Sisa Pertahanan Belanda pada Perang Dunia I di Sumedang

Sisa-sisa pertahanan selama Perang Dunia I di Indonesia tergolong jarang dijumpai. Salah satu dari sedikit tempat yang menjadi saksi sejarah itu ternyata bisa disaksikan di Sumedang, Jawa Barat. Di daerah ini terdapat sejumlah benteng dan instalasi militer lainnya yang dibangun pada zaman Hindia Belanda. Jika dikelola dengan baik, barangkali peninggalan sejarah ini dijadikan obyek wisata. Mau tahu?

Selama ini orang hanya mengenal Sumedang sebagai Kota Tahu. Di mana-mana, apalagi di daerah pusat kotanya, para pedagang menjajakan jenis makanan khas tersebut. Bahkan, tahu sumedang tidak hanya terkenal di daerah asalnya, tetapi sampai ke Bandung dan Jakarta. Padahal, selain dengan makanan khasnya, Sumedang memiliki sejarah menarik yang hingga kini bisa kita saksikan.

Berbagai peninggalan itu menyimpan kisah heroik para leluhur Sumedang dalam mempertahankan wilayah dan membela rakyatnya. Selain itu, masih terdapat peninggalan-peninggalan awal abad XX yang dibangun Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di daerah yang sebelumnya bernama Priangan ini. Salah satu peninggalan yang menarik adalah benteng-benteng dan instalasi militer lainnya yang dibangun Belanda pada era Perang Dunia I.

Benteng dan instalasi militer yang dibangun pada zaman penjajahan Belanda tersebut menempati lokasi sangat strategis. Letaknya berada di puncak bukit, sehingga jika kita berdiri di sana, kota Sumedang yang terletak pada dataran yang lebih rendah bisa dilihat dengan jelas. Apalagi jika cuaca sedang cerah.

Benteng-benteng itu dibangun pada periode tahun 1914- 1918. Benteng di Pasirlaja, Pasirkolocer, dan Benteng Darmaga, kesemuanya dibangun pada tahun 1915. Benteng-benteng tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Benteng di Pasirkolocer yang terdiri dari dua bangunan diperkirakan untuk menyimpan amunisi. Konstruksinya terbuat dari beton bertulang. Bangunan pertama berukuran 3 x 2,5 meter dan bagunan lainnya berukuran 4 x 2,5 meter.

Benteng lainnya yang dibangun di Pasirlaja terdiri dari tiga bangunan dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh. Benteng tersebut selain tempat penyimpanan sejata, dilengkapi dengan bungker berjendela yang berfungsi sebagai tempat pengintaian segala aktivitas di kota Sumedang dari arah selatan. Salah satu ruang di dalam benteng itu berukuran kurang lebih 18 meter persegi, dilengkapi ventilasi berupa cerobong udara. Ruang tersebut diperkirakan tempat tentara Hindia Belanda.

Benteng lainnya yang dinamai Benteng Darmaga merupakan benteng kecil yang fungsinya diperkirakan sama dengan benteng di Pasirkolocer.

Pengamat sejarah Sumedang, R Moh Achmad Wiriaatmadja, yang mengupas peninggalan itu mengungkapkan, setahun sebelum membangun benteng-benteng tersebut, Belanda sudah merintis pembangunan benteng di Gunung Palasari dan Gunung Kunci. Benteng di Gunung Palasari dibangun di atas lahan seluas enam hektar pada ketinggian sekitar 645 meter di atas permukaan laut. Lokasinya hanya sekitar satu kilometer dari kota Sumedang.

Di daerah ini terdapat delapan bangunan beton yang letaknya berdekatan, dengan bentuk menyerupai lingkaran. Bangunan tersebut memiliki 27 ruangan berpintu yang dilengkapi dengan 25 buah jendela dan 46 lubang yang berfungsi sebagai ventilasi. Karena letaknya hanya sekitar satu kilometer dari tangsi, benteng tersebut diperkirakan sebagai tempat pertahanan dan sekaligus sebagai gudang mesiu.

Dari sejumlah benteng yang dibangun pada era Perang Dunia I itu, benteng di Gunung Kunci diperkirakan sebagai "kunci" dari segala pertahanan Hindia Belanda di Sumedang. Gunung Kunci letaknya hanya sekitar satu kilometer di barat kota Sumedang. Luas bangunannya sekitar 2.600 meter persegi, dan dilengkapi dengan ruang bawah tanah seluas kurang lebih 450 meter persegi yang berfungsi sebagai goa atau bungker. Di sekelilingnya terdapat tempat pertahanan, sedangkan di bagian puncaknya tersembul tembok benteng yang menyerupai motor tempel dengan panjang 70 meter dan lebar 30 meter.

Di bagian tengah benteng itu tersembunyi bangunan berupa kamar-kamar yang rata-rata menampung lima sampai tujuh tempat tidur. Untuk mengelabui musuh, bagian atasnya ditimbun tanah sehingga menyerupai puncak bukit. Di bawah puncak bukit itu terdapat bangunan bertingkat dua. Ruang atas diperkirakan untuk perwira, sedangkan ruang bawah untuk bintara atau prajurit. Karena masing-masing kamar dibatasi tembok setebal 1,2 meter, maka komunikasi masing-masing kamar dilakukan melalui lubang khusus pada dinding tembok.

Dari bangunan bertingkat itu terdapat lorong goa sepanjang kurang lebih 200 meter yang menghubungkan kamar-kamar di bawah tanah dan antarpintu yang menuju pintu masuk ke bagian dalam benteng. Di dalamnya terdapat 17 buah goa buatan.

Bentuk kamar-kamar di benteng tersebut umumnya persegi panjang dengan langit-langit melengkung. Di dalamnya terdapat pula ruang bulat yang tersembunyi yang bentuknya menyerupai menara dengan garis tengah sekitar tiga meter.

Melihat garis pertahanan benteng-benteng tersebut yang semuanya mengelilingi kota Sumedang, R Moh Achmad Wiriaatmadja, Wakil Ketua Yayasan Pangeran Sumedang, mempertanyakan, apakah benteng- benteng itu disiapkan untuk menghadapi musuh yang datang dari luar. Atau sebaliknya, Belanda sebenarnya melihat Sumedang sebagai musuh yang dianggap tidak ringan.

Pada awal tulisannya tentang peninggalan instalasi militer tersebut, Wiriaatmadja mengungkapkan, bagaimana ketajaman analisa dan pandangan strategis Bupati Pangeran Aria Soeria Atmadja (1882-1919) sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Ditioeng Memeh Hoedjan, yang artinya sedia payung sebelum hujan.

Dengan dalih untuk membantu Hindia Belanda dalam mempertahankan diri dari serangan musuh, ia pernah mengajukan agar rakyatnya dilatih kemiliteran. Tetapi, karena pengalaman sebelumnya, permohonan itu tidak dikabulkan. Pemerintah Hindia Belanda justru malah membangun benteng-benteng tersebut.

Sumedang yang berada pada ruas jalan yang menghubungkan Bandung dengan Cirebon, atau sekitar 40 kilometer dari kota Bandung itu, selama ini tergolong kota tua di Jawa Barat. Bahkan, dalam lintasan sejarah kerajaan di Tatar Sunda, Kerajaan Sumedanglarang pernah besar dan sekaligus menjadi penerus Kerajaan Pajajaran yang sebelumnya berpusat di Pakuan, daerah yang kini termasuk kota Bogor.

Bukti-bukti yang menunjukkan masa keemasan Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Pajajaran itu hingga kini masih bisa dijumpai di Museum Prabu Geusan Ulun. Di tempat ini disimpan mahkota raja yang disebut Makuta Binokasih yang terbuat dari emas.

Menurut kisahnya, mahkota tersebut dibawa oleh empat kandaga lante Kerajaan Pajajaran setelah kerajaan itu hancur karena serbuan Banten pada tahun 1529. Makuta Binokasih kemudian diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun di Sumedang, sehingga sejak itu lahirlah Kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Pajajaran.

Namun, wilayah kerajaan yang sebelumnya meliputi Kabupaten/Kota Bandung dan Kota Cimahi sekarang ini, makin lama makin dipersempit. Bahkan, peran dan kekuasaannya makin terbatas, apalagi setelah Priangan yang sebelumnya berada di bawah Mataram kemudian diserahkan kepada Vereenigde Oost-Indishe Compagnie (VOC) melalui perjanjian tahun 1677 dan 1705.

Sejarawan Dr Nina Herlina Lubis MS, staf pengajar Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung mengungkapkan, Sumedanglarang berada di bawah kekuasaan Mataram ketika di bawah pemerintahan Pangeran Suriadiwangsa, salah seorang pengganti Pangeran Geusan Ulun yang wafat tahun 1601. Suriadiwangsa diberi gelar Pangeran Kusumadinata I atau Rangga Gempol I. Sejak itu wilayahnya berubah menjadi Priangan, di mana daerahnya meliputi wilayah yang sebelumnya termasuk Kerajaan Galuh yang sudah ditaklukkan lebih dulu.

Dari beberapa benteng pertahanan Hindia Belanda di Sumedang yang dibangun pada era Perang Dunia I, benteng di Gunung Kunci pernah dijadikan pertahanan gerilya para pejuang melawan Belanda. Benteng tersebut kemudian dibom tentara Belanda yang menggunakan pesawat F-51 Mustang. Tetapi, dalam penyerangan itu tidak jatuh korban, kecuali seekor kuda mati tertembak.

Benteng di Gunung Kunci termasuk benteng yang terpelihara dengan baik. Terutama pada hari libur dan hari Minggu, benteng tersebut banyak dikunjungi wisatawan lokal. Sebagian besar anak-anak muda yang memanfaatkan tempat tersebut sebagai tempat memadu janji. Tetapi sebagian dari benteng-benteng lainnya tidak terpelihara dengan baik. Padahal, jika dipelihara dan dilengkapi dengan kisah serta latar belakang sejarahnya, tidak mustahil benteng tersebut akan melengkapi obyek wisata sejarah yang menarik.

Selain benteng pertahanan Belanda dan museum, sejarah Sumedang mencatat dengan tinta emas ketika Bupati Pangeran Kusumadinata IX yang populer dengan julukan Pangeran Kornel (1791-1828) memperlakukan Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels tatkala melakukan inspeksi pembangunan jalan raya pos (Groot Postweg) Anyer-Panarukan melalui daerah yang kini dinamakan Cadas Pangeran.

Untuk menerobos bukit di daerah itu, tidak sedikit rakyat Sumedang yang menjadi korban. Baik karena sakit maupun karena kelaparan. Menyaksikan penderitaan rakyatnya yang tidak terperikan, Pangeran Kornel menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Daendels dengan sikap menantang. Ia menyodorkan tangan kirinya untuk menyambut sodoran tangan kanan Daendels yang mengajak bersalaman. Sementara tangan kanannya memegang hulu keris.

Adegan yang memperlihatkan keberanian itu diabadikan dalam bentuk patung yang didirikan di salah satu ujung jalan lama di Cadas Pangeran. Pada ujung jalan lainnya, di mana pada salah satu sisinya terdapat tebing batu yang merenggut banyak korban jiwa, terdapat tanda peringatan berupa prasasti. (HER SUGANDA)

Sumber:
http://www2.kompas.com