Urang Banjar: Identitas dan Etnisitas di Kalimantan Selatan (1)

Oleh Marko Mahin

Of Borneo's total population of 12 million, only about one fourth are classified as Dayaks-the rest are Malays. Ninenty percent of the so called Malays, all of the Muslim faith, are Islamized Dayaks (Karl Muller, Introducing Kalimantan, Penerbit Periplus Edition, 47).

Abstract:
Banjar or Bandar, in the begining, is the name of a small kampong in estuary of the Kuwin River-South Borneo that functioning as a small port. Kampong that led by Patih Masih, in growth hereinafter become the identity of an ethnic group and Islam empire. More than that Banjar become a distinguishing ideology that is with the existence of adagium "Islam is Banjar and Banjar is Islam." Banjar have come to the religious and culture conception, naming Banjar is to show the difference between Islam people anda Dayak people who are not Moslem. This article wish to re-trace Banjar as distinguishing ideology by re-read the Hikayat Bandjar, and studies bearing theory that "Banjar is Islam and Islam is Banjar."

A. Pendahuluan
Pada bulan Juni 2004, seorang laki-laki yang bernama Asep datang ke Sungei Kayu, perkampungan orang Dayak Ngaju yang berada di pinggir sungai Kapuas, Kalimantan Tengah. Dengan bahasa Banjar yang kental, ia mengaku dirinya sebagai Urang Banjar, tinggal di Banjarmasin tepatnya di belakang Pasar Pandu dan tujuan kedatangannya adalah untuk mencari saudara-saudara kandung almarhum ayahnya. Singkang, penduduk asli Sungei Kayu, orang pertama tempat Asep bertanya, bingung dengan adanya "orang asing" itu. Padahal salah satu nama yang disebutkan Asep sebagai saudara kandung almarhum ayahnya adalah ibu kandungnya sendiri. Karena baginya sebagai orang Dayak sangatlah aneh dan tidak mungkin kalau ia bisa mempunyai saudara sepupu sekali Urang Banjar, sedangkan tidak satupun saudara kandung ayah atau ibunya pernah menikah dengan Urang Banjar. Setelah melalui perkenalan kekeluargaan, dapat diketahui memang almarhum ayahnya Asep adalah orang Dayak asli kelahiran Sungei Kayu, sedangkan ibunya orang Bugis. Namun ketika ditanya bagaimana caranya bisa menjadi Urang Banjar , Asep hanya tertawa dengan wajah bingung. begitu juga dengan saudara-saudara Dayak-nya, yang sebagian sudah memeluk agama Islam.

Kebingungan Asep dan saudara-saudaranya, merupakan titik pangkal dari tulisan ini. Memang ada beberapa tulisan yang menginformasikan bahwa kalau orang Dayak memeluk agama Islam maka ia akan menjadi Urang Banjar (Ukur 1971:1983-84, Hudson 1972: 12; 1967: 25-6, Garang 1974: 116, Daud 1997:1, Tsing 1998: 72).Namun tulisan-tulisan itu tidak ada memuat penjelasan tentang apa dan bagaimana hubungan agama (Islam) dengan pembentukan identitas satu etnis (Banjar). Etnis Banjar dilihat sebagai satu yang given - sesuatu dari sananya. Pandangan ini seolah-olah ingin mengatakan: "Karena Islam maka menjadi Banjar, dan karena Banjar maka Islam". Di sinilah kelemahan pendekatan primordialisme, di mana kelompok-kelompok sosial karakteristikkan oleh gambaran-gambaran kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa dan organisasi sosial. Akibatnya adalah akan ada orang yang menjadi etnis tertentu bukan karena pilihan dirinya sendiri.

Dalam konteks Kalimantan Selatan, pendekatan primordialisme memunculkan beberapa pertanyaan misalnya: - Apakah Urang Banjar merupakan produk kehadiran Islam di tengah masyarakat

Kalimantan Selatan atau merupakan hasil dari proses sosial-politik etnis setempat ?
- Sejak kapan dan bagaimana Banjar menjadi identitas suku sekaligus identitas agama?
- Apakah betul sebagai konsep agamis dan kultural, penamaan Banjar adalah untuk menunjukkan perbedaan antara orang (Dayak) yang telah berislam, dengan orang (Dayak) yang belum/tidak beragama Islam (lih. Salim 1996:227)

Tulisan ini didasarkan pada satu preposisi bahwa etnis Banjar bukanlah sesuatu yang sudah ada begitu saja tetapi terjadi dan menjadi setelah melalui proses sosial,ekonomi, budaya dan keagamaan tertentu. Pemikiran seperti ini pernah dikembangkan oleh Marry Hawkin (2000:34) yang menyimpulkan bahwa "many Banjar are not born but made". Atau yang lebih terdahulu oleh Frederik Barth yang memandang identitas sebagai hasil dari satu proses social yang rumit dan interaksi dengan kelompok sosial lainnya (lihat Barth 1969: 10-19). Untuk melacak proses terjadi dan menjadi itu, mau tidak mau saya harus mulai dari terbentuknya kerajaan Islam Banjar, dari situ nanti akan dikembangkan diskusi selanjutnya.

B. Penelusuran Awal: Putra Mahkota Yang Terbuang dan Kegelisahan Politik Patih Masih
Sejarah terbentuknya kerajaan Islam Banjar berawal dari sengketa perebutan tahta yang terjadi di kalangan internal elite kerajaan Hindu Jawa yang bernama Negara Daha yang dipimpin oleh Maharaja Sukarama. Menurut Hikayat Bandjar (Ras 1968: 376-80), bibit konflik itu bermula dari "Keputusan Hari Sabtu" Maharaja Sukarama yang menyatakan bahwa tahta kerajaan diwariskan bukan ke salah satu dari ketiga anaknya: Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bagalung, dan Pangeran Tumanggung, tetapi ke cucunya Pangeran Samudera. Adapun Pangeran Samudera pada waktu itu masih berumur tiga tahun dan berstatus yatim-piatu karena ibunya Putri Galuh, putri bungsu dari Maharaja Sukarama, meninggal dunia ketika ia baru pisah susu dan ayahnya Raden Mantri Alu menyusul tidak lama kemudian. Tentu saja keputusan kontroversial itu mendapat sanggahan, menimbulkan kecemburuan bahkan kemarahan dari ketiga pamannya, terutama Pangeran Tumanggung. Bagi Pangeran Tumanggung keputusan sang ayah itu menyalahi tradisi kerajaan dimana mahkota kerajaan haruslah diwariskan ke anak tertua dan bukan kepada cucu, apalagi cucu dari anak bungsu perempuan. Namun semua keberatan itu tak bermakna bagi sang ayah yang berkata "Maski bagaimana kata angkau, karana sudah ia si Samudra itu ringan bibirku". Sejak saat itu maka terancamlah nyawa Pangeran Samudera.

Ketika Pangeran Samudera berumur tujuh tahun, Maharaja Sukarama meninggal dunia. Pada saat orang sibuk mempersiapkan upacara pemakaman, Mangkubumi Aria Taranggana; orang kepercayaan Maharaja Sukamara yang tahu persis akan adanya persaingan perebutan mahkota kerajaan, secara diam-diam menyuruh Pangeran Samudera melarikan diri agar tidak dibunuh oleh sang paman; Pangeran Tumanggung. Dengan berbekal djala katjil satu, baras sagantang, kuantan sabuah, dapur sabuah, parang sabuting, pisau sabuting, pangajuh sabuting, bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan sabuah, mangkuk sabuah, badju salambar, salawar salambar, kain salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar salambar, Pangeran Samudera: Putera Mahkota Kerajaan Negara Daha, seiring deras arus sungai Barito pergi sebagai seorang pelarian politik. Peristiwa pilu yang dialami oleh Pangeran Samudera, dalam Hikayat Banjar (Ras 1968: 382) dituturkan dengan nada yang melankolis:

Maka ditjarinja Raden Samudra itu. Dapatnja, maka dilumpatkannja arah parahu talangkasan. Maka dibarinja djala katjil satu, baras sagantang, kuantan sabuah, dapur sabuah, parang sabuting, pisau sabuting, pangajuh sabuting, bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan sabuah, mangkuk sabuah, badju salambar, salawar salambar, kain salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar salambar. Kata Aria Taranggana: "Raden Samudera, tuan hamba larikan dari sini karana tuan handak dibunuh hua tuan Pangeran Tumanggung. Tahu-tahu manjanjamarkan diri. Lamun tuan pagi baroleh mandjala, mana orang kaja-kaja itu tuan bari, supaja itu kasih. Djangan tuan mangaku priaji, kalau tuan dibunuh orang, katahuan oleh kaum Pangeran Tumanggung. Djaka datang kabandar Muara Bahan djangan tuan diam disitu, balalu hilir, diam pada orang manjungaian itu: atawa pada orang Sarapat, atawa pada orang Balandean, atawa pada orang Bandjarmasih, atawa pada orang Kuwin. Karana itu hampir laut maka tiada pati saba kasana kaum Pangeran Tumanggung dan Pangeran Mangkubumi, kaum Pangeran Bagalung. Djaka ada tuan dangar ia itu kasana tuan barsambunji, kalau tuan katahuannja. Dipadahkannja itu arah Pangeran Tumanggung lamun orang jang hampir-hampir itu malihat tuan itu, karana sagala orang jang hampir itu tahu akan tuan itu. Tuan hamba suruh lari djauh-djauh itu." Maka kata Raden Samudera: "Baiklah, aku manarimakasih sida itu. Kalau aku panjang hajat kubalas djua kasih sida itu." Maka Raden Samudera itu dihanjutkannja di parahu katjil oleh Aria Taranggana itu, sarta air waktu itu baharu bunga baah. Maka Raden Samudera itu bakajuh tartjaluk-tjaluk. Bahalang-halang barbudjur parahu itu, karana balum tahu bakajuh.

Di atas sebuah biduk kecil, dengan menyamar sebagai paiwakan (nelayan), Pangeran Samudera berpetualang di perairan muara sungai Barito. Ia mengembara dari kampung ke kampung yang ada di sepanjang sungai yaitu: Sarapat, Balandean, Bandjarmasih, Kuwin, Sungai Muhur, Tamban, dan Sungai Balitung (Ras 1968: 398, Saleh 1975: 24). Hidup sebagai "Putera Mahkota Yang Terbuang" itu dijalaninya bertahun-tahun yaitu selama zamannya Maharaja Mangkubumi menjadi raja di kerajaan Negara Daha sampai kepada zaman Pangeran Tumanggung. Menurut Syarif Bistimy (2004: 5) selama masa itu Pangeran Samudera memakai nama samaran Samidri. Kehidupan yang serba prihatin itu dilakoninya dengan mantap hingga dewasa, seperti yang tercantum dalam Hikajat Bandjar (Ras 1968: 398).

Maka Raden Samudra itu tahu ia manjamarkan dirinja, tahu ia marandahkan dirinja. Djaka baroleh malunta, mana jang tuha-tuha kampung itu dibarinja. Maka itu jang mambari baras; tapih, ada jang mambari kain, ada jang mambari buntil. Sagala jang malihat itu kasih dan sajang. Maka Raden Samudra itu sudah taruna ada jang handak maambil minantu tapi Raden Samudera itu tiada mau baristri.

Penyamaran dan kisah hidup Pangeran Samudera sebagai pelarian politik memang tidak abadi. Setelah melalui riwayat persembunyian yang panjang, di muara sungai Kuwin, di sebuah kampung yang bernama Bandjar, ia bertemu dengan seorang Patih Melayu yang sarat dengan visi politik. Kampung Bandjar atau Bandjarmasih pada waktu itu (abad 16) merupakan satu-satunya kampung orang Melayu yang terletak di tengah-tengah kampung Oloh Ngaju/Dayak Ngaju yang menggunakan bahasa Brangas (Saleh 1975: 24, 1983/84: 10, 1984: 6, Tim Editor Sejarah Banjar 2003: 65). Kampung ini dipimpin oleh Patih Masih (Ras 1968: 398). Karena itu orang-orang Ngaju yang berdiam di sekitar kampung itu menyebut orang Melayu yang berdiam di kampung itu dengan "Oloh Masi" (bdk.

Hardeland 1859: 342, 638). Pada abad ke-16 dan 17 kampung Bandjarmasih terletak di antara sungai Pandai, Sigaling, Karamat, Jagabaya, dan Pangeran yang kesemuanya anak sungai Kuwin. Hulu-hulu sungai itu bertemu di darat membentuk danau kecil bersimpang lima (Leirissa dkk. 1984: 58).

Karena letaknya yang strategis, yaitu tempat bertemunya pelayaran laut dengan pelayaran sungai, maka kampung Bandjar atau Bandjarmasih mempunyai potensi ekonomi dan politik yang tinggi (Saleh 1958: 26). Apalagi pada waktu itu pelayaran dan perdagangan antar pulau sangat ramai. Di mana sejak pertengahan abad ke-16 perdagangan ke Maluku, dengan terlebih dahulu melalui Makasar, sangat ramai. Pelayaran ini juga melewati Bandjarmasih yang menyebabkan banyak disinggahi pedagang. Namun sayangnya potensi itu seolah mati atau terhambat karena bandar yang merupakan pusat niaga berada di daerah pedalaman bagian hulu, yaitu di Muara Bahan, dan ibu kota kerajaan yang menjadi pusat kebijakan-kebijakan berada di Kahuripan, di daerah Danau Panggang. Ditambah lagi pada waktu itu, secara politis kampung Banjar atau Bandjarmasih merupakan kawasan pinggir karena merupakan taklukan dari Negara Daha yang dibebani dengan berbagai upeti dan pajak. Sehubungan dengan posisi politis yang tidak menguntungkan itu , menurut Idwar Saleh memang "Bagi kampung-kampung yang terletak di sekitar kota Banjarmasin sekarang - yang mana dikuasai oleh patih Masih, Balitung, Balit, Muhur, yang lebih banyak merasakan laba perdagangan - hubungan pengakuan kuasa pada pedalaman dirasakan sebagai kerugian belaka" (1958: 34).

Sebagai seorang pimpinan wilayah Bandjar, Patih Masih tampaknya sangat memahami situasi politik Negara Daha. Ia tahu betul bahwa seorang yang mamakai tapih buruk, badju buruk, dan kupiah buruk (Ras 1968:400) yang bersembunyi di sekitar wilayahnya adalah cucu Maharaja Sukarama, pelarian politik pewaris sah tahta kerajaan Negara Daha. Langkah politik pertama ia ambil adalah membangun aliansi dengan para patih Dayak yang ada di sekitar kampung Bandjar yaitu Patih Balit pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampong Balitung (Ras 1968: 402). Dalam sebuah pesta perjamuan yang dihadiri kira- kira 500 orang, Pangeran Samudera yang kini sudah memakai kain jang baik-baik, kupiah jang baik serta duduk diatas katil tiada mau (Ras 1968:400-1) diminta untuk menjadi raja dengan alasan:

Daripada kita masih mendjadi desa, santiasa kana sarah dangan pupuan maantarkan kahulu, hangir kita barbuat radja, kalau ia ini jang saparti chabar orang itu tjutju Maharadja Sukarama jang diwasiatkannja mandjadi radja

Alasan untuk lepas dari kewajiban pajak dan menyerahkan upeti, serta keinginan untuk "tidak lagi berstatus desa," itu diterima oleh Pangeran Samudera yang ditindaklanjuti dengan merebut Bandar Muara Bahan dan memindahkan Bandar itu dengan segala penduduknya ke Bandjarmasih. Hal itu rupanya disambut baik oleh para pedagang yang ada di Muara Bahan, karena memang posisi Bandjarmasih yang dekat muara sungai sangatlah strategis dan menguntungkan (Ras 1968: 406).

Tentu saja hal ini membuat murka Pangeran Tumenggung yang berujung pada perang terbuka antara paman dan keponakan. Untuk meraih kemenangan, Pangeran Samudera meminta bantuan ke Kintap, Satui, Sawarangan, Hasam-hasam, Laut Pulau, Pamukan, Pasir, Kutai, Barau, Karasikan, Biaju, Sabangau, Mandawai, Sampit, Pambuang, Kota Waringin, Sukadana, Lawai dan Sambas (Ras 1968: 408).

Bantuan yang signifikan datang dari kerajaan Demak, kerajaan Islam di pantai utara Jawa. Dengan adanya bantuan itu maka sang keponakan berhasil mengalahkan sang paman dan berhasil menduduki tahta, namun setelah melakukan kontrak politik dengan Sultan Demak bahwa ia bersedia masuk Islam jika Sultan Demak mau memberikan bantuan tentara untuk menundukkan pamannya sendiri Pangeran Tumanggung (Ras 1968: 21-53, Usman 1998:22). Masih menurut Hikajat Bandjar (Ras 1968: 438) setelah berhasil menjadi raja di Bandjarmasih, oleh orang nagri Arab, ia diberi gelar Sultan Surjanu'llah.

C. Awal Kesultanan:Mari Mendiskusikan Hikajat Bandjar
Patut diakui, seperti yang dikatakan oleh Lambut (1992: 25), bahwa pengetahuan dan penghayatan kita tentang masyarakat Kalimantan, bumi tua yang selalu terpecah belah, masih sangat sedikit dan masih sangat kaku. Begitu juga mengenai pengetahuan kita mengenai Urang Banjar hanyalah berkisar pada spekulasi-spekulasi para penulis Barat yang menyatakan bahwa masyarakat inti asli orang Banjar adalah Melayu atau sekurang-kurangnya sempalan Melayu yang menurut pelbagai sumber berasal dari salah satu tempat di semenanjung Malaka (Hudson 1956, Oppenheimer 1999, Potter 1999, dalam Lambut 2003). Memang ada juga spekulasi yang non-Barat yang menyatakan bahwa suku Banjar adalah "Melayu yang Jawa" atau "Jawa yang Melayu" (lihat Salim1996: 223).

Sumber atau data sejarah untuk melacak lahirnya etnis Banjar sangatlah terbatas sekali. Satu-satunya buku yang terus menerus menjadi rujukan adalah Hikajat Bandjar. Walaupun Hikajat Bandjar , oleh J.J. Ras, diklasifikasikan sebagai "a Malay myth of origin" (Ras 1968: 93), yang artinya realiabilitas data sejarahnya diragukan, tetapi sebagai teks sastra yang diproduk ketika masalah etnisitas belum menjadi issue hangat seperti sekarang ini, ia adalah sumber valid dan patut diperhitungkan.

Ras dengan nada hormat, karena berisi ceritera asal-asul, menyebut Hikajat Bandjar sebagai teks yang semi sakral (semi-sacred text). Ia mengatakan "...also cleary indicates that this text was originally a piece of semi-sacred, functional literature" (Ras 1968: 93). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk awal dari Hikajat Bandjar adalah sastra atau tradisi lisan yang dikenal sebagai mitos asal-usul. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Hikajat Bandjar sebagai tradisi lisan tidak diragukan lagi sebagai sumber pengetahuan tentang masa lalu (Vansina, 1965 : X). Memang tak dapat disanggah ada pendapat yang mengatakan bahwa Hikajat Bandjar adalah mitos: sekedar cerita belaka, dan tidak masul akal. Akan tetapi anggapan semacam ini dapat ditepis dengan pendapat Van Peursen (1978:37-41) bahwa "mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu pada kelompok orang (pemiliknya), memberikan "pengetahuan tentang dunia". Dengan demikian Hikajat Bandjar dapat menjadi sumber pengetahuan tentang masa lalu atau menjadi sumber pengetahuan tentang "pengetahuan tentang dunia" orang Kalimantan pada masa lalu.

Hal pertama yang dapat kita katakan mengenai Hikajat Bandjar adalah teks ini ditulis pada masa kesultanan Islam Banjar. Sebagaimana tradisi Islam, ia dibuka dengan satu doxology "Bism Allâh al-rahmân al-râhim wa bihi nasta' în bi Allâh 'aliy" (Ras 1968: 228). Ini dapat diasumsikan bahwa Hikajat Bandjar membawa satu tujuan khusus yaitu untuk menyebarkan berita-berita mengenai kesultanan Banjar Islam. Karena itu kemenangan Pangeran Samudera , yang didukung oleh kekuatan Islam Demak, dalam perang saudara melawan Pangeran Tumenggung secara implisit adalah untuk mendemontrasikan kebesaran kesultanan Banjar Islam ketika berhadapan dengan kekuatan lain.

Di sisi lain Hikajat Bandjar juga dapat dilihat sebagai upaya untuk mencari legitimasi politik dari Jawa seperti yang sebelumnya sudah dibuat oleh orang Kalimantan pada masa pra-Islam. Karena itu dalam Hikajat Bandjar dituturkan bahwa asal-asul dan silsilah sultan Banjar pertama adalah dari Negara Dipa yang diclaim berasal dari Majapahit. Menurut Russel Jones (1979: 153), penyusunan silsilah yang mengkaitkan diri dengan raja atau tokoh-tokoh masa lampau yang pernah berkuasa adalah hal yang biasa dilakukan oleh para raja yang baru bertahta dalam rangka mendapat pengakuan dari rakyatnya. Menurut Sartono Kartodirjo (1992: 47) kekuasaan raja sering bersumber pada soal keturunan, maka silsilah raja berfungsi sebagai dasar legitimasi otoritasnya.

Karena itu, tidaklah heran kalau di dalam Hikajat Bandjar dituturkan betapa unggulnya para leluhur yang menurunkan para elite istana, dimana dalam jajaran nenek moyang terdapat nabi Khaidir dan Iskandar Zulkarnain (Ras 1968: 21), para saudagar kaya serta gagah berani dan para elite lokal (Ras 1968: 27). Bahkan Putri Junjung Buih, nenek moyang perempuan orang Dayak Ngaju juga didaftarkan sebagai salah satu nenek moyang raja Banjar (Ras 1968: 308-12).

Dalam tradisi sastra kerajaan Jawa, Hikajat Bandjar dapat digolongkan sebagai babad yang bertujuan untuk memuliakan raja atau seseorang yang dirajakan dan menceriterakan asal usul satu kerajaan. Anthony Reid, yang menyebutkan bahwa Hikajat Bandjar sebagai turunan dari tradisi Islam Jawa, mengatakan bahwa sebagai kronik Hikajat Bandjar "tidak ragu menggambarkan kekuasaan para penguasa dan asal usul negara dengan menggunakan kekuasaan magis (kesaktian) yang berasal dari masa pra-Islam, namun tampak jelas deskripsi proses Islamisasi dijaga agar tetap berada di dalam batas-batas yang dapat diterima oleh kalangan Muslim di sebagian besar dunia" (2004: 20-22). Dalam genre babad, Hikajat Bandjar memang alat legitimator para raja. Hal ini sangat diperlukan bila mengingat betapa tindakan seorang raja penggeser (usurpator) dalam satu suksesi kerajaan akan dapat mendatangkan perasaan tidak adil dalam masyarakat. Rasa tidak adil dalam masyarakat demikian itu harus dihindarkan jangan sampai tumbuh. Untuk itu raja penggeser harus mengusahakan legitimasi. Salah satu caranya adalah melalui penulisan babad atau hikayat, yang tujuannya untuk menyatakan bahwa raja penggeser itu layak dan berhak sebagai raja. Dengan demikian kedudukan para usurpator akan semakin kokoh, karena perasaan ketidakadilan dalam masyarakat dapat dinetralkan bahkan tindakan penggeseran itu dapat diterima (G. Moedjanto 1987: 34-6).

Kalau kita mencermati "daftar orang hebat" yang terdapat silsilah seperti dipaparkan oleh Hikajat Bandjar, maka akan tampak bahwa siapa saja yang mau "dirangkul" atau "dijinakkan" oleh para usurpator ini (lih. Ras 168: 123).

Dalam fungsinya sebagai legitimator dan pengaman kedudukan Raja, sangat dapat dimengerti kalau ada beberapa bagian dari Hikajat Bandjar, misalnya perkelahian antara Pangeran Samudera dengan pamannya Pangeran Tumenggung, sengaja dibuat "tampil agung dan cantik". Sebab sangat ironis kalau Sultan Islam Banjarmasin yang pertama digambarkan sebagai orang sadis yang tega membunuh paman kandungnya sendiri. Dalam semangat anti hegemoni Jawa, terkadang bagian ini dapat dikatakan sebagai bagian yang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk menunjukkan bagaimana pusat kerajaan Jawa di Nagara Daha ditaklukkan tanpa melalui peperangan.

Sebagai produk pujangga istana, menarik untuk dicermati bahwa Hikajat Bandjar memang berbicara tentang sejarah awal pengislaman kaum istana tetapi sama sekali tidak ada bertutur mengenai sejarah urang Banjar. Memang ada banyakkata Bandjar, basa Bandjar, kota Bandjar, nagri Bandjar, atau radja Bandjar (Ras 1968: 533) disebutkan, namun sama sekali tidak untuk menunjuk pada etnik Banjar tetapi untuk menunjukkan sekelompok orang yang tinggal di satu wilayah kampung yang dikenal sebagai Bandjarmasih, di muara sungai Kuwin. Scott (1913:313-44 dalam Azra 2004: 315) menggambarkan bahwa meskipun Islam tampaknya telah dianggap secara resmi sebagai agama negara, kaum Muslim ternyata hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya, terbatas pada orang-orang Melayu; Islam hanya mampu masuk secara perlahan ke kalangan suku Dayak. Karena itu tidaklah heran kalau dalam Hikajat Bandjar orang-orang yang tinggal di Pamukan, Hasam-hasam, Kintap, Takisung dan Tabuniau tidaklah disebut sebagai orang Banjar. (Ras 1968: 430). Bahkan orang-orang yang berdiam di Sarapat, Balandean, dan Kuwin juga tidak disebutkan atau dibedakan dari orang Banjar atau orang Bandjarmasih (Ras 1968:382).

Mengenai basa Bandjar pun dinyatakan beda dengan bahasa Melayu, yaitu ketika Patih Masih akan berkata kepada Raden Samudera yang sedang menyamar dikatakan "Adapun kata kamudian dikatakan kata basa Bandjar, tiada itu basa Malaju". (Ras 1968:400). Ras menyebut bahasa yang dipergunakan dalam Hikajat Bandjar dengan istilah the Bandjarese colloquial, dimana di dalamnya terdapat banyak kata yang bukan bahasa Melayu maupun bahasa Banjar yang dipergunakan pada waktu itu, tetapi bahasa Dayak Ngaju atau Jawa (Ras 1968:12). Dalam hubungannya dengan bahasa Dayak Ngaju, Ras berpendapat bahwa hal itu disebabkan karena pada satu ketika di masa lampau telah terjadi hampir seluruh komunitas Dayak membuang atau meninggalkan bahasa aslinya dan beralih ke bahasa para atasan atau para tetangganya yang adalah orang Melayu, dengan demikian mereka melebur kedalam komunitas yang berbahasa Melayu Banjar (Ras 1968:8). Hal ini memang terjadi yaitu ketika Patih Balit pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968: 402), sepakat dengan Patih Masih untuk mengangkat Pangeran Samudera sebagai raja mereka.

Menarik untuk disimak bahwa Hikajat Bandjar juga tidak berbicara sedikitpun mengenai etnis Dayak atau nama Dayak. Ia banyak berbicara mengenai Biadju (Ras 1968:536). Ketika menjelang pengangkatan Pangeran Samudera sebaga Raja Bandjar, memang muncul kesan adanya konfederasi Melayu dan Biadju. Hal itu terjadi karena langkah politik Patih Masih untuk membangun aliansi dengan para patih Biadju yang ada di sekitar kampung Bandjar yaitu Patih Balit pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968: 402). Pada saat itu, kesan Banjar sebagai satu kelompok social sama sekali tidak muncul.

Sekalipun dikelompokkan sebagai "mitos" ternyata Hikajat Bandjar memberi sumbangan informasi penting kepada kita pada masa kini, yaitu bahwa sebelum dan pada awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar, baik etnik Banjar maupun etnik Dayak sama sekali tidak disebut. Hal itu berarti, Banjar, pada waktu itu, belum menjadi identitas suku atau agama, dan hanya sebagai identitas diri yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal. Tampaknya data-data ini sangat mempengaruhi Idwar Saleh (1986: 12) sehingga ia menyimpulkan:

Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk di Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi [campuran] baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton. ....Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah group atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan. Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan- etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan- etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya.
[Bersambung.....]

Sumber: http://www.mail-archive.com