Oleh : Edi S. Ekadjati
Titik tolak pembicaraan ini diawali dengan kutipan berikut berupa tentang deskripsi tentang lokasi, kondisi, dan situasi Banten tahun 1513 sebagaimana disaksikan dan dicatat oleh Tome Pires, seorang bangsa Portugis yang melakukan perjalanan keliling Nusantara dengan naik kapal laut, antara lain menyusuri pesisir utara Pulau Jawa dari arah barat menuju ke timur.
"The
Dari kutipan diatas yang kedudukan sumbernya sebagai sumber primer dapat diketahui bahwa pada waktu itu Banten merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Sunda yang Hinduistis dan berupa kota pelabuhan yang letaknya diujung barat sehingga merupakan kota pelabuhan pertama yang dikunjungi Tome Pires dalam perjalannya menyusuri pesisir utara Pulau Jawa.
Pelabuhan Banten menjalin hubungan dagang dengan pelabuhanpelabuhan di Kepulauan Maladewa yang terletak di Samudera Hindia sebelah selatan India yang dapat ditempuh selama 5 hari perjalanan (Cortesao), II, 1944:162) dan di Pulau Sumatera, antara lain Pancur (Barus), sebuah kerajaan kaya di pesisir barat Sumatera yang ramai dikunjungi para pedagang dari India (Gujarat, Keling, Bengali), Persia, dan Arab (Cortesao, II, 1944: 160-161). Di pelabuhan Banten yang dipandang sebagai pelabuhan terpenting di Kerajaan Sunda biasa berlabuh beberapa kapal junk. Di pelabuhan ini tersedia barang dagangan berupa beras, bahan makanan, dan lada dalam jumlah banyak sekali. Kepala
Raja Sunda berkedudukan di "dayo", yaitu Pakuan Pajajaran (Kota Bogor sekarang), termasuk daerah pedalaman (Sutaarga, 1966). Dari sini diperlukan waktu 2 hari perjalanan dengan perahu lewat Sungai Ciliwung untuk mencapai pantai. Pantai dimaksud adalah
Di luar Kerajaan Sunda masih ada
Di luar Kerajaan Sunda masih ada
Sejak abad pertama Masehi telah diketahui adanya jalan dagang laut
Letak Banten yang berada di (1) jalur jalan dagang Nusantara yang merupakan bagian jalur jalan dagang Asia dan jalan dagang dunia, (2) ujung barat Pulau Jawa, dan (3) dekat Selat Sunda menjadikan kedudukannya sangat strategis, mengingat kegiatan perdagangan di Nusantara dan Asia serta kedudukan barang dengan rempah-rempah di pasar internasional makin meningkat seiring dengan berdatangannya para pedagang Eropa ke wilayah ini. Selat Sunda menjadi pintu masuk utama ke Nusantara bagian timur lewat pantai barat Sumatera bagi pedagangpedagang muslim, setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 dan kemudian bagi para pedagang Eropa yang datang dart arah ujung selatan Afrika dan Samudera Hindia. Disamping itu, pelabuhan Banten pun dilalui oleh kapal-kapal dagang yang datang dart dan menuju ke arah barat laut melalui Selat Bangka.
Kesultanan Banten dirintis pendiriannya oleh tiga unsur kekuatan, yaitu kekuatan-kekuatan dart Cirebon, Demak, dan Banten sendiri dengan pelopornya masing-masing ialah Susuhunan Jati, Fatahillah, dan Maulana Hasanuddin sejak awal abad ke-16 Masehi.4 Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi nama Kesultanan Banten (Djajadiningrat, 1983:214)5)
Sejak perintisannya Kesultanan Banten didukung oleh para pedagang muslim. Mereka berasal dart berbagai daerah di Nusantara dan luar Nusantara, disamping kemudian penduduk Banten sendiri.6) Itulah sebabnya, dalam perkembangan selanjutnya, Kesultanan Banten tampil sebagai negara maritim yang mengutamakan kegiatan pelayaran dan perdagangan. Sedangkan bidang pertanian hanyalah sebagai unsur penunjang, berupa pembukaan lahan sawah yang ditanami padi sejak pemerintahan Maulana Yusuf (1570-1580) dan pembukaan lahan perkebunan lada (Djajadiningrat, 1983:214).
Memang kegiatan pelayaran dan perdagangan tinggal mengembangkan dart tradisi yang sudah ada sebagaimana diutarakan diatas. Pergantian penguasa Banten dart penganut Hinduistis kepada penganut Islam (sejak 1526) tidak berdampak mundurnya kegiatan perdagangan dan pelayaran, melainkan sebaliknya berdampak meningkatkan kegiatan tersebut. Soalnya, para pedagang muslim mempunyai tradisi dan motivasi kuat dalam bidang pelayaran dan perdagangan pada masa itu. Kenyataan pada masa itu aktivitas pelayaran dan perdagangan disepanjang pesisir utara Pulau Jawa, umumnya perairan Nusantara, makin didominasi oleh pedagang muslim. Hal itu diakui sendiri oleh Raja Sunda yang mengkhawatirkan perkembangan dem ikian, sampai-sampai is membatasi jum lab pedagang muslim masuk ke pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda (Cortesao, H, 1944:173).
Kecenderungan .tersebut tidak dapat dibendung, apalagi karena kekuatan Kerajaan Hindu itu (Sunda di barat dan Majapahit di timur Pulau Jawa) makin lama makin merosot, bahkan akhirnya hancur sama sekali. Dalam pada itu, walaupun tampil sebagai kerajaan Islam (kesultanan), namun sultan-sultan Banten menganut kebijakan terbuka dalam kegiatan ekonomi. Pelabuhan Banten dijadikan pelabuhan transito yang bersifat internasional sehingga semua pedagang dart manapun asalnya serta berkebangsaan, berkebudayaan, dan beragama apapun diberi kebebasan untuk keluar-masuk pelabuhan Banten untuk melakukan kegiatan pelayaran dan perdagangan, asalkan tidak melanggar peraturan yang berlaku. Demikianlah, meskipun Fatahillah pernah bermusuhan dengan orang Portugis sampai pada tingkat konflik senjata di pelabuhan Kalapa (1527), namun pada tahun-tahun berikutnya orang-orang Portugis itu dapat bebas keluar-masuk pelabuhan Banten untuk melakukan kegiatan perdagangan, seperti halnya juga para pedagang dart Inggris, Swedia, Perancis, Belanda, Bali dan Bahkan pada tahun 1546 orang Portugis rela (demi kepentingan dagang) menyediakan dirt sebanyak 40 orang bergabung armada Banten untuk ikut serta menyerang Pasuruan (sisa-sisa kekuatan Majapahit) dalam rangka membantu Demak (Djajadiningrat, 1983:84). Pada tahun 1619 orang-orang Inggris pernah membantu Banten dalam upaya mengusir orang-orang Belanda dari Banten, karena dianggap melanggar kebijakan Pemerintah Banten (Vlekke, 1967). Seperti halnya kota-kota pelabuhan masa itu, di kota pelabuhan Banten pun sterdapat perkampungan penduduk yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan berbagai bangsa dari luar Nusantara, seperti Melayu, Ternate, Banjar, Banda, Bugis, Makasar, Jawa, dan lain-lain serta Gujarat, Pegu (Birma), Siam, Parsi, Arab, Turki, Bengali, dan Cina (Leur, 1960: 133-134; Tjiptoatmodjo, 1983:64).
Seiring dengan peningkatan kegiatan ekonomi yang mendatangkan kemakmuran dan sekaligus kekuatan negara, Kesultanan Banten setahap demi setahap berupaya memperluas wilayah kekuasaan ke daerah sekitarnya yang dipandang dapat menguntungkan perekonomian dan suatu waktu bisa membahayakan eksistensi negara. Di samping itu, Kesultanan Banten pun pada waktu yang sama berupaya menjalin hubungan balk dengan negara-negara tetangga (Cirebon, Demak, Mataram) dan negara-negara yang dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di dalam keraton Banten sendiri, yaitu antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya, Sultan Haji.
Pada masa pemerintahan Hasanuddin (1550-1570) Banten memperluas wilayah kekuasaan ke Lampung dan daerah sekitarnya (Djajadiningrat, 1983:214). Di wilayah ini ditemukan beberapa prasasti dan bukti-bukti lainnya yang mengukuhkan eksistensi kekuasaan Banten disini. Selanjutnya, daerah Bengkulu sampai Selebar yang berbatasan dengan Sumatera Barat berhasil dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Banten. Kiranya penguasaan wilayah ini dimaksudkan untuk menguasai seluruh perairan Selat Sunda yang sangat strategis bagi kepentingan pelayaran dan perdagangan Banten (Kartodirdjo, 1988:112) serta perluasan kebun lada. Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf (15701580) daerah pedalaman Kerajaan Sunda, termasuk pusat pemerintahannya (Pakuan Pajajaran), berhasil diduduki oleh pasukan Banten yang dibantu oleh kontingen Cirebon (Atja, 1986:151-152, 189). Selanjutnya, ditetapkan batas wilayah kekuasaan antara Banten dengan
Dalam rangka menjalin kerjasama dengan negara-negara tetangga, Maulana Hasanuddin menikah dengan puteri Demak dan membantu Demak dalam menaklukkan Pasuruan (1546). Putera mahkota Banten pun menikah dengan puteri Silebar guna mempererat hubungan dengan daerah kekuasaan yang jauh dan menghindari kemungkinan datang serangan dari utara (Aceh, Pagaruyung). Sejak awal telah terjalin hubungan erat dengan
Hubungan Banten dengan Mataram sering diwarnai oleh ketegangan, akibat besarnya keinginan Mataram untuk menjadikan Banten berada di bawah kekuasaannya, tetapi Banten selalu menolaknya. Hal itu terjadi, misalnya pada tahun 1628. 1649. Soalnya Mataram mempunyai keinginan untuk berkuasa atas seluruh Pulau Jawa. Dalam keadaan tegang demikian,
Sesungguhnya sejak kedatangannya yang pertama di Banten (1596), hubungan antara Banten dengan orang Belanda diwarnai gejala kurang baik. Tetapi hubungan mereka yang tidak baik diawali oleh kehendak orang Belanda yang diwakili oleh kongsi dagang mereka, yaitu VOC. yang selalu mendesak Banten agar memberi hak monopoli atas perdagangan mereka di Banten. Sudah barang tentu kehendak orang Belanda demikian ditolak mentah-mentah oleh Banten. karena bertentangan dengan kebijakan Banten yang menerapkan perdagangan bebas dan juga akan merugikan perdagangan dan usaha pelayaran Banten. Konflik besar antara keduanya, setelah VOC memperoleh tempat kedudukan di
Catalan
Dayo, daiyo adalah penyebutan salah dari kata bahasa Sunda dayeuh (
Nama sesungguhnya
Cimanuk dinyatakan oleh Tome Pires sebagai daerah pantai paling timur Kerajaan Sunda dan setelah itu mulai dari
Hal tersebut dikemukakan secara jelas dalam berita Portugis dan sumber tradisi bahwa pernah dikirim ekspedisi militer ke Banten, terdiri atas pasukan dari
Menurut sumber tradisi (Babad Carbon, Carita Purwaka Caruban Nagari), tatkala Susuhunan Jati, waktu itu masih disebut Syarif 1-Iidayat namanya, singgah di Banten untuk pertamakalinya, di situ telah ada sejumlah orang muslim hasil usaha Sunan Ampel. Ekspedisi militer dari
6. Anggota kontingen ekspedisi militer dari
Daftar Pustaka
Atja.
1986 Carita Purwaka Caruban Nagari; karya Sastra SebagaiSumber Pengetahuan Sejarah.
Atja & Ayatrohaedi.
1986
Cortesao, Armando.
1944 The Sutna Oriental of Tome Pires.
Djajadiningrat, Hoesein.
1983 Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Bunten. :Djambatan KITLV.
Ekadjati, Edi S.
1975 "Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat", dalamSejarah Jawa Barat; Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Penyebaran Agama Islam.
-------
1978 Babad
---------, dkk
1991 Sejarah
Graaf & Th.G.Th. Pigeaud, H.J.De.
1989 Kerajan-Kerajan Islam di Jawa; Peralihan dariMajapahit ke Mataram,
Kartodirdjo, Sartono
1988 Pengantar Sejarah
--------, ,dkk
1975 Sejarah Nasional
Leur, J.C.van
1960
Michrob, Halwany
1993 Sejarah Perkembangan Arsitektur
Munandar & Edi S. Ekadjati, Agus Aris.
1991 Pustaka Pararatwan i Bhunii Jawadwipa Parwa ISargah I-4: Rangkunian Isi, Konteks Sejarah dan Peta.
Noorduyn,J.
1986 Bujangga Manik's Journeys Through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source. BKI
Oort & S. Muller, van.
1836 "Aanteekeningen gehouden op eene reize over eengedeelte van bet Eiland Java-. TBG XVI, hal. 83-156.
Sutaarga, Mob. Amir.
1966 Prabu Sili•angi.
Tjandrasasmita, Uka.
1967 Musuh Besar Kompeni Belanda Sultan Ageng Tirtajasa.
.Tjiptoatmodjo, F.A. Sutjipto.
1983 Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura: Abad XVIIsampai Medium Abad XIX
Vlekke, Benard H.M
1967 Nusantara (Sejarah
Photo : http://daluang.com
Sumber :
Sri Sutjatingsih, 1997. Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra. Kumpulan Makalah Diskusi Jakarta. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan