisi buruh yang bekerja di perkebunan menurut jenis kelamin dan komposisi umur, yang menunjukkan semakin banyaknya pekerja wanita dan kemudian anak-anak. Selain melalui sistem kontrak, kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan di beberapa tempat seperti Jambi,
Kebutuhan tenaga kerja dari luar yang besar itu kemudian menarik para pendatang dari berbagai wilayah ke sekitar perkebunan, baik sebagai pekerja maupun bukan. Hal ini berbeda dengan lingkungan pertama yang sudah dihuni oleh penduduk ketika perkebunan dibuka, kehadiran pendatang sangat terbatas. Jika pun ada, kedatangan pendatang itu hanya bersifat musiman, dan hanya sedikit yang memutuskan untuk menetap. Namun di lingkungan tipe kedua, daerah sekitar perkebunan dipenuhi oleh para pendatang yang menetap. Seperti yang terjadi di banyak tempat di Sumatera Timur dan Lampung, penduduk pendatang yang berasal dari luar lingkungan adat setempat menjadi lebih dominan. Pada awalnya mereka membuka lahan-lahan yang ada di luar tanah konsesi perkebunan baik untuk pemukiman maupun lahan produksi. Dalam perkembangan waktu, para pendatang ini mulai mengolah lahan-lahan yang telah ditetapkan sebagai tanah konsesi perkebunan, termasuk di lahan-lahan produksi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menimbulkan persoalan yang kompleks dalam masalah pertanahan antara perkebunan dengan masyarakat.
Di dalam konteks yang lain, dua lingkungan perkebunan ini dapat dilihat dari kualitas ekonomi komunitas perkebunan. Eksploitasi, diskriminasi, kemiskinan, dan penderitaan merupakan cerita utama yang ada di sekeliling masyarakat perkebunan di
Sebuah kajian yang paling akhir tentang perkebunan pada masa kolonial menunjukkan telah terjadi peningkatan kualitas non fisik seperti kesehatan dan perlakukan kasar para mandor dan tuan kebun yang semakin berkurang, namun pendapatan riil para pekerja di Sumatera Timur tidak mengalami perubahan yang berarti sejak awal pembukaan perkebunan sampai tahun 1920. Sampai tahun 1910 sebagai contoh, setiap pekerja laki-laki Jawa menerima 30 sen per hari, dan jumlah ini meningkat 60% pada tahun 1920. Kenaikan ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kenaikan biaya hidup, khususnya kenaikan harga beras yang juga mencapai 60%. Selain itu biarpun angka kematian pekerja turun pada tahun 1910-an dibandingkan dengan kondisi di tahun-tahun awal pembukaan, dalam kenyataannya fluktuasi angka kematian ini tetap menunjukkan kecenderungan yang tinggi mencapai 20 per 2.000 orang, seperti yang terjadi sepanjang dekade kedua abad ke-20. Gambaran yang serupa juga terdapat di berbagai perkebunan besar lain milik pemodal swasta di
Gambaran yang agak berbeda tentang perkebunan akan didapat jika komunitas perkebunan dilihat sebagai sebuah totalitas. Perkebunan tidak hanya berisi para pekerja yang menderita melainkan juga pekerja yang menikmati keuntungan finansial yang sangat besar dari hasil perkebunan itu. Ketika banyak pekerja yang diberhentikan, perusahaan merugi, dan para pemegang saham tidak menerima deviden pada masa depresi ekonomi tahun 1930-an, sebagian pekerja perkebunan yang berada pada tingkat tertentu masih menikmati tantiem dalam jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata penghasilan penduduk dan pegawai pemerintah atau swasta umumnya. Ironisnya, warisan kolonial ini ternyata tidak hilang ketika
Pada masa pascasaproklamasi kemerdekaan, berbagai fasilitas dan sistem yang menguntungkan para elite perkebunan terus dipertahankan. Dalam konteks ini, kemerdekaan dan berakhirnya kolonialisme dapat dikatakan tidak mempengaruhi keberlanjutan eksploitasi dan ketimpangan yang telah menjadi ciri komunitas perkebunan pada masa-masa sebelumnya. Bagi sebagian besar komunitas perkebunan, kemerdekaan hanya sebuah jargon politik yang tidak pernah menjadi bagian dari realitas kehidupan mereka sehari-hari. Seperti pada masa-masa sebelumnya, akses mereka terhadap tanah juga terbatas, kalau tidak mau disebut tertutup. Oleh karena itu tidak mengherankan jika konflik pertanahan tetap merupakan sesuatu yang laten dalam komunitas perkebunan pascaproklamasi kemerdekaan, dan bahkan dalam beberapa hal menjadi lebih buruk. Sistem jaluran yang dipraktekkan di perkebunan Sumatera Timur pada masa kolonial yang memungkinkan adanya akses terbatas terhadap tanah bagi para buruh sebagai contoh, ternyata tidak berlanjut dengan reformasi agraria yang memberi pengakuan hak atas tanah kepada para penggarapnya ketika
Hal itu menunjukkan dua lingkungan di atas tidak hanya telah membentuk sebuah struktur melainkan juga sebuah kultur komunitas perkebunan pada masa yang secara politik berbeda itu. Hampir sama dengan cerita tentang masyarakat miskin perkotaan di Amerika Latin yang telah terjerat oleh culture of poverty seperti yang dikemukakan oleh Oscar Lewis, secara historis komunitas perkebunan di Indonesia juga telah menciptakan struktur sekaligus kultur perkebunan yang sangat sulit untuk diubah. Baik para pekerja kuli maupun pekerja mandor dan pekerja menejer telah terjerat dalam sebuah lingkaran setan atau tejebak di dalam kotak Pandora, yang mereka sendiri tidak tahu atau pura-pura tidak tahu pangkal dan ujung serta cara mencari jalan keluarnya. Jikalau terjadi perubahan, maka perubahan itu tidak terjadi secara struktural melainkan hanya parsial dan tidak berkelanjutan. Mereka yang tertindas saat ini harus menghadapi kenyataan historis bahwa nenek buyut mereka dulu juga tertindas biarpun para penindas saat kemudian ternyata bukan keturunan para penindas dahulu.
Perkebunan sebagai sebuah komunitas tetap hidup dalam realitas yang sama ketika komunitas lain telah berhasil memutuskan identitas mereka dari masa lalu yang tidak menyenangkan itu. Persoalannya tidak lagi dapat dijelaskan dalam konteks ekploitasi kapitalis terhadap proletar melainkan produk dari upaya untuk membangun hegemoni kultural dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomis yang tidak mengenal batas kelas, aliran atau konsep-konsep lain yang setara. Interelasi yang melibatkan banyak variabel telah menghasilkan orang tertindas dan penindas yang hampir-hampir permanen tanpa memerlukan terus hadirnya colonized dan colonizer.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana cara memutuskan diri dari belenggu masa lalu itu? Tentu saja tidak ada resep instan yang dapat digunakan. Salah satu cara adalah memahami secara benar perkembangan historis masyarakat perkebunan dari masa lalu hingga saat ini sebagai sebuah keberlanjutan struktural maupun kultural. Jika pemahaman itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi komunitas perkebunan untuk keluar dari warisan sejarah yang hanya menyenangkan segelintir anggotanya saja dan menyengsarakan sebagian besar yang lain.
Penutup
Sebelum tulisan ini diakhiri, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa pembicaraan tentang perkebunan jarang sekali memperhatikan masalah perkebunan atau lebih tepat kebun rakyat. Berdasarkan penelitian terhadap sejarah ekonomi perkebunan rakyat di Jawa maupun di pulau-pulau lainnya pada masa kolonial, terdapat sebuah alur perkembangan yang berbeda dibandingkan dengan sejarah perkebunan besar. Jika selama ini dikatakan bahwa para pekebun kecil itu tidak rasional dalam mengusahakan perkebunannya dan perkebunan kecil juga tidak mampu bersaing dengan perkebunan besar, sejarah perkebunan karet rakyat di Kalimantan, Palembang, Jambi, Sumatera Timur, dan Kalimantan Selatan misalnya memberi gambaran yang bertolak belakang.
Dalam banyak kenyataan memang kebun yang memiliki struktur dan sistem yang berbeda itu tidak mampu mendukung perubahan ekonomi secara structural. Namun satu hal yang sering dilupakan bahwa hal itu bukan karena kebun tidak kompetitif secara ekonomis, dan komunitas kebun tidak mampu menghasilkan keputusan-keputusan ekonomi yang rasional. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan terbukti bahwa kebun merupakan korban dari perkebunan ketika para pemilik modal, penguasa dan kelompok-kelompok kepentingan luar lainnya ikut campur dalam proses produksi dan pasar. Kebun secara sistematis mengalami marginalisasi untuk membuka kesempatan kepada para pemilik modal besar atau untuk membangun citra politik penguasa. Padahal seperti juga pekarangan, kebun memiliki potensi ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat. Sayangnya, historiografi Indonesia tidak memberi tempat yang layak kepada historisitas kebun dan pekarangan berserta komunitasnya yang sebenarnya mampu menghadirkan rakyat sebagai “pahlawan”, namun sebaliknya memberikan ruang yang sangat besar kepada perkebunan yang hanya menggambarkan rakyat sebagai korban dan “pecundang” dan secara langsung sekali lagi melegitimasi peran penting orang asing dalam sejarah Indonesia di masa kolonial seperti yang menjadi ciri utama kolonialsentrisme. [db]
Dafar Pustaka
Bambang Purwanto, “The Economy of Indonesian Smallholder Rubber, 1890s-1940”, J.Th. Lindblad, ed., Historical Foundation of a National Economy in
Booth, Anne, Agricultural Development in
Booth, Anne et al., ed., Sejarah Ekonomi
Breman, Jan, Taming the Coolie Beast.
Elson, R.E., Javanese Peasant and the Colonial Sugar Industry. Impact and Change in an Easr Java Residency, 1830-1940.
Houben, Vincent J.H., “Private Estates in Java in the Nineteenth Century. A Reaprisal”, J.Th. Lindblad, ed., New Challenges in the Modern Economic History of
Houben, V.J.H., Thomas Lindblad, et al., Coolie Labour in Colonial
Mubyarto et al., Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan.
Pelzer, Karl J., Toean Keboen dan Petani. Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947.
---, Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani.
Sartono Kartodirdjo & Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia.
Soegijanto Padmo, Tobacco Plantations and Their Impact on Peasant Society and Economy in
Van der Eng,
Sumber : http://sejarah.fib.ugm.ac.id