Questioning the Definition of Astrology

By: Nicholas Jacob

Everyone has a hard time justifying astrology as a science due to the wide variations that exist within the world of humans. The definition of astrology is an ancient system of divination using the positions of the planets, moon, and stars. According to astrology, the celestial bodies exert specific energies that influence people and events. These influences may be determined by mapping positions in the sky at various times, but is still regarded today as a huge speculative issue due to the deep complexities and misunderstanding associating the field. What if the powers of Astrology had a deeper meaning, which stretched into the spiritual world and the ethereal planes of existence, including the very top-tier planes of power. Astrology is widely interpreted by every human on earth, but only a certain few have a defined ability to understand anything about it. A fair amount of people define astrology as “nonsense” and “childish” through lack of understanding. These are of course the usual human reactions to something we can’t understand.

How are the powers of astrology currently portrayed to the world? Currently, people manifest numbers and equations on planetary alignments, star locations, the apparent divine powers the sun has and also the moon. Their conclusion of what is the horoscope is usually the external scripture you will read. While largely amusing, holds little scientific merit. Astrology needs to be valued more than just this. It is a concept to be considered for all walks of life; it holds bearing to the time continuum of the past, present and future settings on earth.

The human race has existed for a great deal of time now and has since evolved heavily in appearance, behaviour, intelligence, structure, strength, ability, perception and so much more. Some people consider the present to hold the “maximum amount of people time has ever seen” but again we can only speculate about such mysteries told of the highly advanced civilization that apparently walked earth (theosophists define it as Atlantis, the real society and cultural name is unheard) and the age old question of just how long has the world existed? The documented time that has existed shows the definitive lives of several billion people, all born under the same planetary rotation of the earth, which is 365 days or 52.177 weeks. This universal pre-set time fixture of 365 has dated and cycled existence accordingly throughout several millions of years, and in that time has been rotating humans. Currently the study of astrology and namely Astrologists are people who predict the future by the positions of the planets and sun and moon. They do this based on their own interpretation and creativity, which can be as inventive as the person likes.

Astrology to some is just a shallow fabric of life to help them feel better by reading what is known as “Powerful wording” written by novelists and professional writers. It is widely under-appreciated the similarities that hold true in the definition of each human’s star sign. In that I mean for every 500 people born in August for example, on the exact same date, hold a very strong connection to each other in terms of their memories, philosophies, beliefs and behaviour. All things which astrology boasts, these are relations not understood by many. It is in that key of understanding and spiritual-thinking that makes people wonder how many humans were born at the exact same moment in time you were, only altering the year. If we were to find that spiritual connection, just how much like that person would we be? If you were to consider sun-sign astrology ONLY, this would be fallible due to the alteration of the physical plane of life, which is earth’s galaxy.

If you were to consider all aspects and relations, the planes of existence, powers to be and the akashic records, these spiritual points all connect to the “collective consciousness” Carl Jung was referring to. The collective consciousness is only Jung’s interpretation and hence a vague reference to the gateways he portrayed. Jung attempted to show the connections between dreams, anthropology and the dualism of life to astrology. His work always showed these links but the people could never grasp the concept of them, given a large amount of humans will only work on what they perceive to be fact-based evidence. The creation of humans defined by scientists is a great example of what can be construed as myth or fact. Physical items “prove” evolution to be the definitive, such as bones and relics discovered at different points in time. We believe this to be the truth because we perceive it based on our senses, which is as far as some people can stretch their mind.

This article is making a bold question to the beliefs of “Astrology”, the purpose intended is to get people thinking about the world and the deeper meanings it has to offer. Consider the relations, sources and relevant knowledge available to you and you’ll always keep an open mind to the question that everyone asks. “What is life”.

Nicholas Jacob hails from Cambridge, United Kingdom and has contributed this article for Universal Psychic Guild. You can find this psychic article at the site.

Source:
http://www.ArticleBiz.com

Kesenian Dan Penyiarannya: Pembentukan Platform Nasional

Oleh : Prof. Dr. Edi Sedyawati

(Pusat penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia)


Konsep kebangsaan yang menggerakan nasionalismen Indonesia pada “Penggerakan Nasional” di zaman colonial memang berawal dari para pemikir dan pemimpin politik. Namun sebagian besar dapi para pemimpin dari para pemimpin pergerakan nasional itu adalah adalah juga orang-orang yang mempunyai kesadaran budaya. Kebudayaan bahkan sering juga digunakan sebagai ‘penggerak’ khalayak agar menjadi kebutuhan bangsa Indonesia ini untuk melepaskan diri dari belengu penjajahan dan mencapai kemerdekaan. Contoh yang paling jelas adalah pada penggalian khasanah sastra klasik untuk menemukan motto bhineka tunggal ika, yang dari konteks keagamaannya dialih-tafsirkan ke dalam konteks nation building, pembentukan persatuan atas dasar keanekaragaman suku bangsa dan pengalaman sejarahnya masing-masing.


Inti kebudayaan itu, yaitu bahasa sebagai sarana perumusan gagasan-gagasan, telah deklarasikan dengan lantang pada “SUmpah Pemuda” 1928 bahwa bangsa ini mempunyai satu bahasa persatuanyaitu bahasa Indonesia. Deklarasi tentang bahasa itu pada gilirannya menggulirkan karya –karya seni yang menggunakan bahasa tersebut, yaitu baik karya sastra modern dalam berbagai format (prosa, puisi, drama), maupun libretto atau ‘lirik’ bagi lagu-lagu itu dalam berbagai ragam, mulai dati “lagu kebangsaan” Indonesia raya sampai kebanyak lagu keroncong, kemudian apa yang dikenal sebagi “lagu-;agu perjuangan”, sampai ke langgam, seriosa, dan terakhir berbagai varian pop. Selanjutnya bahasa Indonesia itu mkengalami perkembangan tersendiri (baik pada aspek ketata bahasaan maupub bentukan dan serapan kata-kata baru) dalam konteks kehidupan seluruh bangsa, dan tidak lagi dibatasi pada etnisitas Melayu, di mana yang disebut terakhir ini masih tetap hidup dalam batasan budayanya yang khas.


Kesenian yang tadinya tumbuh dalam lingkup masing-masing kebudayaan etnik, setelah ‘deklarasi’ kebangsaan Indonesia dalam rangka Pergerkan Nasional menjadi mempunyai platform baru, yaitu suatu platform nasional yang trans-etnik. Suatu komponen yang bermakna dalam perkembangan pada platform nasional itu adalah kesenian yang diperkenalkan oleh para kolonialis, yaitu bentuk-bentuk kesenian yang awal pembangunannya terjadi di Eropa. Contoh yang paling mencolok pengaruhnya, artinya yang paling tuntas diserap untuk menumbuhkan suatu ‘korpus’ ungkapan seni yang dapat dikatakan “nasional” dan berada di luar pembatasan kesuku-bangsaan, adalah: (1) Seni sastra modern dalam gentre puisi 9soneta dan puisi bebas), roman/novel, dan sastra drama; (2) Seni patung modern yang ‘bebas’ atau lebih ke sifat naturalistik, seni lukis cat minyak di atas kamvas, dan seni grafis; (3) Seni musik dengan system nada diatonic; (4) Seni film. Keempat ranah berungkap seni itu serta merta bergerak pada flatfrom nasional, dan produksi serta penikmatannya melintas di atas perbedaan etnik. Dalam bidangbidang seni itu telah terjadi suatu mobilisasi potensi serta sarana, dan seringkali juga bergerak pada jalur pembangunan institusi. Institusi-institusi yang berbentuk untuk mewadahi gerak di bidang-bidang seni itu adalah dalam bentuk organisasi pendidikan (sekolah, kursus, himpunan professional, maupun organisasi ‘pemasaran’ (dalam arti luas, termasuk upaya diseminasi tanpa tujuan komersial).


Perkembangan sastra amat didukung oleh peranan yang kuat dari institusi penerbitan, baik pada pihak pemerintah maupun swasta. Pada akhir masa colonial pemerintah jajahan Belanda membentuk badan penerbit bernama Volkslectuur, yang nama Indonesianya alah Balai Poestaka / Balai Pustaka, yang tujuannya adalah menerbitkan buku-buku untuk meningkatkan pengetahuan “rakyat”. Hal ini sejalan dengan apa yang dinamakan etische politiek (kebijakan etik) pemerintahan jajahan, yang diimplementasikan dengan pendirian sekolah-sekolah untuk penduduk Indonesia. Di samping terbitannya berupa buku-buku pengetahuan populer, Volkslectuur juga menerbitkan karya-karya sastra. Karya-karya tersebut dalam bahasa Indonesia, dan pengarang-pengarang awal yang muncul melalui media tersebut disebut sebagai “Angkatan Balai Bahasa”. Di antara mereka terdapat Abdul Muis, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Mas Marco Kartodikromo, Merari Siregar, dan lain-lain. Sesudah itu muncul angkatan baru pengarang yang lebih tegas berorientasi padaa perkembangan kebudayaan modern. Mereka menyebut diri “Angkatan Pujangga Baru”, yang antara lain terdiri dari Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Armijn Pane,dan lain-lain. Nama angkatan ini mengikuti nama majalah bernama Pujangga Baru, yang ditrintis dan dipimpin oleh para satrawan tersebut, baik angkatana Balai Pustaka maupun Pujangga baru, dalah bahasa Indonesia, dan bukan lagi bahasa Melayu seperti yang digunakan dalam karya-karya sastra Melayu tradisional. Masalah yang dikemukakan dalam karya-karya sastra baru itu pun adalah masalah-masalah ‘masa kini’ di masa itu, dan bukan lagi tema-tema epik, legenda, dan lain-lain seperti yang lazim terdapat dalam sastra Melayu. Di antara masalah ‘masa kini’ itu menonjol masalah pergerakan nasional dan kritik terhadap tradisi-tradisi yang mengekang . Tema kebangsaan terdapat misalnya dalam Surapati dan Robert Anak Surapati karya Abdul Muis, Student Hijo dan rasa Merdika karya Mas Marco Kartodikromo, Tanah Air dan Indonesia Tumapah darhku karya Muhammad Yamin, Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana, Buiten Het Gareel karya Suwarsih Djojopuspito, dan lain-lain, sedangkan tema mempertanyakan tradisi yang mengekang ditunjukan oleh antara lain Salah Asuhan karya Abdul Muis, dan Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Semua karya itu, karena disiarkan melalui media penebitan umum, sedangkan khalayak Indonesia sudah pula semakin terdidik yang semakin terasah pula rasa nasionalisme.


Demikian pula yang terjadi pada masa berikutnya, yaitu masa perjuangan kemerdekaan yang ditandai oleh sejumlah perlawanan bersenjata terhadap kaum penjajah, karya-karya sastra Indonesia modern pun mendukung suasana umum di mana rasa kebanggaan dan kesadaran bela Negara semakin merata terdapat pada warga masyarakat Indonesia. Pada tahap itulah lahir sastra “angkatan 45”, dimana di dalamnya terdapat terdapat sastrawan-sastrawan seperti Chairil Anwar, drus, Usmar Ismal, Mochtar Lubis, Asrul Sani, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain. Karya-karya mereka mencerminkan semangat maupun situasi-situasi di masa perjuangan kemerdekaan itu. Di antara karya-karya yang memberikan kesan dalam mengenai suasana batin perjuangan kemerdekaan itu dapat disebut antara lain puisi Kerawang-Bekasi karya Chairil Anwar, cerpen Surabaya karya Idrus, dan dua jilid prosa berjudul Mereka yang dilumpuhkan karya Prmeodya Ananta Toer.


Di samping melalui media cetak. Penyajian sastra juga dikumandangkan melalui radio. Pada masa awal kemerdekaan itu berarti hanya oleh Radio Republik Indonesia, atau radio-radio ”gelap”, yaitu yang dipancarkan oleh para pejuang di masa pendudukan oleh tentara asing. Sastra yang disiarkan melalui radi terutama yang berupa sandiwara radio. Dapat pula digolongkan ke dalam sastra lisan (bermedia) adalah siaran-siaran seperti Obrolan Pak Besut yang dipancarkan dari Yogyakarta. Isinya masalah-masalah aktual, khususnya dalam ranah sosial-kultural-politik.


Dalam bidang seni rupa, masih dalam masa penjajahan Belanda, para seniman seni rupa telah mendirikan organisasi yang dinamakan Persatuan ahli-ahli Gambar Indonesia (PRESAGI) pada 23 Oktober 1938. Bacaan dan informasi mengenai perkembangan seni rupa modern di Eropa mengilhami para seniman seni rupa Indonesia untuk bergerak mengembangkan seni rupa Indonesia modern. Pedoman PERSAGI adalah : bahwa karya seni (rupa) adalah ungkapan pribadi seorang seniman, dan bahwa karya seni harus mengekspresikan pandangan budaya yang menandai suatu bangsa. Suasana politik pada masa pergerakan nasional, dorongan untuk secara dinamis menanggapi situasi-situasi aktual melalui karya, serta keyakinan akan perlunya sistem pendidikan nasional (sebagaimana dikembangkan oleh Taman Siswa pada waktu itu) sangat berpengaruh dalam gerak langkah PERSAGI. Perhimpunan ini bahkan juga menyediakan flatform bukan hanya untuk para seniman seni rupa melainkan juga para sastrawan, aktor, jurnalis dan politisi untuk saling berinteraksi. Perhimpunan ini kemudian dibubarkan pada tahun 1942 olh penguasa pendudukan Jepang. Pada tahun itu juga dibentuk POEUTRA (Poesat Tenaga Rakjat) yang dipimpin oleh Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mansoer, dan bagian kebudayaannya oleh sudjojono dan affandi. Tujuan organisasi ini adalah mengembangkan nasionalisme dan mencegah penggunaan seni untuk propaganda Jepang. Maka organisasi ini dibubarkan oleh penguasa pendudukan Jepang pada tahun 1944. Sementara itu penguasa Jepang membentuk Keimin Bunka Shidoso, suatu ”pusat kebudayaan”, pada tahun 1943. Bidang-bidang yang diurus dalam organisasi ini meliputi sastra, musik, tari, drama, film dan seni rupa. Bidang seni rupa dipegang oleh Agus Djaja, yang sebelumnya mengetuai PERSAGI[1].

Sebagaiamana dalam bidang sastra dan seni rupa, bidang-bidang senia lain yang ’diilhami’ seni dari Eropa, dalam hal ini musik, teater, dan film, juga tumbuh langsung dalam bingkai ke-Indonesia-an. Di antara pencipta lagu yang besar peranannya dalam menyuburkan nasinalisme pada khalayak luas adalah: Wage Rudolf Supratman dengan lagunya Indonesia Raya yang kemudian dinyatakan sebagai lagu kebangsaan Indonesia; Cornel Simanjutak dengan lagu antara lain Maju Tak Gentar, O Angin, Citra, Mekar Melati; Ismail Marzuki dengan karya a.l. Halo-halo Bandung dan Rayuan Pulau Kelapa; dan Kusbini dengan karya antara lain Bagimu Negeri dan Keroncong Sapu Lidi[2]. Mengenai lagu terakhir itu Kusbini pernah bertutur bahwa Bung Karno menganggap liriknya ampuh, yaitu dengan menbadingkan kekuatan sapu lidi dengan kekuatan persatuan bangsa. Lidi satu persatu mudah dipatahkan, tetapi yang terikat jadi sapu tidak mudah dipatahkan[3].


Sarana penyaiaran melalui radio amat besar peranannya dalam membuat lagu-lagu Indonasia baru itu berlangsung ’dimiliki’ oleh boleh dikatakan seluruh masyarakat. Pemacuan minat ke arah penciptaan dan penikmatan lagu-lagu Indonesia itu pernah dilakukan pula melalui program pemilihan Bintang Radio yang diselenggrakan oleh RRI[4], dan mulai dari tahap seleksinya disiarkan melalui radio. Seperti halnya melalui pidato-pidato politik, terutama oleh Bung Tomo dan Bung Karno, radio pun berperan besar dalam menggalang rasa kebangsaan. Bahan siaran musik pun didukung oleh orkes-orkes ’in house’ (”orkes studio simfoni” untuk musik diatonik, serta orkes-orkes karawitan studio, yang khususnya dibentuk di studio RRI Surakarta, Yogyakarta, dan Jakarta).


Perkembangan teater modern pun langsung berada di platform nasional, karena bahasa yang digunakan bahsa Indonesia dan kaidah teaternya mengikuti perkembangan di Eropa, dan tidak merupakan kelanjutan dari seni teater tradisi manapun di Indonesia. Sejak tahun1925-an teater seperti itu berkembang, dengan pasokan naskah-naskah drama dari para sastrawan Indonesia sendiri seperti Rustam Effendy, Sanusi Pane dan Armijn Pane pada awalnya, dan kemudian disusul para penulis naskah drama seperti Utuy T. Sontani, Usmar Ismail, Emil Sanosa, Kirdjomuljo dan Nasjah Djamin yang banyak menggeluti jiwa kebangsaan yang baru tumbuh[5]. Ada pula karya-karya sastra drama asing (seperti oleh Shkespeare, Albert Camus, Federico Garcia Lorca, Athurt Miller, dan lain-lain) yang diterjemaahkan dan diaminkan di Indonesia.


ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film) di Yogyakarta dan ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) di Jakrta adalah perguruan-perguruan tinggi pertama di Indonesia yang mengajarkan seni teater dan itu mereka sajikan untuk khalayak terdidik di kota masing-masing. Dari kedua perguruan itu muncul beberapa tokoh teater yang kemudian mengembangkan perkumpulannya sendiri. Maka, tahap selanjutnya dalam perkembangan teater nasional Indonesia adalah melalui munculnya perkumpulan-perkumlan. Di Bandung terdapat Studiklub Teater Bandung yang didirikan tahun 1958 dipimpin Jim Lim dan kemudian Suyatna Anirun. Di Jakarta terdapat Teater Populer pimpinan Stepe Lim (: Teguh Karya) yang antara 1961 dan 1972 menjadi ketuaSeksi Seni Budaya dari Hotel Indonesia. Di Yogyakarta didirikan Bengkel Teater pimpinan W.S Rendra pada tahun 1967. Suatu kelompok teater bernama Teater Kecil didirikan di Jakarta pada tahun 1968, dipimpin oleh Arifin C Noer. Salah seorang anggota Bengkel teater, Putu wijaya kemudian menidirikan grup teater sendiri di Jkarta pada tahun 1977, dinamakan Teater Mandiri[6]. Setelah itu masih muncul berbagai grup teater di berbagai kota besar. Yang patut menjadi perhatian adalah bahwa dalam produk-produk pementasan mereka selalu ada, sedikit atau banyak, unsur-unsur estetik yang dipetik dan diolah dari khasanah seni ungkap teater tradisi: bisa ceritanya, bisa karakterisasinya, bisa kostumnya, bisa garapan tuturnya, dsb. Tradisi yang diacu itu bisa dari mana saja: Bali, Jawa, Cirebon, dll. Sementara itu pendekatan ’kontemporer’ dalam arti pasca-modern.


Seni film semula banyak digeluti oleh seniman-seniman dengan latar pendidikan atau pengalaman teater. Cerita-cerita yang diangkat diambil dari berbagai sumber: kehidupan masa kini, legenda, maupun cerita-cerita fiksi dengan latar sejarah tertentu. Semua karya film bersifat ’nasional’, tak ada yang ’lokal’ atau kedaerahan.


Perkembangan seni tari di platform nasional agak berbeda dengan bidang-bidang seni yang lain, yang sedikit banyak bertumpu pada suatu perkembangan terdahulu di luar Indonesia. Tari Ballet misalnya, tak pernah menjadi semacam ’tari dasar’ di Indonesia, tidak seperti musik diatonik menjadi dasar bagi suatu perkembangan musik dalam lingkup nasional. Kenasionalan di bidang seni tari terdapat pada ranah saling kenal, saling mengapresiasi, dan untuk karya-karya tertentu saling mengambil elemen secara lintas-etnik. Di samping itu pendekatan berkarya secara ”Modern Dance” ataupun ”Contemporary Dance” menjadikan karya-karya tari terbaru pun sekaligus masuk di platform nasional.


Acuan Cepat

McGlynn, John H. (Editor). 1998. Language and Literature. Volume 10 dari seri Indonesian Heritage. Editions Didier Millet, Buku Antar Bangsa.

Sedyawati, Edi (Editor). 1998. Performing Arts. Volume 8 dari seri Indonesia Heritage. Editions Didier Millet, Buku Antar Bangsa.

Soemantri, Hilda (Editor). 1998. Visual Art. Volume 7 dari seri Indonesia Heritage. Editions Didier Millet, Buku Anar Bangsa.



[1] Catatan tentang PERSAGI, POETRA, dan bidang seni rupa dalam Keimin Bunka Shidoso oleh Kusnadi dalam SOemantri 1998: 50-53.

[2] Periksa Victor Ganap dalam SEdyawati 1998: 122-123. Ke dalam deretan lagu-lagu berjiwa kebangsaan itu dapat ditambahkan Ibu Kita Kartini karya W.R. Supratman, Hari Merdeka oleh Muntahar, Satu Nusa Satu Bangsa oleh L. Manik, Sepasang Mata Bola dan Selendang Sutra karya Ismail Marzuki.

[3] Penuturan Kusbini kepada penulis, sekitar tahun 1973.

[4] Pada masa pemerintahan dipimpin oleh Presiden Soekarno. Kemudian, di masa Orde Baru program ini terhenti, mungkin karena secara tidak langsung tersaing oleh radio-radio swasta yang kemudian banyak bermunculan dan mendapatkan popularitasnya.

[5] Saini K.M, dalam Sedyawati 1998: 103.

[6] Lihat Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam Seyawati 1998: 104-107.


Sumber:

Makalah disampaikan dalam Diskusi dan Pameran 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Lintas Sejarah. Bandung, 11-13 Agustus 2005.

Refleksi Sistem Religi Pada Peninggalan Megalitik Di Tana Toraja (Studi Etnoarkeologi)

Oleh: Muhammad Nur, Universitas Hasanudin

A. Pendahuluan
Dalam arkeologi, pengertian megalitik telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang pada awalnya mengacu kepada pengertian secara etimologis, yaitu mega berarti besar dan lithos berarti batu (Soejono, 1984:205). Dengan demikian pengertian secara etimologis mencakup suatu budaya yang terbuat dari batu-batu besar. R. von Heine Geldern (1945:149) dalam penelitiannya terhadap budaya megalitik di Asia Tenggara, mengemukakan suatu pengertian bahwa budaya megalitik selalu berkaitan dengan pemujaan terhadap arwah leluhur (ancestor worship). Pengertian ini merujuk pada bangunan megalitik yang selalu dihubungkan dengan maksud tertentu yang berkaitan dengan alam kubur.

Pendapat Geldern (1945:149) meluaskan pengertian kebudayaan megalitik pada bentuk dan fungsinya. Dalam perkembangan kajiannya, pengertian megalitik yang berdasarkan pada bentuk dan fungsi (batu-batu besar sebagai sarana pemujaan), tampaknya tidak merepresentasikan keadaan yang sesungguhnya. Akhirnya F.A. Wagner (1962 :72) memberikan pendapat yang kemudian dipakai sampai sekarang yaitu konsep megalitik sebenarnya bukan hanya mengacu pada batu-batu besar, karena batu kecil bahkan tanpa monumen sekalipun, sesuatu dapat dikatakan berciri megalitik apabila hal tersebut didasarkan pada maksud dan tujuannya berkaitan dengan pemujaan arwah leluhur. Pengertian tersebut memperluas cakupan bahasan tentang kebudayaan megalitik yang diarahkan pada sistem kepercayaan.

Di Indonesia, dari hasil penelitian dapat diketahui beberapa bentuk peninggalan megalitik seperti dolmen, menhir, teras berundak, arca megalitik, tahta batu, altar batu, lumpang batu, batu dakon, batu bergores, susunan temu gelang dan berbagai bentuk penguburan seperti peti batu, bilik batu, waruga, kalamba, sarkopagus, liang batu, batu pahat (Soejono, 1984:205-238). Hal yang membuat kebudayaan ini menarik karena bentuk-bentuk monumen tersebut selalu menunjukkan perbedaan bentuk dan fungsi pada setiap culture area.

Salah satu daerah di Indonesia yang masih melanjutkan tradisi megalitik adalah suku Toraja (Heine Geldern, 1945:129, Soejono, 1984:304-312) di Sulawesi selatan. Daerah ini kurang populer sebagai ladang penelitian arkeologi sehingga informasi tentang peninggalan budayanya kurang diketahui. Penelitian arkeologi pada tahap awal dan bersifat deskriptif telah dilakukan oleh A.C. Kruyt (1938), Eric Cristal (1974), Harun Kadir (1977), Santoso Soegondo dan kawan-kawan (1996), Akin Duli (1999), Lenggo dan Nur (2003). Hasil dari penelitian awal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa daerah Tana Toraja sangat potensial secara arkeologis untuk diteliti lebih mendalam, terutama yang berkaitan dengan budaya megalitik dengan ditemukannya berbagai bentuk peninggalan seperti menhir, keranda mayat serta tradisi yang masih bertahan sampai sekarang.

B. Studi Etnoarkeologi
Studi etnoarkeologi yang dikembangkan dalam arkeologi bertujuan memecahkan permasalahan arkeologi melalui analogi etnografi. Dalam studi ini, material masa lalu dipelajari melalui dua model pendekatan, yaitu : 1) pendekatan kesinambungan sejarah budaya (direct historical approach). Pendekatan ini didasari pandangan bahwa budaya yang ada sekarang merupakan perkembangan dari budaya masa lampau, sehingga ciri-ciri budaya yang ada sekarang merupakan warisan dari budaya yang telah berkembang sebelumnya. Oleh karena itu, perbandingan akan cukup bernilai apabila dilakukan antara data arkelogi dengan data etnografi yang masing-masing saling berkesinambungan sejarahnya. Untuk itu penelitian etnohistori sangat diperlukan untuk menunjang model penelitian tersebut. 2) Pendekatan perbandingan umum (general comparative approach), yang didasari oleh adanya pandangan bahwa hubungan antara budaya materi yang pendukungnya telah punah dengan budaya yang masih hidup yang mempunyai persamaan bentuk, dapat dilakukan meskipun tidak mempunyai kaitan sejarah, ruang, maupun waktu. Data etnografi yang dikumpulkan tidak perlu dibatasi pada wilayah geografis yang sama, namun tetap memperhitungkan faktor adanya kesamaan lingkungan (Ascher, 1971: 264-265). Dalam model ini, antara lain berlaku syarat bahwa semakin dekat jarak waktunya dan makin konservatif sifat masyarakat pembandingnya, semakin kuat pula hasil analogi yang diperoleh.

Contoh dari penelitian yang mempergunakan pendekatan etnografi, telah dilakukan oleh Binford pada dekade 1960-an pada kelompok masyarakat berburu dan meramu dari suku Nunamiut Eskimo di Alaska, untuk mempelajari situs-situs arkeologi pada masa paleolitik tengah di Perancis (100.000 – 40.000 SM.) dan hasilnya memuaskan. Demikian juga oleh Ian Hodder, telah melakukan kajian tentang perhiasan telinga wanita yang digunakan oleh suku Bringo di Kenya. Hasilnya memberikan gambaran bahwa perbedaan pola hias anting-anting wanita dapat menggambarkan perbedaan identitas suku bangsa tersebut (Renfrew dan Bahn, 1991: 166-168).

Model penelitian dalam arkeologi dengan analogi etnografi (etnoarkeologi) hanyalah merupakan salah satu alternatif, dan tentunya juga bobot kajiannya mempunyai kelemahan. Kelemahan tersebut berdasarkan pertimbangan : 1) jarak waktu yang panjang antara masa lalu (konteks sistem) dengan masa ditemukannya peninggalan budaya (konteks arkeologi), yang dapat memungkinkan terjadinya pergeseran-pergeseran nilai di dalamnya; 2) satuan populasi pendukung tinggalan budaya tersebut sudah tidak ada lagi; 3) walaupun berada pada suatu lokasi dan tradisi yang sama, namun pemaknaannya belum tentu sama; 4) bahwa satu kebudayaan materi yang ditemukan merupakan akibat suatu tindakan dari manusia masa lalu. Untuk itu, penggunaan analogi etnografi hendaknya diterapkan dalam penelitian arkeologi secara hati-hati, harus selalu didasari dengan pertimbangan-pertimbangan secara metodologis.

Model yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kesinambungan sejarah-budaya (direct historical approach). Pemilihan pendekatan tersebut, berdasarkan pada pertimbangan : 1) adanya kesinambungan sejarah-budaya antara peninggalan budaya fisik dengan sistem sosio-kultural masyarakat pembandingnya; 2) adanya kesamaan bentuk budaya dan lingkungan fisik; 3) sikap konservatif masyarakat pembandingnya akibat keterisolasian secara geografis; 4) secara historis pengaruh agama Islam dan Kristen tidak terlalu mengakar dalam masyarakat, sehingga sistem kepercayaan lokal tetap kuat berperan dalam masyarakat sebagai pendukung kelanjutan tradisi megalitik.

Dalam pengumpulan data etnografi dipergunakan metode observasi, yaitu pengamatan secara langsung dan wawancara. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam secara internal, dipergunakan pendekatan emik dan empati (peneliti adalah bagian dari komunitas tersebut) sehingga dapat diketahui aspek-aspek kognitif dan elemen-elemen spiritualnya.

C. Data Arkeologi
Situs Arkeologi di Tana Toraja sangat banyak, suatu gambaran besar dan lamanya komunitas ini mendiami wilayah dataran tinggi di Sulawesi Selatan. Daerah atau situs yang dijadikan sampel di sini adalah situs Sillanan yang terletak di Desa Sillanan, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja.

Terdapat enam lokasi megalitik dalam situs Sillanan yaitu lokasi Tongkonan Layuk, lokasi Pakpuangan, lokasi Rante Simbuang, lokasi Bubun, lokasi Rante Sarapuk, dan lokasi Liang. Bentuk-bentuk peninggalan budaya megalitik yang terdapat pada situs-situs tersebut antara lain menhir (kelompok dan tunggal), lumpang batu, karopik, pagar batu, altar batu, tahta batu, umpak-umpak batu, kubur batu (liang), fragmen gerabah, dan teras berundak, dengan distribusi temuan secara terpola. Salah satu hal yang menarik dari peninggalan budaya megalitik pada beberapa lokasi tersebut adalah adanya indikasi pemukiman (tempat hunian) berupa umpak dan pagar batu yang berasosiasi dengan fragmen tembikar. Indikasi pemukiman tersebut, tampaknya masih ada kesamaan dengan pemukiman tradisional yang masih hidup dalam masyarakat yang berpusat pada Tongkonan.

D. Pembahasan
1. Kepercayaan Terhadap Alam Kehidupan Setelah Mati

Ajaran Aluk Todolo menurut orang Toraja berisi konsep kepercayaan terhadap alam kehidupan setelah mati. Ajaran ini menganggap bahwa arwah seseorang setelah mati tidak hilang begitu saja melainkan kembali ke suatu tempat yang dianggap sebagai alam arwah atau sebagai tempat asal-usul leluhur mereka. Konsep kepercayaan ini kemudian diimplementasikan dalam sistem upacara terutama upacara yang berkaitan dengan kematian (Rambu Solok) dan sistem penguburan.

Secara umum tujuan dari upacara yang termasuk kelompok Rambu Solok adalah untuk keselamatan arwah leluhur di alam puya dan kesejahteraan serta keselamatan manusia di dunia. Dalam pelaksanaan jenis upacara tersebut dipergunakan berbagai sarana termasuk beberapa peninggalan budaya megalitik yang dapat tahan lama, seperti menhir, lumpang batu, dan karopik. Berdasarkan fungsinya dapat diketahui jenis peninggalan yang dipergunakan sebagai sarana pemujaan untuk keselamatan arwah leluhur di alam puya, yaitu menhir jenis pesungan banek, menhir jenis simbuang, lumpang batu, karopik, dan kandean dulang.

Aktivitas lain yang berkaitan dengan keselamatan arwah leluhur tercermin pada bentuk serta tata letak kubur dan wadah yang dipergunakan. Tujuan dari penguburan erat kaitannya dengan kepercayaan akan kehidupan setelah mati, yang menyebabkan manusia untuk menguburkan mayatnya dengan maksud untuk melestarikan arwahnya di alam baka. Latar belakang konsepsi kepercayaan tersebut telah mendorong masyarakat Toraja pada masa lampau untuk menguburkan anggota keluarga atau masyarakatnya dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan penguburan tersebut dilakukan dengan penguburan pada beberapa jenis kubur baik secara langsung (kubur primer) maupun secara tidak langsung (kubur sekunder), baik yang mempergunakan wadah tertentu seperti erong maupun tanpa wadah seperti pada kubur jenis Sillik.

Di Sillanan orang yang meninggal dunia dikuburkan di Liang dengan mempergunakan beberapa jenis kubur, baik yang mempergunakan wadah seperti erong maupun tanpa wadah, sesuai dengan status sosialnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan aturan adat yang bersumber dari Aluk Todolo, demi keselamatan arwah sampai ke alam puya. Jenis Liang Sillik diperuntukkan bagi strata sosial yang berasal dari Tanak Kua-Kua (strata sosial rendah), yaitu penguburan pertama tanpa menggunakan wadah tertentu. Sedangkan strata sosial menengah dan tinggi, dikuburkan pada jenis Liang Erong, Liang Tokek, Liang Pak, dan Patane, yang mempergunakan wadah erong, baik yang berfungsi untuk penguburan pertama maupun untuk penguburan kedua. Penguburan kedua hanya berlaku bagi para bangsawan tinggi dan keluarganya.

Tata letak kubur dan wadah erong adalah utara-selatan, dimana mayat diletakkan dengan menghadap ke utara yaitu bagian kaki di utara dan kepala di selatan. Tujuan dari arah hadap ke utara, adalah adanya pandangan bahwa tempat bersemayamnya para dewa adalah di arah utara dari perkampungan mereka, sehingga asal-usul leluhur mereka adalah datang dari arah utara. Orang Toraja percaya bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari dewa, sehingga ketika mereka meninggal maka arwah leluhur akan kembali ke asalnya, yaitu menjadi dewa di alam puya. Namun untuk mencapai hal tersebut maka harus melewati tahap-tahap upacara kematian dan sistem penguburan yang telah ditentukan oleh Aluk Todolo.

Letak Liang selalu dekat dari pemukiman dan berada di tempat yang tinggi seperti di bukit, pegunungan atau tempat yang sengaja ditinggikan. Letak Liang yang dekat dengan pemukiman menunjukkan bahwa Liang merupakan salah satu unsur dari suatu pola permukiman, seperti yang dikemukakan oleh Michael B. Schiffer bahwa situs kubur merupakan bagian dari suatu daerah yang berkaitan dengan penguburan dalam lokasi permukiman (Schiffer,1985:371). Tujuan dari penempatan kubur yang dekat dengan pemukiman, dilatarbelakangi oleh suatu konsep kepercayaan akan adanya hubungan timbal-balik antara orang yang masih hidup dengan orang yang telah meninggal dunia. Penempatan lokasi penguburan yang dekat dengan tempat bermukim juga masih ditemukan pada beberapa suku bangsa lainnya di Indonesia.
Sementara letak kubur pada tempat yang lebih tinggi dari pemukiman, dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan bahwa alam kubur sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur, harus berada di tempat yang lebih tinggi dari pemukiman manusia agar mudah dalam mengawasi perilaku manusia yang masih hidup di dunia. Kepercayaan akan tempat yang tinggi seperti puncak bukit atau puncak gunung sebagai tempat bersemayamnya para arwah leluhur, terdapat pada beberapa suku bangsa di Indonesia seperti di Bali yang percaya bahwa di puncak Gunung Agung, Gunung Batur, Gunung Sangiang, dan beberap gunung lainnya sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur mereka (Soejono, 1977 : 269).

Penggunaan bentuk-bentuk wadah erong tertentu seperti bentuk persegi, bentuk kerbau, dan bentuk perahu dalam sistem penguburan mereka, selain berkaitan dengan stratifikasi sosial, mempunyai makna pula sebagai tanda kenderaan yang dapat membawa arwah leluhur ke alam puya, khususnya bagai masyarakat yang berasal dari startifikasi sosial tinggi (Tanak Bulaan).

Hal lain yang menjadi syarat demi keselamatan arwah leluhur sampai ke alam puya, adalah bekal bagi orang yang meninggal dalam bentuk korban yang dipersembahkan dalam berbagai upacara Rambu Solok dan bekal kubur. Setiap tahapan upacara Rambu Solok membutuhkan korban persembahan dalam jumlah yang besar, semua dianggap sebagai bekal untuk keselamatan arwah leluhur sampai ke alam puya. Sedangkan benda-benda berharga yang dimiliki simati semasa hidupnya seperti emas, perak, dan benda-benda berharga lainnya disertakan sebagai bekal kubur ketika dikubur.

2. Kepercayaan Terhadap Arwah Leluhur
Secara umum inti dari konsep kepercayaan terhadap arwah leluhur adalah kepercayaan akan pengaruh kuat dari arwah leluhur terhadap kesuburan tanaman dan keberhasilan panen serta kesejahteraan manusia di dunia. Kepercayaan tersebut telah dikenal dan dianut secara luas oleh masyarakat pada berbagai suku bangsa di Indonesia sejak akhir masa bercocok tanam. Sebagai sarana penghubung antara orang atau masyarakat yang masih hidup dengan arwah leluhurnya, maka didirikanlah bangunan-bangunan megalitik. Melalui upacara-upacara tertentu, arwah leluhur dianggap dapat hadir ke dalam bangunan megalitik tersebut untuk dimintai pertolongan misalnya dapat membantu menolak bala dan mengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu kehidupan manusia, menyuburkan tanaman dan meningkatkan keberhasilan panen, menjaga keselamatan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagainya.

Hubungan antara orang hidup dengan orang yang telah meninggal tidak hanya bersifat searah akan tetapi bersifat timbal-balik karena keselamatan arwah para leluhur juga sangat ditentukan oleh perlakuan dari kerabat atau masyarakat yang ditinggalkannya. Keselamatan arwah leluhur di alam puya sangat tergantung kepada pemenuhan syarat-syarat yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan adat, seperti berbagai tahapan upacara, bekal berupa korban persembahan dan bekal kubur dan perlakuan-perlakuan lainnya setelah seseorang meninggal.

Berdasarkan konsep kepercayaan tersebut, maka dalam menjalankan berbagai upacara ritual dibutuhkan sarana seperti bangunan-bangunan megalitik yang berfungsi sebagai media penghubung di antara kedua belah pihak. Sarana-sarana tersebut sebagai suatu peninggalan, dapat mencerminkan sistem kepercayaan masyarakat masa lampau, termasuk di dalamnya adalah yang berkaitan dengan obyek (oknum) yang dipuja. Dari hasil penelitian para ahli tentang peninggalan megalitik, dapat diketahui bahwa yang menjadi obyek sebagai adhi kodrati dalam kepercayaan tersebut adalah arwah leluhur.

Di Sillanan terdapat beberapa peninggalan megalitik yang erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap arwah leluhur yaitu menhir yang terdiri dari beberapa jenis (basse, tumpuang, pesungan banek, simbuang), karopik, susunan batu temu gelang, altar batu, lumpang batu, tahta batu, teras berundak, dan kandean dulang. Berdasarkan fungsi masing-masing temuan tersebut seperti telah diuraikan di atas, dapat diketahui peranannya masing-masing yaitu kesemuanya berkenaan dengan pemujaan terhadap arawah leluhur.

Peninggalan budaya megalitik di Sillanan yang erat kaitannya dengan pemujaan leluhur, secara fungsinal dapat kategorikan sebagai berikut : sebagai medium dalam pemujaan terhadap arwah leluhur, seperti menhir jenis basse dan menhir jenis pesungan banek; sebagai sarana dalam pemujaan terhadap arwah leluhur, seperti lumpang batu, altar batu, kandean dulang, dan teras berundak; sebagai batas antara daerah sakral dan profan seperti pagar batu dan susunan batu temu gelang; sebagai simbol dari seorang tokoh dan tanda orang meninggal seperti menhir jenis simbuang dan karopik; sebagai tanda penolak bala seperti menhir jenis tumpuang.

Secara umum peninggalan-peninggalan megalitik tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda, namun semuanya itu dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan bahwa benda-benda tersebut memiliki kekuatan gaib, terutama pada waktu dipergunakan dalam upacara. Kekuatan gaib tersebut tidak lain adalah kekuatan dari arwah leluhur yang menjelma atau hadir di dalam benda-benda tersebut pada waktu dipergunakan dalam pelaksanan upacara tertentu. Hal ini dilatarbelakngi oleh suatu keyakinan bahwa arwah leluhur mempunyai suatu kekuatan sakti atau kekuatan magis, yang dapat membantu manusia yang masih hidup.

Berdasarkan pada data etnografi dapat diketahui tentang kekuatan (obyek) yang dipuja, yaitu dewa-dewa yang dapat dibagi atas tiga, yaitu : dewa tertinggi yang disebut Pong Matua, yaitu dewa yang menciptakan kehidupan manusia dan alam; dewa pada tingkat kedua yaitu Deata-Deata, bertugas sebagai pelindung manusia di dunia; dewa pada tingkat ketiga yaitu To Membali Puang, bertugas sebagai pengawas kehidupan manusia di dunia.

Pada dasarnya ketiga dewa tersebut adalah satu yaitu arwah leluhur, yang membedakannya adalah stratifikasi dari arwah leluhur tersebut, yaitu : Puang Matua, adalah pencipta dan sekaligus sebagai asal atau nenek moyang manusia yang pertama; Deata-Deata, dapat dicapai oleh arwah leluhur yang merupakan keturunan langsung dari dewa-dewa (To Manurun), yaitu golongan masyarakat bangsawan tinggi yang berasal dari Tanak Bulaan; To Membali Puang, dapat dicapai oleh golongan masyarakat yang berasal dari Tanak Bassi dan Tanak Karurung (Yusuf, dkk, 1993 : 32). Arwah leluhur lainnya yang berasal dari tanak kua-kua atau lapisan sosial tinggi yang tidak mampu melaksanakan upacara kematian sesuai dengan aturan adat, menjadi gentayangan pada alam antara alam fana (lino) dengan alam baka (puya) disebut Bombo. Bombo tidak dipuja karena belum menjadi dewa, oleh karena itu dianggap sebagai roh-roh leluhur yang membahayakan kehidupan manusia. Untuk itu manusia harus berlindung dan meminta pertolongan kepada dewa-dewa.

Media atau monumen megalitik yang dipakai untuk pemujaan kepada tiga dewa tersebut berbeda-beda, yaitu Puang Matua dipuja dengan menggunakan menhir jenis basse dan menhir jenis pesungan banek tipe silindrik sebagai medium; Deata-Deata dipuja dengan mempergunakan menhir jenis pesungan banek tipe pipih; To Membali Puang dipuja dengan menggunakan menhir jenis tumpuang sebagai medium.

3. Pengaruh Konsep Kosmologis Terhadap Pola Keletakan Temuan dan Situs
Seperti telah diuraikan pada bagian deskripsi data di atas, tampak secara jelas tentang pola keletakan temuan pada setiap situs dan pola keletakan situs. Hal yang menarik untuk dikaji adalah yang berkaitan dengan sistem gagasan/ide yang melatarbelakangi terbentuknya pola sebaran temuan dan situs tersebut. Kajian arkeologi untuk mengetahui sistem ideologi lewat peninggalan budaya fisik sangat sulit untuk mencapai tujuan. Hal ini disebabkan manusia pendukung budaya tersebut tidak didapatkan lagi. Untuk itu dalam pembahasan ini, dipergunakan analogi dengan data etnografi berupa tradisi lisan yang masih hidup dalam masyarakat setempat. Berdasarkan analogi tersebut, dapat diketahui bahwa pola sebaran temuan dan situs sangat erat kaitannya dengan konsep kosmologis yang mereka pahami.

Dalam kehidupan masyarakat Toraja selalu berusaha menciptakan keharmonisan dengan alam, masyarakat dan keluarga sesuai dengan ajaran Aluk Todolo. Alam kehidupan di dunia (kesatuan adat, Tongkonan, masyarakat, keluarga, dan individu) dianggap sebagai mikrokosmos yang harus selalu diselaraskan dengan alam jagat raya (makrosmos). Keselarasan dan keseimbangan tersebut dapat diwujudkan dalam semua aspek kehidupan dengan berpatokan kepada pengklasifikasian alam ini secara horisontal dan secara vertikal. Klasifikasi alam secara horisontal adalah klasifikasi berdasarkan timur-barat dan utara-selatan, sedangkan klasifikasi secara vertikal adalah pembagian alam atas, alam tengah, dan alam bawah.

Kehidupan dalam suatu kesatuan adat, dalam keluarga (Tongkonan) dan dalam diri individu setiap orang dianggap sebagai simbol dari kosmos (mikrokosmos). Klasifikasi mikrokosmos sebagai reflika dari makrokosmos atas timur-barat, utara-selatan, atas-bawa, dianggap berpusat di Tongkonan dalam satu kesatuan adat, dan untuk satu keluarga disimbolkan oleh Tongkonan itu sendiri yang pusatnya adalah pada tiang utama (ariri posik) dari Tongkonan tersebut dan pada diri individu dianggap berpusat pada pusar manusia.

Klasifikasi timur-barat lebih banyak dihubungkan dengan tahapan kehidupan manusia, kelahiran dianggap sama dengan arah timur (Mataallo), sebagaimana matahari mulai terbit memancarkan sinarnya dan secara perlahan-lahan naik mencapai puncak kehidupan kemudian menurun dan akhirnya mati, berarti matahari sudah terbenam di arah barat (Matampuk) dan terjadi peralihan dari terang ke gelap. Kematian seseorang dianggap sebagai suatu proses kehidupan untuk memulai kehidupan yang baru, atau suatu peralihan kehidupan dari alam fana (lino) ke alam baka (puya) yang senantiasa diharapkan menjadi suci untuk mencapai tingkat dewa. Semua tahap-tahap kehidupan berdasarkan peredaran matahari dari timur ke barat, dilalui dengan melaksanakan serangkain upacara-upacara yang dapat dikelompokkan atas dua, yaitu kelompok upacara Rambu Tukak yang diatur dalam Aluk Mataallo dan kelompok upacara Rambu Solok yang diatur dalam Aluk Matampuk. Tempat pelaksanaan upacara harus disesuaikan dengan jenis dan tujuannya, apakah harus berada di sebelah timur atau sebelah barat Tongkonan.

Klasifikasi utara-selatan berhubungan dengan hal-hal yang bersifat baik dan tidak baik, utara dianggap sebagai tempat para dewa atau tempat terhormat (kepala bumi = Ulunna Lino) sedangkan selatan dianggap tempat para Bombo atau tempat yang kotor (bagian bawah bumi = Pollokna Lino). Berbagai macam upacara yang dilakukan, jenis dan tujuannya harus selalu berpatokan pada pembagian tersebut. Sedangkan klasifikasi berdasarkan alam atas-tengah-bawah, dihubungkan dengan proses terjadinya kehidupan, yaitu pertemuan antara alam atas (langit) yang disimbolkan sebagai laki-laki (baik) dengan alam bawah (air) disimbolkan dengan wanita (buruk), kemudian melahirkan alam tengah (alam kehidupan manusia di dunia) sebagai suatu keseimbangan atau keselarasan.

Klasifikasi kosmos tersebut dimanifestasikan dalam mikrokosmos seperti diri manusia dan Tongkonan. Manusia dianggap sebagai simbol dari kosmos, yaitu kepala dianggap sebagai Ulunna Lino, bagian bawah manusia dianggap sebagai Pollokna Lino, bagian kanan manusia dianggap Mataallo dan bagian kiri dianggap sebagai Matampuk. Pembagian berdasarkan alam atas – tengah - bawah, disimbolkan pada diri manusia yaitu kepala dianggap sebagai alam atas, bagaian tengah (perut) dianggap sebagai alam tengah, dan bagian bawah (kaki) dianggap sebagai alam bawah. Dalam bangunan Tongkonan klasifikasi tersebut juga berlaku, dimana Tongkonan harus selalu menghadap ke utara. Tongkonan sebagai pusat dari mikrokosmos maka semua aktivitas manusia terutama yang berkaitan dengan upacara ritual, harus berpatokan kepada Tongkonan. Kelompok upacara Rambu Tukak tempat pelaksanaannya di sebelah timur Tongkonan, kelompk upacara Rambu Solok tempat pelaksanaannya di sebelah barat Tongkonan, upacara yang ditujukan kepada para dewa tempat pelaksanaannnya di sebelah utara Tongkonan atau tempat yang telah ditentukan secara khusus, dan upacara yang ditujukan kepada Bombo, tempat pelaksanaannya di sebelah selatan Tongkonan.

Deskripsi data etnorafi sebagaimana terurai di atas, dapat dikaitkan dengan data arkeologis sebagai berikut : (1) tata letak temuan dan situs di Sillanan mengikuti konsep kosmologis orang Toraja sebagai gambaran dari klasifikasi kosmos (kosmografi), (2) kosmografi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : lokasi Tongkonan Layuk terletak di tengah-tengah sebagai pusat dari kosmos, terutama pada petak 3 teras III sebagai tempat berdirinya bangunan rumah Tongkonan Layuk. Tongkonan Layuk sebagai simbol kosmos (mikrokosmos), sesungguhnya merepresentasikan ketua adat yang berperan sebagai pemimpin keagamaan dan bahkan pemimpin pemerintahan adat. Ketua adat sebagai pemimpin pelaksanaan berbagai macam upacara ritual, karena dialah yang dianggap simbol pusat dan bahkan sebagai mikrokosmos itu sendiri. Ketua adatlah yang dapat berkomunikasi sebagai penghubung antara mikrokosmos (alam kehidupan manusia) dengan makrokosmos (alam kehidupan leluhur). lokasi Bubun dan lokasi Rante Sarapuk berada di sebelah timur situs Tongkonan Layuk sebagai tempat melaksanakan upacara Rambu Tukak. lokasi Pakpuangan dan lokasi Liang berada di sebelah barat situs Tongkonan Layuk, masing-masing berfungsi sebagai tempat melaksanakan upacara Rambu Solok dan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas penguburan. Lokasi Rante Simbuang tidak masuk dalam aturan klasifikasi kosmos yang berpusat di Tongkonan, karena dianggap sebagai mikrokosmos tersendiri yaitu sebagai simbol dari suatu perkampungan adat atau suatu kesatuan adat tertentu pada waktu difungsikan sebagai tempat pelaksanaan upacara kematian, sehingga penempatannya bisa di mana saja yang penting strategis dan memungkinkan untuk menampung banyak orang. lokasi bubun (sumur) terletak pada arah selatan agak ke timur (tenggara) dari situs Tongkonan Layuk karena fungsinya adalah sebagai tempat pelaksanaan upacara untuk meminta perlindungan kepada Puang Matua, agar air suci yang diambil dari tempat tersebut terhindar dari gangguan roh-roh jahat (Bombo); tata letak temuan dalam suatu situs sangat ditentukan pula oleh konsep kosmos tersebut. (3) Konsep kosmogoni diuraikan oleh Aluk Todolo, tentang kepercayaan terhadap alam kehidupan setelah mati (alam arwah), yaitu terdiri dari alam Bombo dan alam Puya.

Berdasarkan fungsi temuan situs dan fungsi situs, maka tampak bahwa tata letak situs dan temuan situs sangat dipengaruhi oleh faktor ideologis, yaitu konsep kosmologis dan stratifikasi sosial yang kesemuanya bersumber pada ajaran Aluk Todolo.

E. Penutup
Demikianlah gambaran alam pikiran dan kepercayaan masyarakat Toraja yang terefleksi secara harmonis dalam penentuan tata letak monumen dalam satu areal pemukiman. Secara garis besar, konsep kosmologi yang dikenal dengan klasifikasi kosmos yang terdiri dari pembagian timur-barat, utara-selatan, dunia atas-tengah-bawah, yang dianggap berpusat pada alam kehidupan manusia disimbolkan oleh Tongkonan. Semua aspek kehidupan manusia harus diselaraskan dengan kosmos dengan berpatokan kepada pembagian-pembagian tersebut di atas, sesuai dengan ketentuan adat yang diatur oleh Aluk Todolo.

Daftar Istilah
1. Aluk Todolo atau Alukta adalah kepercayaan asli penduduk Toraja yang intinya adalah kepercayaan terhadap dewa-dewa dan roh leluhur.
2. Basse, secara harapiah berarti sumpah atau perjanjian, dalam pengertian yang lebih luas adalah sebagai tempat mengadakan perjanjian atau sumpah yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia maupun dengan yang adhi kodrati.
3. Bubun, yaitu suatu tempat untuk mengambil air, bisa juga berarti sumber mata air atau sumur.
4. Erong, adalah wadah kubur bagi masyarakat yang berasal dari stratifikasi sosial menengah atau bangsawan.
5. Karopik, adalah bangunan susunan batu berbentuk persegi atau empat persegi panjang yang berfungsi sebagai tempat penguburan sementara (primary burial) bagi bangsawan tinggi pada masyarakat Toraja sebelum diadakan pesta kematian tingkat akhir (rapasan) untuk selanjutnya dikuburkan di tempat penguburan permanen (Liang).
6. Liang, adalah kompleks penguburan bagi masyarakat Toraja yang terletak di gua, ceruk, dan dinding-dinding batu yang dipahat. Liang berfungsi sebagai kompleks penguburan keluarga atau suatu kelompok komunitas tertentu.
7. Liang Pak, yaitu tempat penguburan yang dipahatkan pada dinding-dinding batu.
8. Liang Tokek, yaitu kuburan gantung di langit-langit gua atau dinding ceruk.
9. Patane, yaitu tempat penguburan berupa bangunan yang kadang-kadang menyerupai bentuk rumah tradisional.
10. Pakpuangan, adalah suatu tempat peribadatan khusus untuk pemujaan kepada unsur Puang Matua.
11. Pesungan banek, berarti sesajen yang diletakkan di daun untuk dipersembahkan kepada arwah leluhur, deata atau puang matua. Dapat juga berarti sebagai batu berdiri yang dipergunakan sebagai medium dalam upacara untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia.
12. Rante Sarapuk, berasal dari kata rante (tempat yang datar dan luas) dan kata sarapuk (altar batu tempat menyimpan sesajen dalam pemujaan syukuran terhadap deata).
13. Rante Simbuang, berasal dari kata rante (tempat datar yang luas) dan kata simbuang (batu tegak yang didirikan untuk mengikat kerbau sebelum dibantai di lapangan upacara pesta kematian bagi bangsawan tinggi).
14. Sillik, secara harfiah berarti diselipkan, namun dalam pengertian yang lebih luas adalah sebagai suatu bentuk penguburan bagi masyarakat yang berasal dari stratifikasi sosial rendah (budak), biasanya mayat dikuburkan di sela-sela gua alam atau akar/batang pohon.
15. Simbuang, adalah salah satu jenis menhir di Toraja yang didirikan di lapangan tempat melaksanakan upacara kematian bagi bangsawan tinggi, fungsinya adalah sebagai simbol dari orang yang telah mati dan sebagai tempat mengikat kerbau secara simbolis yang akan dikorbankan dalam upacara tersebut.
16. Tomanurung adalah orang yang turun dari langit atau kayangan yang kemudian menjadi pemimpin suatu masyarakat secara turun-temurun.
17. Tongkonan, adalah rumah adat atau rumah keluarga bagi masyarakat Toraja yang bentuknya seperti perahu, yang terdiri dari Tongkonan batu akriri (fungsinya semata-mata berperanan sebagai tempat bermukim suatu keluarga), Tongkonan kaparengngesan atau Tongkonan pakaindoran (berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan pemerintahan adat), Tongkonan Pekamberan (berfungsi sebagai tempat peneyelenggaraan pemerintahan adat dan keagamaan), dan Tongkonan Layuk adalah sebagai Tongkonan yang dipercaya sebagai yang pertama kali dibangun pada masa lampau, tempat asal mula segala aturan adat masyarakat.
18. Tongkonan Layuk, rumah tradisional khas Toraja yang pertama dibangun oleh satu komunitas tertentu pada masa lalu, sebagai tempat asal mula segala aturan adat masyarakat.
19. Tumpuang, berarti penolak bala.

Daftar Pustaka
Ascher, Robert. 1971 “Analogy in Archaeological Interpretation”. Dalam James Deetz: Man’s Imprint From the Past, 262-271. Boston : Little Brown and Company.
Binford, Lewis. 1972. An Archaeological Perspective. New York : Seminar Press.
Cristal, Eric. 1974. “Man and Menhir, Contemporary Megalithic Practice of Sa’dan Toraja of Sulawesi, Indonesia”. Los Angeles : Institute of Archaeology University of California.
Duli, Akin. 1999. “Bentuk-Bentuk Penguburan Orang Toraja, Suatu Studi Etnoarkeologi”. Dibawakan pada Kongres dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi VIII di Yogyakarta, 15-18 Pebruari 1999.
Geldern, R. von Heine. 1945. “Prehistoric Research in The Netherlands Indies”. Dalam : Sciences and Scietists in The Netherlands Indies. New York : Pieter Honing, P.H.D.
Kadir, Harun. 1980. “Aspek Megalitik di Toraja”. PIA I. Jakarta : Puslit Arkenas.
Kruyt, A. C. 1938. De West Toradjas op Midden Celebes. Nieuwe Reeks Deel XL. Amsterdam : Uitgave van de N.V. Noord Hollandsche Uitgevers-Maatschappijk, hlm. 1-6.
Lenggo, Army dan Nur, M. 2003., “Tau-tau Dalam Sistem Budaya Masyarakat Toraja” dalam Toraja Dulu dan Kini. Makassar. Pustaka Refleksi.
Renfrew, Colin and Bahn, Paul. 1991. Archaeology : Theories, Method, and Practice. London : Thames and Hudson.
Schiffer, Michael B. 1976. Behavioral Archaeology. New Yoek : Academic Press.
Soegondho, Santoso. 1995. “Penelitian Tradisi Megalitik pada Situs Kalimbuang di Bori’ Parinding, Kecamatan Sesean, Tana Toraja” Laporan Bagian Proyek Penelitian Purbakala Sulawesi Selatan. Belum terbit.
Soejono, R.P. 1977. Sistem-sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Disertasi Universitas Indonesia.
___________. (Ed). 1984. Sejarah Nasional Indonesia. I. Jakarta : Balai Pustaka.
Yusuf, Wiwik P., dkk. 1993. Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Sulawesi Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Halaman 24 – 34.
Wagner, F.A. 1962. Indonesia : The Art of An Island Group. Art of The World Series.

Sumber: http://arkeologi.web.id

Agama pada Masa Majapahit

Oleh Hariani Santiko

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual, misalnya kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.

Di samping perbedaan latar belakang keagamaan, terdapat pula perbedaan status dan fungsi bangunan suci. Berdasarkan status bangunan suci, kita dapat kelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan yang berada di luar kekuasaan pemerintah pusat.

Bangunan suci yang dikelola pemerintah pusat ada dua macam, yaitu:
1. Dharma-Dalm, disebut pula Dharma-Haji yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja beserta keluarganya. Jumlah dharma-haji ada 27 buah, di antaranya Kegenengan, Kidal, Jajaghu, Pikatan, Waleri, Sukalila, dan Kumitir.
2. Dharma-Lpas, yaitu bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (bhudana) pemberian raja untuk para rsi-saiwa-sogata, untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencarian mereka.

Sedangkan bangunan suci yang berada di luar pengelolaan pemerintah pusat kebanyakan adalah milik prasasti rsi, antara lain mandala, katyagan, janggan. Secara umum bangunan ini disebut patapan atau wanasrama karena letaknya terpencil. Mandala yang dikenal sebagai kadewaguruan adalah tempat pendidikan agama yang dipimpin oleh seorang siddharsi yang disebut pula dewaguru.

Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Candi-candi yang memunyai dua fungsi, yaitu sebagai pendharmaan raja dan keluarganya, juga sebagai kuil pemujaan dewa dengan ciri adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah arca pendharmaan (dewawimbha), misalnya Candi Jago, Pari, Rimbi, Simping (Sumberjati).

2. Candi-candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, dengan ciri tidak memunyai garbhagrha dan arca pendharmaan/perwujudan; tubuh candi diganti dengan altar atau miniatur candi. Candi-candi kuil ini kebanyakan dipakai oleh para rsi dan terletak di lereng-lereng gunung, misalnya di lereng Gunung Penanggungan, Lawu, Wilis, dsb.

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa) ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata (berkelompok tiga) dan catur dwija yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-rsi (berkelompok empat).

Pembaruan/pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Raja Kertanagara, raja terakhir Singasari. Apa maksudnya belum jelas, mungkin di samping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Kertanagara membuat candi Siwa-Buddha, yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat Kota Malang.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.

Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta (Siddantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad ke-10). Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada zaman Mpu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada zaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta, dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku Kata suci "OM". Sebagai dewa tertinggi, Siwa memunyai tiga hakikat (tattwa) yaitu:
paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala);
sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala);
siwa-tattwa yang bersifat berwujud (sakala).

Selain agama Siwasiddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabaya dari Kediri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata).

Di samping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja Dewa Wisnu, yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung (istadewata).

Kepustakaan
http://www.majapahit-kingdom.com/cms/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Itemid=7

Tinjau Kembali Sejarah Bahasa Melayu

Ulrich Kozok

Ulrich Kozok ahli filologi—ilmu tentang teks dan bahasa kuno yang menekuni studi bahasa Batak dan Melayu. Ia dilahirkan di Hildesheim, Jerman, Ulrich Kozok, 26 Mei 1959, menguasai bermacam bahasa Batak: Karo, Angkola, Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Toba.

Uli--begitu panggilannya--kaya akan pengalaman akademis: tujuh tahun mengajar di Universitas Auckland, Selandia Baru; setahun di Universitas Sumatera Utara; dan kini menjadi dosen di Universitas Hawaii, Amerika Serikat. Ia pernah hadir dalam peluncuran Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Berikut petikan wawancara wartawan Tempo, Andari Karina Anom, dengan Uli.
Apa yang dibuktikan oleh penemuan naskah Melayu tertua ini?
Selama ini belum pernah ditemukan naskah Melayu pra-Islam. Naskah-Naskah yang berhasil ditemukan berasal dari zaman setelah masuknya Islam di Indonesia (sekitar abad ke-15 dan 16) sehingga banyak dipengaruhi bahasa Arab dan Persia. Bahasa Melayu bahkan kerap diidentikkan dengan Islam.
Penemuan naskah Tanjung Tanah ini membuktikan bahwa bahasa Melayu sudah ada jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Artinya, semua teori tentang sejarah aksara di Melayu perlu ditinjau kembali.
Berdasarkan literatur, masih ada kemungkinan ditemukan naskah sejenis yang lebih tua?
Kalau dalam waktu dekat, saya kira sulit karena ini adalah penemuan yang besar dan langka. Tapi tentu ada kemungkinan di kemudian hari muncul naskah yang lebih tua. Ini adalah sesuatu yang relatif, tidak absolut.

Sejauh pengetahuan kita hingga sekarang, ini memang yang tertua. Tapi bisa saja suatu ketika ditemukan naskah yang lebih tua, misalnya di sebuah rumah di Sumatera.
Dalam komunike bersama Indonesia, Malaysia, Brunei yang ditandatangani di Jakarta, pekan lalu, bahasa Melayu diusulkan sebagai salah satu bahasa utama dunia karena penggunaannya yang luas. Menurut Anda?
Bahasa Melayu memang termasuk salah satu dari sepuluh terbesar bahasa yang terbanyak digunakan di dunia. Tapi itu pun tergantung cara penghitungannya. Ada yang menghitung berdasarkan penutur asli. Tapi kadang-kadang ini pun rancu. Misalnya, apakah orang Jawa dikelompokkan sebagai penutur Melayu atau bukan.
Apa pandangan Anda tentang Malaysia yang kini tengah berupaya menjadi pusat kebudayaan Melayu, termasuk dengan mengangkut naskah-naskah kuno dari Indonesia?
Indonesia dan Malaysia pada hakikatnya merupakan negara-negara hasil bentukan para penjajah. Tak ada yang membedakan penduduk di Sumatera dan di Semenanjung Malaya kecuali pembagian wilayah berdasarkan perjanjian pihak penjajah Belanda dan Inggris. Jadi, boleh dikata pembentukan kedua negara itu sangat artifisial dan tidak punya landasan sejarah. Walaupun dalam pendidikan sejarah di Indonesia sering disebutkan bahwa Indonesia sudah ada sejak zaman Majapahit, namun itu tidak didukung fakta sejarah.
Kini penggunaan istilah Melayu menjadi sangat luas dan politis. Misalnya, dalam sebuah konferensi di Malaysia, ada sebuah naskah Melayu yang ditolak karena bukan berasal dari Malaysia. Padahal, satu hal yang tidak bisa disangkal adalah bahwa Kerajaan Melayu dulu berpusat di wilayah Indonesia, bukan Malaysia.
Memang ada teori yang menyatakan bahwa pusat Kerajaan Melayu sempat pindah ke Melaka. Namun, teori ini tidak didukung data yang akurat. Pembahasan soal pusat kebudayaan Melayu bisa jadi isu sejarah, bisa pula isu politik.
Bagaimana Anda melihat kemauan orang Indonesia melestarikan naskah kuno?
Kemauan sebenarnya ada. Namun yang terpenting adalah memberi pengetahuan kepada rakyat tentang konservasi naskah. Kadang-kadang mereka ingin berbuat yang terbaik, tapi malah sebaliknya. Di Kerinci, ada orang yang melindungi naskah kuno dengan cara dibungkus plastik supaya awet. Padahal itulah cara terbaik untuk menghancurkan naskah karena jadi mudah berjamur dan berlumut.
Apakah pemerintah Indonesia berperan dalam pelestarian naskah-naskah Melayu kuno?
Tekadnya ada. Setiap bicara, mereka selalu bilang bahwa ini penting dan harus dilakukan. Tapi pelaksanaannya tak ada.

Referensi
(http://www.korantempo.com)
Sumber tulisan:

Lukisan Gua Papua

Oleh Tim Wacana Nusantara

Orang yang dianggap mencatat lukisan prasejarah pertama kali di Papua adalah Johannes Keyts (Seorang pedagang) dalam perjalanan dari Banda ke pantai Nuw Guinea pada tahun 1678. Ia melewati sebuah tebing karang di tepi teluk Speelman yang dipenuhi oleh tengkorak, sebuah patung manusia, dan berbagai lukisan pada dinding gua tersebut dengan warna merah.
Lukisan gua yang ada di kepulauan Papua pada umumnya mirip dengan lukisan-lukisan yang ada di Kepulauaan Kei, meskipun ada beberapa bentuk yang berbeda atau khusus. Misalnya di daerah Kokas, Roder menemukan lukisan cap tangan dan kaki dengan latar belakang warna merah. Demikia juga hasil penelitian W.J. Cator di daerah Namatone telah menemukan pola yang sama. Bentuk lain yang dijumpai pada kedua situs ini adalah pola manuia, ikan, kadal dan perahu dengan pola distilir. Lukisan tangan dan kaki menurut cerita setempat, merupakan bekas jejak nenek moyang mereka ketika memasuki gua yang gelap, dalam melakukan perjalanan dari arah timur ke barat.
Lukisan yang ada di wilayah Kokas merupakan satu situs kuno yang terkenal di Kokas, lukisan berada di sebuah tebing bebatuan terjal. Oleh masyarakat setempat, tebing bebatuan terjal ini biasa disebut Tapurarang. Di Distrik Kokas kekayaan peninggalan sejak zaman prasejarah ini bisa dijumpai di Andamata, Fior, Forir, Darembang, dan Goras. Bagi masyarakat setempat, lokasi lukisan tebing ini merupakan tempat yang disakralkan. Mereka percaya lukisan ini adalah wujud orang-orang yang dikutuk oleh arwah seorang nenek yang berubah menjadi setan kaborbor atau hantu yang diyakini sebagai penguasa lautan paling menakutkan. Nenek ini meninggal saat terjadi musibah yang menenggelamkan perahu yang ia tumpangi.
Seni cadas atau "rock art" yang merupakan hasil karya lukisan manusia pada zaman megalitikum, berusia puluhan ribu tahun, yang ditorehkan pada dinding-dinding gua/ceruk, tebing karang dan pada permukaan batu-batu besar banyak ditemukan di Kaimana, Provinsi Papua Barat. Jayapura, 15/5 (Roll Entertainment) - Seni cadas atau "rock art" yang merupakan hasil karya lukisan manusia pada zaman megalitikum, berusia puluhan ribu tahun, yang ditorehkan pada dinding-dinding gua/ceruk, tebing karang dan pada permukaan batu-batu besar banyak ditemukan di Kaimana, Provinsi Papua Barat.
"Seni cadas sebagai wadah untuk menuangkan ide atau gagasan seorang seniman berkaitan dengan suatu kejadian atau keadaan yang dialami atau dilihatnya banyak ditemukan di Kaimana,Papua Barat," kata Kepala Balai Arkeologi Jayapura, Papua, Drs.M.Irfan Mahmud,M.Si, di Jayapura. Dari hasil penelitian yang dilakukan tim Balai Arkeologi Jayapura, di Distrik Kaimana, motif-motif lukisan secara garis besar berupa manusia, fauna, flora, geometris dan benda-benda hasil budaya manusia, misalnya perahu, bumerang, tombak, tapak batu, penokok sagu dan topeng.

Motif manusia berupa gambar manusia, cap tangan, antropomorfik dan matuto. Sedangkan, fauna berbentuk kadal, ikan, penyu, buaya , kuskus, ular, burung, udang dan kuda laut. Sementara itu, matahari, segi empat dan lingkaran merupakan sebagian besar motif geometris. "Motif-motif ini tersebar di beberapa desa dengan ketinggian ceruk dan tebing karang pada 3 hingga 5 meter di atas permukaan laut," kata Irfan. Penelitian tersebut menetapkan beberapa situs arkeologi seni cadas di tiga desa, yaitu Desa Marsi, Maimai dan Namatota.
Salah satu situs di Desa Marsi adalah Situs Tanjung Bicari. Di situs ini ditemukan lukisan antropomorfik, ikan dan titik-titik bewarna merah dan kuning. Sementara itu, motif yang lebih beragam dengan bentuk buaya, sontong, kadal, kuskus, geometris, matuto dan tombak dijumpai di Situs Omborecena, Desa Maimai. Berdasarkan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat tentang keberadaan seni cadas ini, Irfan mengatakan diperoleh banyak pendapat yang berbeda-beda. "Orang-orang tua dahulu memandang lukisan cadas dibuat oleh setan-setan," ujarnya. Oleh karena itu, setiap mereka melewatinya, wajib memberikan sesajen berupa sirih dan pinang yang dilemparkan ke tanjung demi keselamatan atau terhindar dari bahaya.
Adapun pendapat yang lain mengatakan, lukisan dinding merupakan tanda keberadaan Suku Mairasi, sedangkan klan Watora menyatakan, lukisan telapak yang berada di tebing-tebing di daerah tersebut adalah tempat persinggahan nenek moyang mereka ketika pindah ke Tanjung Bicari. Sejak sepuluh tahun terakhir ini, kegiatan penelitian dan pengembangan Balai Arkeologi Jayapura telah menemukan 89 situs yang sangat berharga, baik dari segi pendidikan dan budaya maupun wisata sejarah. Situs-situs ini ada yang merupakan sisa-sisa aktivitas manusia jaman megalitikum, makam Islam dan Cina serta peninggalan jaman kolonial ketika pasukan sekutu dan Jepang menjadikan Pulau Papua sebagai palagan Perang Dunia II.
Seni Cadas yang terdapat di Papua bagian barat, yakni disekitar Teluk Seireri dan Danau Sentani, telah diteliti oleh K.W. Gailis. Sebagian lukisan yang ditemukan dalam bentuk abstrak, yaitu berupa lukisan lengkung, spiral, serta hewan melata yang distilir. Di dalam gua berlukis ini, terutama yhang terletak di tepi danau, sungai, dan laut, sering dijumpai tulang-tulang manusia. Tidak dijelaskan mengenai jenis dan ras, serta keturunannya, apakah mereka termasuk pendukung dari budaya lukisan tersebut.
Sesuai dengan hasil penelitian, Roder kemudian memilah-milah lukisan tersebut kedalam beberapa kelompok berdasarkan warna dan gayanya. Ia berpendapat bahwa warna merah lebih tua dari pada warna hitam, dan warna hitam lebih tua dari pada warna putih. Ketiga warna ini sering dijumpai saling tumpang tindih secara berurutan, yaitu mula-mula warna merah tertutup warna hitam, dan warna hitam juga tertutup warna putih. (Marwati Djoened Poesponegoro: 2008. 198-199). Menurut gayanya, Roder mengelompokan lukisan-lukisan Irian Jaya sebagai berikut:
1. Gaya Tubulinetin
2. Gaya Mangga
3. Gaya Arguni dan Ota I
4. Gaya Ota II dan Sosorra
Pada gaya Arguni dan Ota I terdapat lukisan yang sepenuhnya berwarna hitam, gaya Ota II dan Sosorra menampilkan lukisan perahu dengan disertai adat penempatan mayat di depan gua-gua. Sebagian besar lukisan yang ditemukan itu berwarna merah. Terdapat juga lukisan yang menyerupai manusia dan biantang; manusia dengan topi yang lancip, orang yang berjongkok dengan tangan di angkat, dan gambar kadal sebagai gambar nenek moyang.
Menurut pendapat masyarakat yang tersebar di area sekitarnya, gambar binatang itu disebut matuto dan dianggap sebagai pahlawan nenek moyang, dan karena itu sampai sekarang di tempat-tempat mengandung lambang itu masih dilakukan upacara dan tari-tarian. Dikatakan juga cap tangan tersebut mempunyai kekuatan pelindung dan pencegah kekuatan jahat. Para perempuan dilarang menyaksikan lukisan-lukisan ini. Selain cap tangan dan bentuk gabungan antara manusia dan binatang, terdapat juga lukisan orang dengan perisai dan boomerang, burung dan perahu. Gambar-gambar kemudian menjadi suatu perhiasan dalam upacara penguburan, di atas dinding kayu, perisai dan manik-manik.

Melihat analisis Reinach dan Begeuen yang berusaha menganalisis lukisan gua dari segi kesuburan dan upacara kepercayaan, jelas bahwa gua-gua yang tersebar di wailayah Papua ini nampak sebagai bagian dari itu semua. Gua-gua yang ada di Papua berusaha untuk menjelaskan kegiatan sehari-hari mereka baik yang berhubungan dengan sosial-ekonomi maupun yang berhubungan dengan masalah kepercayaan. Lukisan gua merupakan sebuah bentuk perwakilan ekspresi diri manusia pada masa itu, mereka berusaha mengabadikan semua kegiatanya yang dilakukannya dalam bentuk coretan dinding gua atau oleh masyarakat sekarang bisa dikatakan sebagai bagian dari lukisan gua.
Lukisan gua bisa dikatakan sebagai referensi manusia sekarang untuk melihat sebagaimana tingkat kecerdasan manusia pada masa itu. Dengan melihat dinding gua yang ada kita kita bisa mengasumsikan bahwa manusia yang tinggal di kepulauan Nusantara ternyata telah memiliki nilai dan kemampuan kebudayaan yang tinggi pada masa itu, ini terbukti dengan banyak ditemukan benda-benda praaksara yang menandakan mereka telah mampu menciptakan sesuatu yang menggambarkan kehidupannya (Lukisan gua). Lukisan gua ini salah satu dari peninggalan pada masa prasejarah yang masih bisa kita nikmati dan pelajari makna dibalik pembuatannya.
Poesponegoro, Marwati Djoened. Dkk. 2008. “Sejarah Nasional Indonesia I”. Jakarta: Balai Pustaka.
Permana, R. Cecep Eka. 2008. Lukisan Prasejarah. Disampaikan dalam kuliah umum jarak jauh melalui video conference. Depok: Perpustakaan Pusat UI
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/6c08bd36500434b1fa04ef3bfdfdf2e9337960d1.pdf
http://eksplorasi-dunia.blogspot.com/2009/06/misteri-lukisan-darah-di-koskas-papua.html

Sumber: http://www.wacananusantara.org